Selasa, 12 Januari 2016

MENANTI SEBUAH KEPASTIAN


Malam ini aku kembali berjalan seorang diri, menyusuri gang perumahan yang mulai sepi. Purnama tersenyum menghiasi langit malam bertabur bintang, memantulkan cahaya remang ke pelupuk mata sehingga membuatnya tak nampak begitu gulita. Aku menghentikan langkah, sejenak kepalaku nenengadah, menatap bulan yang begitu indah.
Aku tersenyum simpul, melihat wajahnya yang selalu muncul. Kenangan itu tak pernah lekang dari angan, janjinya telah terpatri dalam ingatan, suaranya selalu bergelayut memenuhi pendengaran. "Apa kabar?" Lirihku sembari memeluk erat sajadah di lengan. Aku percaya, bahwa ia, sosok yang kini berada jauh di seberang sana juga sedang menatap langit yang sama, walaupun hingga saat ini kepastian belum jua datang, aku akan tetap setia, setia untuk menunggunya mengungkapkan rasa. "Ah, dia lagi?", ucapku setelah melihat seseorang membuka kelambu pada salah satu rumah yang berada tepat didepanku.
"Nduuk,, itu ada undangan dari temenmu, Ria. Ibu gak nyangka, dia nikah duluan daripada kamu", Ibu terkekeh sembari menyelesaikan sisa kain jahitan. Aku hanya tersenyum dan bergegas menuju kamar mengambil undangan yang Ibu bicarakan.
Riana & Fahri, kedua nama itu tertera diatas kertas undangan berwarna biru muda terhias ornamen yang memancarkan rona bahagia. Sejenak kulihat kertas-kertas yang sama tertumpuk diatas meja, dan sekali lagi aku hanya dapat tersenyum, berusaha mengobati lara di dada. Berkali-kali Ibu selalu bertanya "kamu kapan?", terlebih pada saat menyodorkan undangan dari teman, jawaban yang aku berikan tetap sama dan tak ada ubahnya, "nanti lah Bu, kalau sudah waktunya. Tenang aja Bu, tulang rusuk gak akan pernah tertukar", tukasku dengan sebuah candaan yang membuat Ibu menghentikan pembicaraan.
***
Sepagi ini aku sudah rapi, bersiap untuk mengajar di sekolahan yang jarak tempuhnya lumayan jauh dari tempatku berasal. Tiga jam perjalanan biasanya kugunakan untuk menulis karangan-karangan cerita yang kemudian kupublikasikan di dunia maya. Satu pesan seseorang selalu terngiang, "Kita ini tidak bisa menghindari perkembangan teknologi, tetapi juga tidak boleh menjadi korban teknologi".
Bu Anggi, itulah sapaan anak-anak didikku setiap hari. Keceriaan dan kepolosan mereka menjadi hiburan tersendiri, mengisi hati yang telah lama sepi. "Bu Anggi,, tadi ada yang nyari", seorang anak bermata sipit dan berkulit putih menarik-narik baju dinasku. Aku yang sedari tadi fokus disalami dan dikerumuni anak-anak, segera mengalihkan pandangan, menyapanya dengan senyuman, "siapa dek?". Tangan mungilnya menunjuk ke arah gerbang, seorang pria berkemeja biru tua nampak berdiri disana.
Perlahan aku berjalan ke arahnya, semakin dekat, mataku semakin menangkap sosok seorang yang tak asing lagi dalam pandangan, seseorang yang telah lama aku rindukan. Namun semakin dekat pula, ada satu hal yang mengganjal. Siapa perempuan disampingnya? Dalam hati aku bertanya-tanya.‪
Senyuman itu menyambut kedatanganku, senyuman yang telah lama hilang, tersapu derasnya ombak lautan di pulau seberang. Dahulu kedatangannya adalah satu hal yang sangat aku nantikan, namun sekarang, sungguh kedatangannya tak lagi aku harapkan, kekecewaan menyeruak jauh sebelum mata kami saling bertatapan.
"Nggi..", suara paraunya menyapa. "Iya A' Aris", aku menjawab dengan nada datar tanpa sedikitpun expresi kebahagiaan. "Apa kabar? Kok kamu sepertinya gak senang Aa' datang?", tanyanya dengan nada suara berbeda dari sebelumnya, merendah seakan penuh tanya. Wanita berjilbab hitam disebelahnya tersenyum sembari menyodorkan tangan, "Assalamu'alaikum mba'...kenalkan, saya adik iparnya A' Aris". Aku tercengang, merasa bersalah karena telah berburuk sangka tanpa kejelasan.
Kebahagiaan di benakku kembali meluap, lega rasanya bila ia, orang yang setiap hari kunanti kedatangannya tak sedikitpun melupakan janji yang terjalin diantara kami. Janji itu, 6 tahun yang lalu. Aku kembali dengan nampan berisi minuman sekaligus senyuman yang mengembang.
Tak ada mendung, tak ada hujan, namun kepalaku bak disambar petir yang berkilatan, begitu mematikan. Kata-kata itu begitu tajam bagaikan pedang, menebas seketika perasaan yang telah lama terpendam. Ingin rasanya air mata ini kujatuhkan, namun aku masih dapat menahan, walaupun sakit sekali yang aku rasakan.
"Maaf sebelumnya, aku sungguh minta maaf", ungkapnya saat aku mengantar mereka berdua ke beranda. Kami pun berpisah untuk kedua kalinya, bahkan mungkin untuk selamanya, "Iya..A', hati-hati", jawabku lemah dengan senyuman yang amat kupaksakan.
***
Lagi-lagi purnama kembali menemaniku menyusuri gang perumahan yang mulai sepi. Aku kembali berhenti, menatapnya dalam, namun kini bukan kerinduan yang aku sampaikan, melainkan kepedihan. Mengapa, mengapa sulit sekali yang aku rasa.
"Assalamu'alaikum", suara parau dari belakang membuyarkan lamunan, aku menoleh ke asal suara, seseorang tengah berdiri sembari mengumbar senyum diwajahnya. Wajah itu, begitu asing dimataku. Berusaha menghilangkan ketakutan, aku menjawab salam yang ia ucapkan, "wa'alaikum salam", dengan nada yang menampakkan kebingungan.
"Astaghfirullah, astaghfirullah", ucapku masih dengan nafas terengah-engah, namun setelah kupikir-pikir kembali, kenapa harus berlari? Aku jadi bingung sendiri, Ah sudahlah yang penting selamat, gumamku dalam hati sembari mengelap peluh di dahi. "Ono opo nduk??" tanya Ibu heran ketika mendengar suara pintu terbuka tiba-tiba tanpa ucapan salam yang mengiringinya. Aku hanya menyeringai untuk menghilangkan kekhawatiran diwajahnya, "ndak papa bu".
***
Lantunan ayat suci Al-Qur'an begitu indah didengar, dedaunan menari tersibak angin malam yang menenangkan. Sepertiga malam, adalah waktu yang sangat istimewa, Allah SWT berfirman "Dan pada sebagian malam, lakukanlah sholat Tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji" (al-israa' : 79).
"Shodaqallaahul 'adzim", kututup Al-Qur'an ditangan, sejenak merenungkan sebuah keputusan yang telah kupikirkan matang-matang. Yaitu keputusan untuk melepaskan, mengikhlaskan orang yang selama ini kunanti dan telah mengisi kekosongan dalam relung hati. Klung.. handphone disampingku berbunyi, "Rinai hujan membasahi tanah yang kerontang, perlahan namun pasti, akhirnya sang hujan dapat menyuburkan tanah yang semula gersang." Aku tercengang, mencoba memahami isi pesan, "Siapa sih? iseng banget,,," gerutuku kesal.
Kulipat kembali sajadah berwarna merah, menggantungkannya kembali dengan rapi. Kurebahkan badan diatas dipan, kasur empuk menjadi tatakan, langit-langit menjadi pusat utama pandangan mata yang kian lama terpejam jua menanti waktu subuh tiba.
***
            Ilalang menari-nari ditepi sungai, airnya yang jernih menambah indahnya pemandangan sekitar, nan jauh mata memandang, kemuning padi bersinar bak kilauan berlian, sang mentari baru saja menampakkan sinar. Sepasang kekasih dengan riang saling mengejar, terkadang jahil, sang pria sengaja meninggalkan kekasihnya dibelakang, untuk kemudian membuatnya berteriak penuh kemanjaan tidak mau ditinggalkan, “A’ Arisss, tunggu Anggi”.
“Indah ya Nggi”, tangan kanannya merangkul bahu perempuan disebelahnya, kaki kecilnya memainkan air sungai yang mengalir tepat dibawah batu besar tempat mereka berdua duduk sekarang. “Tapi aku ndak tahu, kapan bisa menikmati pemandangan seperti ini lagi, bersama Anggi yang sangat Aa’ cintai”, perempuan itu menurunkan lengan kekasihnya, “maksud A’ Aris??”, tanyanya untuk memastikan. Aris menghela nafas panjang, tatapannya lurus kedepan, tertambat pada jejeran ilalang yang sedang bergoyang tersibak silir angin yang begitu menyejukkan. “Aa’ harus pergi ke Sumatra, ditugaskan disana menjaga perbatasan Negara kita”, ia menjelaskan dengan dada sesak menahan kesedihan. Mendengar pernyataan itu, Anggi tersenyum menyembunyikan kesedihan, walau berat untuk melepaskan, namun ia tetap mencoba membuat Aris tetap tegar, “Ndak papa A’, pergilah, mengabdilah pada Indonesia. Jangan terlalu larut memikirkan, jangan terlalu larut merenungkan, yakin saja, kalau memang kita sudah ditakdirkan, pastilah akan kembali dipertemukan”. Mata Aris berkaca-kaca, melingkarkan lengannya, mendekap kekasih yang sangat dicintainya, “Kamu mau kan nunggu Aa’? Aa’ janji akan segera melamar Anggi sepulang dari Sumatra nanti”.
Tak terasa janji itu begitu kuat terpatri dalam benak Anggi, sehingga bertahun-tahun pun ia rela menanti, menanti kekasihnya kembali untuk menepati janji yang diucapkannya tempo hari.
***
            “Maafkan Aa’ Nggi, Aa’ sudah menikah”, kata-kata itu selalu terngiang ditelingaku, menghantui setiap mimpi-mimpi saat mata ini terlelap di malam hari, begitu menyayat hati begitu mengingatnya kembali. Nyinyir suara dari dalam diri mencoba memberontak kegalauan yang aku alami, “Masih pantaskah ia mendapatkan cinta yang selama ini mati-matian ku jaga? Pikirkan lagi Anggi!!! Ya Allah, maafkan hamba karena terlalu mendewakan cinta dan kini harus menelan pahitnya menunggu kepastian yang tidak tentu. Maafkan hamba karena telah menyalahi takdir-Mu”, dan tak terasa air mata meleleh dipipi, keheningan disepertiga malam menjadi saksi penyesalan yang telah lama terpendam dan entah mengapa aku tidak pernah sadar, mungkin karena pengaruh syetan yang begitu besar.
            Adzan subuh berkumandang, “Assholaatu khoirun minannaum” purnama masih menampakkan sinarnya, begitu indah sampai-sampai kepalaku tak capek-capeknya menengadah. Suara derap langkah berhenti tepat dibelakangku, memisahkan diri dari deretan para pejuang yang berlalu lalang memenuhi panggilan Illahi Robbi. “Assalamu’alaikum”, suara paraunya menyapa, suara yang pernah kudengar sebelumnya, saat dimana aku berlari dengan kecangnya setelah menjawab salam darinya kemarin malam. Aku masih diam, “Maaf mba’ kalau kemarin saya mengagetkan, tapi saya bukan orang jahat mba’.” Candanya dengan iringan gelak tawa, seperti dapat menerka apa yang sedang kurasa. Dengan terpaksa aku menghadap kearah suara, dengan raut wajah datar aku menatapnya yang masih bertahan dengan seringainya dan mengatakan, “Wa’alaikum salam, ada yang bisa saya bantu?” wajah yang tampak beberapa tahun lebih muda itu mengganti ekspresi wajahnya, kini dengan nada serius ia bicara, “mm,,saya hanya ingin mengatakan sesuatu kepada mba’. Jatuh cinta tidak mutlak setelah memandang rupa, banyak jalan yang membuat orang jatuh cinta, salah satunya adalah dari membaca. Mungkin jika dipandang sekilas, tulisan ya hanya tulisan. Namun tidak bagi mereka yang memahami adanya emosi, emosi yang begitu jelas menggambarkan isi hati. Mungkin mba’ Anggi tidak sadar bahwa kita berteman di salah satu media sosial, tempat dimana mba’ sering membagikan tulisan-tulisan, karya-karya yang begitu mengagumkan, saya terkesima dan kini jatuh cinta,, kepada penulisnya. Saya tidak akan mengumbar janji, tetapi saya akan memberikan bukti dengan melamar mba’ Anggi, bukankah Agama kita mengajarkan untuk menyegerakan jika niatan baik telah diutarakan?”, laki-laki itu menutup pernyataannya dengan sebuah pertanyaan yang membuatku terbungkam, aku masih terdiam karena semuanya serba dadakan, mungkinkah ini takdir yang telah Allah tetapkan?
Suara iqomah menutup pertemuan kami yang kurasa adalah sebuah mimpi, mengiringi langkah kami untuk memenuhi panggilan Illahi, tempat dimana seorang hamba mendekatkan diri kepada Penciptanya, bersujud dan berdo’a, memohon ampunan serta meminta segala sesuatu hanya kepada-Nya. Allah berfirman dalam Al-Qur’an “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, Maka sesungguhkan Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia (benar-benar) berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS. Al-Baqarah: 186).        
***
            “Saya terima nikahnya Anggita Sari binti Almarhum Supardi dengan seperangkat alat sholat dibayar tunai”, tangan Akbar begitu erat menjabat tangan pamanku, menggantikan Bapak sebagai waliku yang telah lama meninggal dunia, “Bagaimana saksi, sah?”, ucap penghulu disamping paman sembari mengedarkan pandangan untuk memastikan tidak ada yang keberatan. “Saaahh”, suara hadirin serentak menjawab pertanyaan yang pak penghulu lontarkan.
Muhammad Akbar, dialah laki-laki yang akhirnya menjadi suamiku hari ini dan sampai diakhirat nanti In Syaa Allah, dialah laki-laki yang selalu menilikku dibalik sibakan kelambu. Walaupun Akbar tiga tahun lebih muda dariku, kesholihan dan ketulusan yang kulihat selama proses ta’aruf membuatku percaya, bahwa ia dapat membimbingku agar lebih taat kepada Allah SWT, berdua membangun mahligai rumah tangga dibawah naungan ridho-Nya. Dan inilah janji Allah, begitu nyata karena penuh dengan rahasia yang sama sekali tak dapat diterka, namun akan selalu indah pada akhirnya. J  
-TAMAT-