Malam ini aku kembali berjalan seorang diri,
menyusuri gang perumahan yang mulai sepi. Purnama tersenyum menghiasi langit
malam bertabur bintang, memantulkan cahaya remang ke pelupuk mata sehingga
membuatnya tak nampak begitu gulita. Aku menghentikan langkah, sejenak kepalaku
nenengadah, menatap bulan yang begitu indah.
Aku tersenyum simpul, melihat wajahnya yang selalu
muncul. Kenangan itu tak pernah lekang dari angan, janjinya telah terpatri
dalam ingatan, suaranya selalu bergelayut memenuhi pendengaran. "Apa
kabar?" Lirihku sembari memeluk erat sajadah di lengan. Aku percaya,
bahwa ia, sosok yang kini berada jauh di seberang sana juga sedang menatap
langit yang sama, walaupun hingga saat ini kepastian belum jua datang, aku akan
tetap setia, setia untuk menunggunya mengungkapkan rasa. "Ah, dia
lagi?", ucapku setelah melihat seseorang membuka kelambu pada salah
satu rumah yang berada tepat didepanku.
"Nduuk,, itu ada undangan dari
temenmu, Ria. Ibu gak nyangka, dia nikah duluan daripada kamu",
Ibu terkekeh sembari menyelesaikan sisa kain jahitan. Aku hanya tersenyum dan
bergegas menuju kamar mengambil undangan yang Ibu bicarakan.
Riana & Fahri, kedua nama itu tertera diatas
kertas undangan berwarna biru muda terhias ornamen yang memancarkan rona
bahagia. Sejenak kulihat kertas-kertas yang sama tertumpuk diatas meja, dan
sekali lagi aku hanya dapat tersenyum, berusaha mengobati lara di dada.
Berkali-kali Ibu selalu bertanya "kamu kapan?", terlebih pada
saat menyodorkan undangan dari teman, jawaban yang aku berikan tetap sama dan
tak ada ubahnya, "nanti lah Bu, kalau sudah waktunya. Tenang aja Bu,
tulang rusuk gak akan pernah tertukar", tukasku dengan sebuah candaan
yang membuat Ibu menghentikan pembicaraan.
***
Sepagi ini aku sudah rapi, bersiap untuk mengajar di
sekolahan yang jarak tempuhnya lumayan jauh dari tempatku berasal. Tiga jam
perjalanan biasanya kugunakan untuk menulis karangan-karangan cerita yang
kemudian kupublikasikan di dunia maya. Satu pesan seseorang selalu terngiang, "Kita
ini tidak bisa menghindari perkembangan teknologi, tetapi juga tidak boleh
menjadi korban teknologi".
Bu Anggi, itulah sapaan anak-anak didikku setiap
hari. Keceriaan dan kepolosan mereka menjadi hiburan tersendiri, mengisi hati
yang telah lama sepi. "Bu Anggi,, tadi ada yang nyari", seorang
anak bermata sipit dan berkulit putih menarik-narik baju dinasku. Aku yang
sedari tadi fokus disalami dan dikerumuni anak-anak, segera mengalihkan
pandangan, menyapanya dengan senyuman, "siapa dek?". Tangan
mungilnya menunjuk ke arah gerbang, seorang pria berkemeja biru tua nampak
berdiri disana.
Perlahan aku berjalan ke arahnya, semakin dekat,
mataku semakin menangkap sosok seorang yang tak asing lagi dalam pandangan,
seseorang yang telah lama aku rindukan. Namun semakin dekat pula, ada satu hal
yang mengganjal. Siapa perempuan disampingnya? Dalam hati aku bertanya-tanya.
Senyuman itu menyambut kedatanganku, senyuman yang
telah lama hilang, tersapu derasnya ombak lautan di pulau seberang. Dahulu
kedatangannya adalah satu hal yang sangat aku nantikan, namun sekarang, sungguh
kedatangannya tak lagi aku harapkan, kekecewaan menyeruak jauh sebelum mata
kami saling bertatapan.
"Nggi..",
suara paraunya menyapa. "Iya A' Aris", aku menjawab dengan
nada datar tanpa sedikitpun expresi kebahagiaan. "Apa kabar? Kok kamu
sepertinya gak senang Aa' datang?", tanyanya dengan nada suara berbeda
dari sebelumnya, merendah seakan penuh tanya. Wanita berjilbab hitam
disebelahnya tersenyum sembari menyodorkan tangan, "Assalamu'alaikum
mba'...kenalkan, saya adik iparnya A' Aris". Aku tercengang, merasa
bersalah karena telah berburuk sangka tanpa kejelasan.
Kebahagiaan di benakku kembali meluap, lega rasanya
bila ia, orang yang setiap hari kunanti kedatangannya tak sedikitpun melupakan
janji yang terjalin diantara kami. Janji itu, 6 tahun yang lalu. Aku kembali
dengan nampan berisi minuman sekaligus senyuman yang mengembang.
Tak ada mendung, tak ada hujan, namun kepalaku bak
disambar petir yang berkilatan, begitu mematikan. Kata-kata itu begitu tajam
bagaikan pedang, menebas seketika perasaan yang telah lama terpendam. Ingin
rasanya air mata ini kujatuhkan, namun aku masih dapat menahan, walaupun sakit
sekali yang aku rasakan.
"Maaf sebelumnya, aku sungguh minta
maaf", ungkapnya saat aku mengantar mereka
berdua ke beranda. Kami pun berpisah untuk kedua kalinya, bahkan mungkin untuk
selamanya, "Iya..A', hati-hati", jawabku lemah dengan senyuman
yang amat kupaksakan.
***
Lagi-lagi purnama kembali menemaniku menyusuri gang
perumahan yang mulai sepi. Aku kembali berhenti, menatapnya dalam, namun kini
bukan kerinduan yang aku sampaikan, melainkan kepedihan. Mengapa, mengapa sulit
sekali yang aku rasa.
"Assalamu'alaikum",
suara parau dari belakang membuyarkan lamunan, aku menoleh ke asal suara,
seseorang tengah berdiri sembari mengumbar senyum diwajahnya. Wajah itu, begitu
asing dimataku. Berusaha menghilangkan ketakutan, aku menjawab salam yang ia
ucapkan, "wa'alaikum salam", dengan nada yang menampakkan
kebingungan.
"Astaghfirullah,
astaghfirullah", ucapku masih dengan nafas
terengah-engah, namun setelah kupikir-pikir kembali, kenapa harus berlari? Aku
jadi bingung sendiri, Ah sudahlah yang penting selamat, gumamku dalam hati
sembari mengelap peluh di dahi. "Ono opo nduk??" tanya Ibu
heran ketika mendengar suara pintu terbuka tiba-tiba tanpa ucapan salam yang
mengiringinya. Aku hanya menyeringai untuk menghilangkan kekhawatiran diwajahnya,
"ndak papa bu".
***
Lantunan ayat suci Al-Qur'an begitu indah didengar,
dedaunan menari tersibak angin malam yang menenangkan. Sepertiga malam, adalah
waktu yang sangat istimewa, Allah SWT berfirman "Dan pada sebagian
malam, lakukanlah sholat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu;
mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (al-israa' :
79).
"Shodaqallaahul
'adzim", kututup Al-Qur'an ditangan, sejenak
merenungkan sebuah keputusan yang telah kupikirkan matang-matang. Yaitu
keputusan untuk melepaskan, mengikhlaskan orang yang selama ini kunanti dan
telah mengisi kekosongan dalam relung hati. Klung.. handphone disampingku
berbunyi, "Rinai hujan membasahi tanah yang kerontang, perlahan namun
pasti, akhirnya sang hujan dapat menyuburkan tanah yang semula gersang."
Aku tercengang, mencoba memahami isi pesan, "Siapa sih? iseng
banget,,," gerutuku kesal.
Kulipat
kembali sajadah berwarna merah, menggantungkannya kembali dengan rapi. Kurebahkan
badan diatas dipan, kasur empuk menjadi tatakan, langit-langit menjadi pusat
utama pandangan mata yang kian lama terpejam jua menanti waktu subuh tiba.
***
Ilalang menari-nari ditepi sungai,
airnya yang jernih menambah indahnya pemandangan sekitar, nan jauh mata
memandang, kemuning padi bersinar bak kilauan berlian, sang mentari baru saja
menampakkan sinar. Sepasang kekasih dengan riang saling mengejar, terkadang
jahil, sang pria sengaja meninggalkan kekasihnya dibelakang, untuk kemudian
membuatnya berteriak penuh kemanjaan tidak mau ditinggalkan, “A’ Arisss,
tunggu Anggi”.
“Indah
ya Nggi”, tangan kanannya merangkul bahu perempuan
disebelahnya, kaki kecilnya memainkan air sungai yang mengalir tepat dibawah
batu besar tempat mereka berdua duduk sekarang. “Tapi aku ndak tahu, kapan
bisa menikmati pemandangan seperti ini lagi, bersama Anggi yang sangat Aa’
cintai”, perempuan itu menurunkan lengan kekasihnya, “maksud A’ Aris??”,
tanyanya untuk memastikan. Aris menghela nafas panjang, tatapannya lurus
kedepan, tertambat pada jejeran ilalang yang sedang bergoyang tersibak silir
angin yang begitu menyejukkan. “Aa’ harus pergi ke Sumatra, ditugaskan
disana menjaga perbatasan Negara kita”, ia menjelaskan dengan dada sesak
menahan kesedihan. Mendengar pernyataan itu, Anggi tersenyum menyembunyikan
kesedihan, walau berat untuk melepaskan, namun ia tetap mencoba membuat Aris
tetap tegar, “Ndak papa A’, pergilah, mengabdilah pada Indonesia. Jangan
terlalu larut memikirkan, jangan terlalu larut merenungkan, yakin saja, kalau
memang kita sudah ditakdirkan, pastilah akan kembali dipertemukan”. Mata
Aris berkaca-kaca, melingkarkan lengannya, mendekap kekasih yang sangat
dicintainya, “Kamu mau kan nunggu Aa’? Aa’ janji akan segera melamar Anggi
sepulang dari Sumatra nanti”.
Tak terasa janji itu begitu kuat terpatri dalam
benak Anggi, sehingga bertahun-tahun pun ia rela menanti, menanti kekasihnya
kembali untuk menepati janji yang diucapkannya tempo hari.
***
“Maafkan Aa’ Nggi, Aa’ sudah
menikah”, kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku, menghantui setiap
mimpi-mimpi saat mata ini terlelap di malam hari, begitu menyayat hati begitu
mengingatnya kembali. Nyinyir suara dari dalam diri mencoba memberontak
kegalauan yang aku alami, “Masih pantaskah ia mendapatkan cinta yang selama
ini mati-matian ku jaga? Pikirkan lagi Anggi!!! Ya Allah, maafkan hamba karena
terlalu mendewakan cinta dan kini harus menelan pahitnya menunggu kepastian
yang tidak tentu. Maafkan hamba karena telah menyalahi takdir-Mu”, dan tak terasa
air mata meleleh dipipi, keheningan disepertiga malam menjadi saksi penyesalan
yang telah lama terpendam dan entah mengapa aku tidak pernah sadar, mungkin karena
pengaruh syetan yang begitu besar.
Adzan subuh berkumandang, “Assholaatu
khoirun minannaum” purnama masih menampakkan sinarnya, begitu indah
sampai-sampai kepalaku tak capek-capeknya menengadah. Suara derap langkah
berhenti tepat dibelakangku, memisahkan diri dari deretan para pejuang yang
berlalu lalang memenuhi panggilan Illahi Robbi. “Assalamu’alaikum”,
suara paraunya menyapa, suara yang pernah kudengar sebelumnya, saat dimana aku
berlari dengan kecangnya setelah menjawab salam darinya kemarin malam. Aku
masih diam, “Maaf mba’ kalau kemarin saya mengagetkan, tapi saya bukan orang
jahat mba’.” Candanya dengan iringan gelak tawa, seperti dapat menerka apa
yang sedang kurasa. Dengan terpaksa aku menghadap kearah suara, dengan raut
wajah datar aku menatapnya yang masih bertahan dengan seringainya dan
mengatakan, “Wa’alaikum salam, ada yang bisa saya bantu?” wajah yang
tampak beberapa tahun lebih muda itu mengganti ekspresi wajahnya, kini dengan
nada serius ia bicara, “mm,,saya hanya ingin mengatakan sesuatu kepada mba’.
Jatuh cinta tidak mutlak setelah memandang rupa, banyak jalan yang membuat
orang jatuh cinta, salah satunya adalah dari membaca. Mungkin jika dipandang
sekilas, tulisan ya hanya tulisan. Namun tidak bagi mereka yang memahami adanya
emosi, emosi yang begitu jelas menggambarkan isi hati. Mungkin mba’ Anggi tidak
sadar bahwa kita berteman di salah satu media sosial, tempat dimana mba’ sering
membagikan tulisan-tulisan, karya-karya yang begitu mengagumkan, saya terkesima
dan kini jatuh cinta,, kepada penulisnya. Saya tidak akan mengumbar janji,
tetapi saya akan memberikan bukti dengan melamar mba’ Anggi, bukankah Agama
kita mengajarkan untuk menyegerakan jika niatan baik telah diutarakan?”,
laki-laki itu menutup pernyataannya dengan sebuah pertanyaan yang membuatku terbungkam,
aku masih terdiam karena semuanya serba dadakan, mungkinkah ini takdir yang
telah Allah tetapkan?
Suara iqomah menutup pertemuan kami yang kurasa
adalah sebuah mimpi, mengiringi langkah kami untuk memenuhi panggilan Illahi,
tempat dimana seorang hamba mendekatkan diri kepada Penciptanya, bersujud dan
berdo’a, memohon ampunan serta meminta segala sesuatu hanya kepada-Nya. Allah
berfirman dalam Al-Qur’an “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad)
tentang Aku, Maka sesungguhkan Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdoa apabila ia (benar-benar) berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186).
***
“Saya terima nikahnya Anggita
Sari binti Almarhum Supardi dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai”,
tangan Akbar begitu erat menjabat tangan pamanku, menggantikan Bapak sebagai
waliku yang telah lama meninggal dunia, “Bagaimana saksi, sah?”, ucap
penghulu disamping paman sembari mengedarkan pandangan untuk memastikan tidak
ada yang keberatan. “Saaahh”, suara hadirin serentak menjawab pertanyaan
yang pak penghulu lontarkan.
Muhammad Akbar, dialah laki-laki yang akhirnya
menjadi suamiku hari ini dan sampai diakhirat nanti In Syaa Allah,
dialah laki-laki yang selalu menilikku dibalik sibakan kelambu. Walaupun Akbar
tiga tahun lebih muda dariku, kesholihan dan ketulusan yang kulihat selama
proses ta’aruf membuatku percaya, bahwa ia dapat membimbingku agar lebih
taat kepada Allah SWT, berdua membangun mahligai rumah tangga dibawah naungan
ridho-Nya. Dan inilah janji Allah, begitu nyata karena penuh dengan rahasia
yang sama sekali tak dapat diterka, namun akan selalu indah pada akhirnya. J
-TAMAT-