Kamis, 17 Desember 2015

KUTEMUKAN CINTA DIBALIK KEACUHANNYA


Hari ini, aku kembali berteman sepi, menatap jendela kaca seorang diri, memandangi pepohonan menjulang yang kokoh tertanam di halaman belakang. Pikiranku melayang, menerawang sebuah kejadian beberapa tahun silam. Dedaunan melambai tersibak angin yang berhembus kencang, mendung menutupi pancaran sinar matahari yang menghangatkan. Benar-benar akhir pekan yang membosankan. Segera tubuhku tergerak untuk mengambil jemuran sebelum Ibu pulang.
***
            Tas berwarna pink melingkar di bahu kanan, lengkap dengan seragam putih merah  kedodoran. Angkutan umum yang kutunggu tak jua datang, tiada teman karena hari masih sangat pagi. Mandiri adalah pelajaran berharga yang kudapat semenjak masuk TK, tidak sekalipun aku dimanja orangtua seperti anak-anak pada umumnya, dan bagiku itu hal biasa.
            Aku membuka kembali buku tulis bersampul cokelat, kudapati torehan tinta merah berbentuk bulat. Aku takut untuk kembali mengingat kejadian semalam, kejadian dimana Bapak naik pitam mendapati anaknya tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Tatapanku semakin dalam, sedalam harapan yang orang tuaku impikan, dalam keheningan pagi aku berjanji, bahwa mulai saat ini aku takkan mengecewakan mereka lagi.
            Tidak banyak prestasi yang kudapatkan saat Sekolah Dasar, hanya satu yang paling membanggakan dan tak terlupakan, yaitu saat aku menduduki peringkat kedua dengan total nilai sama dengan ‘sang juara’. Saat itu aku merasa sangat bahagia, walaupun keadilan tidak sepenuhnya ditegakkan, setidaknya janjiku dapat terbayar.
***
            Liburan akhir tahun berakhir, masa-masa kelas dua kulalui dengan penuh suka duka yang mewarnai. Orang tua tetap sibuk dengan pekerjaan mereka yang semakin hari semakin menguras tenaga, Bapak jadi sering pergi keluar kota demi memperlancar usahanya. Kepulangan Bapak selalu kunanti bersama adik bayi dan Ibu yang selalu disisi. Kasih sayang yang Bapak berikan sangat berbeda dari sedia kala, memanjakan kami berdua menjadi kesenangannya.
            “Bapaak,,,” aku kecil berteriak kegirangan menyambut kedatangan Bapak. Ifa, adik bayiku yang tidak mengerti apa-apa masih asyik dengan mainan di tangannya. Senyum kerinduan mengembang di wajah Bapak yang nampak sedikit kelelahan, namun tetap berusaha menemani kami berdua memakan isi bingkisan yang sejak tadi berada dalam genggaman. “Babpaa..”, mulut mungil Ifa mengucap satu kata, dan seketika itupun kami tertawa bersama, gemas dengan kepolosannya.
***
            Pelajaran matematika, rumus-rumus tak lekang dari kepala, setiap siswa begitu antusias mengerjakan soal-soal yang tertera di papan. Keseriusanku buyar seketika mendengar namaku diapanggil untuk keluar,”sekalian tasnya dibawa nak”. Aku berjalan dengan beribu pertanyaan bergelayut memenuhi pikiran. Tanpa sepatah kata, aku dibawa pulang oleh seseorang yang memang tidak asing lagi dalam pandangan. Aku tetap diam, diam dan diam sembari mereka-reka peristiwa apa yang terjadi sebenarnya.
            Air mataku meleleh, kegaduhan begitu riuh terdengar dari suara tangisan yang saling bersahutan. “Bapak kecelakaan”, bagaikan karang terhantam ombak besar di lautan, kokoh, namun tenggelam perlahan, aku masih mematung dan berharap ini semua hanyalah mimpi belaka, yang akan berakhir saat aku membuka mata. Namun harapan benar-benar tidak sesuai kenyataan, adanya pertemuan pastilah akan diiringi dengan perpisahan, selalu, entah kapanpun itu.
***
            Jam dinding menunjukkan pukul dua malam, aku terbangun oleh suara bisikan, “Ida, Bapak sudah pulang”. Iya, Bapak memang pulang, namun kepulangannya kali ini sangat berbeda dari biasanya, kepulangan yang tidak pernah aku harapkan. Tiada lagi kecupan lembut seperti biasa saat aku menyambutnya dengan gembira, tiada lagi oleh-oleh ditangannya untuk memanjakan kami berdua sebagai anak-anak yang sangat dicintainya. Hanya sisa air mata yang kupunya untuk melepas kepergiannya, kepergian untuk selama-lamanya.
            Mataku yang sembab fokus menatap liang lahat, keranda yang membawa jenazah Bapak perlahan dibuka. Terlihat diseberang sana, pamanku ambruk seketika melihat jenazah kakaknya yang terbungkus kafan diangkat keluar keranda, seakan masih tak percaya. Ibuku tak kalah histeris melihat suami tercinta begitu cepat pergi mendahuluinya, meninggalkan anak-anak yang masih belia bahkan si bungsu belum mengerti apa-apa.
***
            Kubiarkan televisi itu menyala, diluar sana matahari mulai menyengat kepala, namun tidak ada tanda-tanda Ibu akan segera tiba. Aku kembali menatap layar televisi dan mengganti channel-channelnya sesuka hati. “Sepi sekali”, pekikku dalam hati.
            “Ibu capek, jangan ganggu”, dan setelah itu aku sama sekali tidak berani walau sekedar menderapkan kaki. Semenjak kepergian Bapak, pelajaran kemandirian semakin berat kurasakan, karena tidak adanya pantauan dan arahan ketika aku melakukan kesalahan, sehingga pada akhirnya aku lebih memilih untuk diam. Masa depan yang dulu sempat aku gambarkan kini hanya dapat menjadi angan, aku tak tahu bagaimana cara untuk merealisasikan. Ibuku kurang perhatian karena harus bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan kami bertiga. Menjadi single parent memanglah berat untuk usia Ibu yang masih terbilang muda, karena saat itu usianya baru menginjak 25 tahun.
***
            Bias mentari menyinari pagi, kehangatannya begitu terasa, menguapkan titik-titik embun yang menggelantung diatas dedaunan. Kicauan burung menambah kemeriahan suasana pagi yang menentramkan hati. Tidak ada yang berbeda, masih tetap sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya saja kini aku telah tumbuh menjadi seorang remaja, masa dimana unsur-unsur kelabilan mulai melanda. Ketertarikan terhadap lawan jenis adalah hal biasa, tetapi yang membedakan adalah bagaimana cara untuk menyikapinya. Saat aku jatuh cinta untuk kali pertama, aku hanya dapat menyimpannya dalam rasa tanpa adanya ungkapan kepada yang bersangkutan. Ia adalah ‘sang juara’, sainganku ketika duduk di kelas 2 SD, entah apa yang membuatku tertarik kepadanya, hingga saat ini pun aku masih bertanya-tanya.
            “Bu, bagaimana sih rasanya jatuh cinta?” aku berangan melontarkan kalimat itu saat Ibu pulang kerja. Namun kutepis segera angan-angan tidak masuk akal itu karena rasanya Ibu tidak akan memberikan jawaban, yang ada aku malah akan dimarahi habis-habisan karena dianggap membangkang. Dan pada akhirnya aku harus kembali menyimpannya dalam hati, memendam keingintahuan tanpa adanya arahan yang pasti. Kucoba menuliskannya dalam diary, mungkin dengan ini aku lebih leluasa untuk mencurahkan isi hati.
           “Apa ini??”, aku terperanjat melihat diaryku ada di tangan Ibu. Aku yang saat itu, kira-kira 3 tahun yang lalu, masih lengkap dengan seragam putih biru tertunduk lesu. Menjawab sama dengan membangkang, jadi aku lebih memilih untuk diam dan mendengarkan kemarahan Ibu yang sudah tidak dapat beliau tahan. Bukan solusi yang beliau berikan, namun harga mati sebuah pernyataan tanpa disertai alasan, “Jangan pacaran!”.
***
            Halilintar menggelegar saling bersahutan, rinai hujan membasahi tanah, menimbulkan kekhasan bau basah. Tanganku bergetar, air mata tak dapat lagi kutahan, menetes membasahi buku tebal sedikit kumal yang tak sengaja aku temukan. Lembar demi lembar kubaca dengan seksama, setiap kata yang tertera diatasnya membuat hatiku semakin sedih dan terluka.
Hujan turun dengan derasnya, angin kencang menyelundup ke sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang, namun Ibu tak kunjung pulang. “Ibuu.. maafkan aku, maafkan aku..”, rintihku berkali-kali sambil memandangi tulisan yang mulai berwarna kekuningan dan hampir pudar.
***
            “Sudah siap?”, Ibu bertanya sembari mencampurkan rontokan bunga mawar dan irisan daun pandan ke dalam keranjang kecil. “Sudah bu”, timpalku dari dari balik pintu kamar yang terbuka lebar. Ziarah makam sudah menjadi rutinitas kami di awal lebaran, lebih tepatnya saat sang mentari belum mengembangkan senyuman dan hawa dingin masih begitu menusuk hingga ke tulang.
            Dalam kegelapan, nampak beberapa orang berjalan ke arah yang sama, kilau senter semakin memperjelas berapa jumlah mereka. Aku mengikuti langkah Ibu, melipat kedua lengan berusaha menghangatkan badan, dan tak lama berselang, kami pun sampai ke tempat tujuan.
            Batu nisan bertuliskan nama seseorang yang kami sayang terpajang, walaupun kupaksa agar menunjukkan rona wajah bahagia karena dapat mengunjungi pusara Ayahanda, namun tetap saja kepiluan yang aku rasa, terutama saat mengingat kembali tulisan Ibu. Ibu memimpin do’a, aku mengaminkan dengan linangan air mata, selesai berdo’a, kami berdua menaburkan bunga, beberapa kali tangan Ibu mengelus kepala batu nisan, wajahnya datar, namun aku dapat membaca wajah penuh kerinduan di depanku. Tiba-tiba saja tangan Ibu melambai kepadaku, aku pun mendekat mengikuti isyarat. Tak kusangka kini matanya sembab, Ibu berbalik dan memelukku erat, tangisnya tidak bersuara, namun linangan air mata begitu jelas kurasa, membasahi bahu kananku, aku tak dapat berkata apa-apa. “Ida, maafin Ibu, kalau selama ini tidak begitu memperhatikan kamu. Bukan maksud Ibu seperti itu, perlu kamu tahu kesedihan Ibu masih sama seperti dulu saat Bapak pergi meninggalkan kita semua. Ibu mana yang tega menyerahkan anaknya begitu saja kepada orang lain tanpa kesedihan yang tergambar diwajahnya. Bukan begitu nak, bukan begitu...”, Ibu sejenak menghentikan kata-katanya dan isak tangis pun mulai terdengar jelas di telinga.”Ibu akan selalu mencintai kalian berdua sampai ajal yang memisahkan kita.” Aku hanya mematung dipelukannya, mendengarkan segala keluh kesah yang beliau rasa.
Bias cahaya mentari begitu hangat kurasa, aku menggandeng lengan Ibu seakan ingin dimanja. Aku lega karena akhirnya tidak hanya mengetahui isi hatinya dari goresan tinta, namun juga ungkapan jujur yang keluar langsung melalui kata-kata.
***
“Hari ini tepat 5 tahun suamiku pergi,, berat memang bila harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah dalam satu waktu. Cobaan yang Allah berikan begitu berat aku rasakan, hampir-hampir aku terpuruk dalam keputus asaan. Namun begitu melihat kedua putriku, aku kembali tegar, aku harus lebih giat bekerja untuk mempersiapkan masa depan cerah mereka. Lika-liku kehidupan telah banyak aku kenyam, mulai dari yang membahagiakan sampai yang menyakitkan. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami rugi karena barang dagangan yang tak kunjung dibeli, hingga suatu hari aku harus pulang membawa kekecewaan tanpa sepeserpun uang yang aku dapatkan. Hatiku terkoyak begitu membaca buku tebal yang berisikan curhatan putriku tersayang. Aku sakit ketika dia menuliskan kata JATUH CINTA pada beberapa lembar berikutnya, aku tidak ingin belajarnya terganggu dengan urusan-urusan yang sama sekali tidak perlu. Cukup aku saja yang merasakan penyesalan dengan memikul kebodohan, putus sekolah karena memperjuangkan satu kata yang disebut CINTA. Bukan tanpa alasan aku melarangnya pacaran, namun aku hanya tidak ingin kesalahanku kembali terulang. Hidup dengan kebodohan sangatlah tidak menyenangkan, aku malu jika ditanya putriku seputar pelajarannya di sekolah, jujur aku sangat malu karena sama sekali tidak tahu. “Nak,,maafkan Ibu yang kadang ataupun sering terlihat tidak perduli, sesungguhnya sedang banyak sekali hal yang Ibu pikirkan. Saat kamu menanyakan Ibu tentang pelajaran, bukan berarti diam Ibu adalah bentuk ketidak pedulian, Ibu hanya malu karena sudah pasti tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Saat Ibu tak sengaja membaca diary yang kamu tinggalkan diatas meja, jujur nak,,Ibu khawatir, khawatir kesalahan Ibu akan terulang kembali, Ibu tahu rasanya nak,,sangat tidak enak hidup tanpa naungan ilmu. Jadi Ibu hanya mau kamu belajarlah yang rajin dulu, percayalah nak, suatu hari tanpa kamu ketahui ‘dia’ akan datang sendiri menghadap Ibu untuk ‘meminta’ kamu, jangan takut kehabisan, karena jodoh masing-masing telah ditetapkan. (Parakan, 28 juni 2012).
            Terkadang memang sulit untuk memahami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dimengerti, namun percayalah bahwa mereka melakukan hal demikian pasti ada alasan. Jadi, tetaplah berpikir rasional dan bersabar, karena buah dari kesabaran itu kelak akan kita ketam dan kemanisan akan kita rasakan.

-TAMAT-

Kamis, 03 Desember 2015

KENANGAN BERSAMA HUJAN

Image result for gambar saat hujan deras

Halilintar menggelegar saling bersahutan, angin kencang menusuk hingga ke tulang, hujan yang sedari tadi mengguyur tanpa henti, membuatku semakin erat memeluk diri sendiri, pakaianku kuyup karena berlari tanpa payung yang menaungi. “Dingin sekaliiii,,” ucapku pelan dengan bibir gemetar. Mengalami hal semacam ini, aku akan kembali mengingat peristiwa tak terlupakan beberapa tahun silam, peristiwa diamana aku tak dapat menahan perihnya kehilangan.
"Kau tahu, mimpi itu takkan pernah menjadi kenyataan apabila kamu tidak dapat merealisasikan. Kau bilang akan mewujudkan mimpi itu, sedangkan kau sendiri tak pernah mau bangun dari tidurmu, tak pernah mau mengusir kemalasan yang tertanam dihatimu." Suara itu selalu terngiang di telingaku, dan jujur, aku sangat rindu...
***
            Bel sekolah nyaring berbunyi, menandakan usainya jam pelajaran yang menjenuhkan. Teman-teman sekelasku sibuk membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk pulang, percakapan-percakapan begitu akrab terdengar membuat riuhnya suasana kelas di kala petang. Aku masih santai di tempat dudukku, “Ndah, aku duluan ya”, ucap Kayla yang paham dengan kebiasaan ‘unikku’ berpamitan. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa keluarnya sebuah kata, seulas senyuman bagiku telah mewakilinya.
            Kelas sudah sepi, tinggalah aku seorang diri. Aku mulai menyalin tulisan yang tertera di papan, mataku memang sudah tidak normal, jadi aku harus rela pulang paling akhir sendirian.
***
            Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyiratkan pancaran cahaya orange kekuningan, perlahan hilang ditelan gelap pertanda siang mulai berganti malam. Pemandangan indah seperti ini selalu menemaniku menyusuri jalanan yang mulai lenggang, sendiri berteman sepi mencari kendaraan pulang. Bosan rasanya bila hari-hariku terus berlalu seperti itu, tidak ada secuil pun hal istimewa yang kurasa. Pikiranku melayang, membayangkan hari ini ada seseorang yang berjalan menemaniku, bercengkrama dalam kenyataan, bukan sekedar dalam angan. “Ah,,aku bosan”, pekikku lirih sembari menendang kerikil di depanku.
            Angin tiba-tiba berhembus kencang, sepertinya akan turun hujan. Dan benar, selang beberapa langkah, hujan deras menguyur tanah hingga basah, aku segera berlari mencari tempat berteduh. Seragam putih abu-abu panjang yang kukenakan basah, aku mulai resah, memikirkan bagaimana cara untuk segera pulang ke rumah. “Baru pulang dek?”, tanya perempuan berjilbab lebar membuyarkan lamunan, “E, iya, kak”, jawabku sekenanya. Ia terlihat begitu ramah dengan keteduhan senyuman yang merekah. Tangannya tampak memeluk beberapa map berisikan kertas, sepertinya ia mahasisiwa. Beberapa kali mataku sedikit meliriknya, dan kakak tanpa nama itu begitu membuatku terkesima. Sambil menunggu hujan reda, ia membaca Al-Qur’an kecil di tangan kanannya, bibir dan mata tampak bergerak seirama, menyusuri rangkaian ayat-ayat cinta dari Sang Pencipta.  Adzan maghrib berkumandang, samar-samar terdengar karena beradu dengan gemuruh hujan yang terus berjatuhan. “Nanti pulangnya gimana?”, kakak itu kembali bertanya. “Naik angkutan umum kak, seperti biasa, tapi kali ini nunggu hujan reda”, aku berusaha menyembunyikan kekhawatiran. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, raut wajahnya seperti tak tega bila harus meninggalkan aku seorang diri di jalanan yang teramat sepi, “Gimana kalau sekarang kita sholat dulu dek, nanti kakak antar kamu sampai ke rumah. Jam segini kayaknya angkot udah gak ada”, ucapnya berusaha meyakinkan. Aku yang sempat ragu tidak dapat menolak tawaran yang ia berikan. Berdua berboncengan diatas motor matic hitam, mencari masjid terdekat untuk bersembahyang.
***
            “Indah,,, kak Rahma nunggu kamu tuh”, suara Ibu megingatkanku. Rahma Yulia, itulah nama panjangnya, tetapi aku memanggilnya kak Rahma. Saat mengantarku pulang hari itu, akhirnya aku tahu namanya dan tidak lagi memanggilnya kakak tanpa nama. Kami berdua semakin dekat, lebih dari kedekatan seorang sahabat, namun lebih tepatnya aku menganggapnya sebagai kakak. Kak Rahma begitu dewasa, dia selalu mendengarkan semua keluh kesah yang kurasa. Dengan seksama ia mendengarnya, dan di akhir cerita pasti akan ada nasehat penggugah jiwa yang diberikannya. Ah, aku begitu sayang padanya. J
            Satu tahun berlalu, aku masuk ke kampus yang sama dengan kak Rahma tetapi jurusan kami berbeda, kak Rahma di bagian sastra dan aku matematika. Karya-karya kak Rahma begitu mempesona, terkadang cerita-cerita yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata. Beberapa kali namanya tertulis di majalah kampus dan beberapa cerpennya menyabet juara dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan Fakultas Sastra Budaya.
            Ketenaran tak membuatnya lupa bahwa kakinya masih memijak daratan, tak melambungkan walaupun beberapa kali diminta untuk mengisi seminar kepenulisan. Ia tetap apa adanya, rendah hati begitu kuat tertambat sebagai pondasi hidupnya.
***
            “Indah,,tunggu!!”, kak Rahma berteriak lantang melihatku pergi begitu saja saat dia mencoba menjelaskan kejadian yang menorehkan luka di dada. Aku menyesal telah bertindak kekanak-kanakan kala itu, aku berpikir seandainya waktu dapat diulang, maka tak sedikitpun tubuh kugeserkan. Aku akan mendengarkannya dengan seksama, seperti yang sering dilakukan kak Rahma. Buruk sangka telah merubah segalanya.
            Hujan turun begitu derasnya, aku berlari menerobos hujan tanpa naungan. Sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang menghiasi jalan. Pikiranku terus dibayangi sosok Fadli dan kak Rahma sedang asyik bercengkrama. Brakk!!! Suara benturan begitu keras terdengar, mengalahkan derasnya suara hujan. Aku menoleh kebelakang, samar-samar mataku memandang seorang perempuan berjilbab lebar terkapar di tengah jalan, beberapa orang tampak mengerumuni, seketika jantungku terasa berhenti. “Kakkkk”, pekikku sembari berlari menghampiri. Darah segar mengalir tersiram air hujan, kerudung putihnya berubah menjadi merah berlumuran darah. Aku segera memangku kepala kak Rahma dan menangis sejadi-jadinya. Nafas kak Rahma tak beraturan, namun bibirnya tak henti-hentinya digerakkan. Perlahan matanya terbuka, bibirnya menyiratkan senyuman saat melihatku tengah tersenggal-senggal dengan air mata bercucuran. Wajahnya tak sedikitpun menunjukkan kesakitan, tatapannya mulai nanar, tangan kanannya berusaha menyentuh wajahku. “Maaa..aaff..dek”, itulah kata terakhir kak Rahma yang membuatku semakin meronta, karena tidak seharusnya ia mengucapkannya.
***
            Malam semakin larut, aku masih termenung memikirkan kesalahan fatal yang telah kulakukan, dan kini aku merasa sangat kehilangan. Terlebih mendengar pengakuan jujur Fadli tentang kebersamaan mereka di hari terakhir kak Rahma, “Aku dan Rahma diundang sebagai partner untuk mengisi seminar”. Penyesalan dalam diri tak dapat kututupi, tiga hari aku termenung sendiri berteman sepi selepas kak Rahma pergi. Tiada lagi yang mendengar cerita-ceritaku, tertawa melepas rindu ketika beberapa hari ia pergi keluar kota untuk mengisi acara. Memberiku solusi soal kegalauan remaja masa kini dengan dalil-dalil Al-Qur’an yang menenangkan.
Memang, adanya pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan, karena kehidupan di dunia hanyalah sementara, tidak satu pun manusia akan hidup untuk selamanya. Dan sebelum hari itu tiba, tidak ada salahnya kita menyayangi mereka sebanyak yang kita bisa. Sebelum terjadi penyesalan karena berpisah dengan kesalahan yang belum sempat terbayar dan ucapan maaf yang tidak sempat tersampaikan.
Ketika hujan aku menemukannya, dan ketika hujan pula aku harus rela melepas kepergiannya. Terimakasih kak Rahma Yulia, kamulah sahabat terbaik yang pernah kupunya. J