Kamis, 14 April 2016

CATATAN DALAM SEBUAH PENANTIAN


“Berikan aku alasan!”
Nada suaranya meninggi, menghentikan langkah kaki seorang perempuan yang baru saja beranjak pergi. Pemuda itu begitu meredam amarah hingga membuat wajahnya kian memerah, mata sayunya menahan lara hingga berkaca-kaca.
            Itu kali pertama ia, lelaki bernama Rangga bertatap muka dengan seorang perempuan yang dikenalnya lewat dunia maya. Desir angin menggugurkan dedaunan dari tangkai pepohonan yang rindang, semburan air mancur di tengah taman menciptakan kesejukan. Sesekali suara burung terdengar berkicauan riang, menambah keramaian taman saat akhir pekan. Tepat di sisi air mancur, perempuan bernama Rida itu menghentikan langkah dan memutuskan untuk berbalik arah, menghampiri pemuda yang sekilas nampak berdiri gagah. Wajah ayunya menyiratkan kecemasan, kerudung panjang dengan motif garis berwarna pink keunguan berkibar pelan seirama dengan arah angin yang menenangkan.
“Alasannya hanya satu akhi, aku tidak bisa menerimannya jika jalan seperti itu yang antum pinta. Aku takut Allah murka..”, ucap Rida dengan wajah pasi.
Rangga terdiam seketika, jawaban yang menyerupai tamparan itu membuatnya sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan besar. Kali ini tak ada lagi alasan Rangga untuk mencegah kepergiannya. Sosok Rida dengan cepat hilang di tengah kerumunan orang-orang yang sedang menikmati libur akhir pekan.
***
             Air mata berderai di atas benatangan sajadah, pada sepertiga malam gadis berparas menawan itu mengadukan seluruh kegundahan yang selama ini ia pendam, rasa cinta terhadap seorang ikhwan tersimpan dalam diam. Hanya satu do’anya terkait hal itu, “Jika memang ia di takdirkan menjadi imamku, maka satukanlah kami dalam ikatan tali pernikahan nan suci. Tak rela jika hati ini harus terkotori dengan umbaran janji yang tak pasti”.
            Buku tebal berwarna hitam tergeletak di atas dipan, pada sampul depan terukir sebuah nama, Farida Nisa. Di waktu tertentu, Rida tidak akan absen untuk mengisi buku tebal berukuran sedang. Hampir setengah darinya telah tergores pena, membentuk rangkaian kata yang menyimpan alur cerita rahasia dalam hidupnya.
            Kerikan jangkrik memecah keheningan malam, teramat gulita tanpa adanya cahaya sebagai sumber penerang. Wajah sang bulan tertutup awan, kemerlip bintang hilang ditelan kegelapan. Lampu pijar menyisakan temaram cahaya pada salah satu ruangan, seorang gadis muda masih setia bersimpuh di hadapan Rabb-nya. Ia amat menyesali perbuatannya pagi tadi dengan menemui laki-laki yang bukan mahramnya seorang diri, meski tempat itu jauh dari kata sepi.
***
            Cangkir kopi masih tergeletak di atas meja, tumpukan kertas tercecer tak beraturan, seorang pemuda terkapar kelelahan. Tak lama kemudian, adzan subuh berkumandang memecah keheningan di penghujung malam. Perlahan mata Rangga terbuka masih dengan kacamata minus yang belum sempat dilepasnya.
Astagfirullah...tugas!!!”
Matanya nanar menatap ceceran kertas di atas meja, tugas akhir D3 Teknik Informatika sebuah Universitas ternanama di Ibukota. Akhir-akhir ini waktu Rangga habis untuk melakukan revisi, menebus ketidak seriusannya selama ini. Kalau tidak karena kejadian tempo hari, mungkin sampai saat ini ia akan tetap  menunda revisi.
            Cahaya mentari menyambut pagi, mengganti dinginnya malam dengan kehangatan. Rangga masih serius dengan runtutan kertas yang keluar dari printer hitam di samping meja, sesekali ia membenarkan posisi kacamata. Handphone di atas meja terus berbunyi, pesan-pesan dari sosial media memenuhi notifikasi. Biasanya, Rangga akan segera meraih ponselnya, dan dapat seharian menatap layar telepon genggam untuk sekedar chatting dengan teman-teman. Namun hari itu ada yang berbeda, ia mengabaikan seluruh antrean pesan, tak satupun dari mereka mendapat balasan. Rangga memilih untuk fokus menyelesaikan tugas D3 yang akan menentukan kelulusan. Kata-kata Rida bak tamparan keras yang mendarat di pipinya, panas. Memang tak seharusnya ia memaksa Rida untuk bertatap muka.
            Kini layar smart phone dipenuhi rentetan notifikasi, tetapi Rangga tak kunjung menemukan apa yang ia cari. Matanya berkaca-kaca, penyesalan semakin jelas terlukis di wajah manisnya.
***
Jika memang sudah ditakdirkan, meski diperebutkan seribu orang, bagaikan sebuah kapal, tetap akan kembali ke pelabuhan.
Pun sebaliknya, jika memang tak ditakdirkan, sekeras apapun kita mengejar, tetap akan menjauh walau perlahan.
Rangkaian kata pelipur lara, penyembuh goresan luka di dada. Rangga  menghembuskan nafas lega setelah membaca tulisan Rida.
Badan bus melaju dengan kecepatan standar, tubuh jangkung Rangga beberapa kali terguncang saat roda bus bertuliskan “Trans Jakarta” melewati lubang akibat kerusakan jalan. Matanya menerawang keluar kaca jendela, ponsel ditangannya berdering tak henti-hentinya, puluhan pesan masuk dari sosial media, namun seperti biasa, Rangga mengabaikannya. Hati kecilnya berbicara, “Jika memang kamu, akan kuperjuangkan”, dan seketika senyuman di bibirnya mengembang.
***
Anugrah terindah dari-Nya adalah CINTA. Terkadang cinta membuat kalap mata, berpijar bak bintang kejora. Jika aku lengah menjaga, kemungkinan besar aku akan kalut dalam cinta semu yang akan menggoyahkan benteng hatiku. Aku masih setia tuk menjaga, menjaga cinta dalam dada, hingga tiba hari dimana kau akan memilikinya.
Buku biru itu terbuka, terungkap sudah satu rahasia di dalamnya. Rida menyebutnya, “Catatan Dalam Sebuah Penantian”. Tiga tahun sudah ia menjaga hati, memantaskan diri, dan tidak berinteraksi dengan laki-laki. Jera dengan pengalaman masa lalu, saat Rangga memintanya untuk menunggu sekaligus mengumbar janji semu.
“Perempuan baik tak butuh janji, hanya perlu bukti jika benar-benar serius untuk mencintai!”, kalimat ini seolah terpatri dalam sanubari.
            Sebagai jebolan Fakultas Sastra dan Budaya, karya-karya Rida begitu mempesona, dan tak jarang cerita-cerita yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata tanpa terasa. Beberapa prestasi telah diraihnya, jajaran piala dari berbagai macam lomba kepenulisan, juga beberapa penghargaan menghiasi dinding kamar bercat putih nan elegan. Salah satu piagam bertuliskan Novelis Muda Berbakat adalah bukti kerja keras seorang Farida Nisa selama ini. Tajuk Al-Qur’an menjadi bumbu yang berbeda dalam novelnya, membuat pembaca tenang dengan ulasan hikmah dari tarjamahan kitab suci umat Islam.
Lika-liku dalam perjalanan telah Rida lalui sebelum mencapai tempatnya berdiri saat ini. Dia bisa karena berani meramukan hal berbeda dalam karyanya, tak gentar walau harus berkali-kali gagal, Rida terus mencoba, memperbaiki kekurangan yang ada, tanpa sedikitpun putus asa, sama sekali tidak ada dalam kamus hidupnya.
Tiga tahun berlalu, ketenaran tak membuat gadis berusia 24-an itu lupa daratan, tak melambungkannya walaupun acap kali di minta untuk mengisi acara seminar kepenulisan. Sifat rendah hati telah terpatri sebagai pondasi dalam diri. Sudah fitrah manusia memiliki rasa cinta, namun cinta hakiki hanya dimiliki mereka yang dapat menjaga hati, mengontrol diri agar hawa nafsu terkendali. Diam-diam hati Rida mulai merindukan seseorang yang akan memberikannya perlindungan, hatinya mulai gusar, secercah harapan masih tersimpan, dan nama Rangga Putra Sanjaya masih terselip dalam do’a. Tetapi apa mau dikata, takdir akan tetap berbicara.
***
            Suara tangis anak laki-laki berusia sekitar 3 tahunan itu semakin keras, perempuan dengan rambut hitam yang tergerai lebat berusaha menenangkan.
            “Ngga, tolong antar Fatih ke toko buku sebentar ya, ada rapat dadakan nih”, ucapnya kepada seorang laki-laki berdasi yang tengah duduk santai di atas kursi menikmati secangkir kopi. Piring di atas meja telah kosong tak ada sisa, potongan terakhir sandwich telah dihabiskannya. Dengan sigap ia berdiri memasang posisi hormat, “Siap komandan!! Ayo jagoan, kita berangkat”, ajak Rangga menghibur Fatih yang masih berurai air mata, senyuman akhirnya mengembang di bibir mungilnya.
            Tak sampai satu jam, bangunan berisikan banyak buku yang dijual telah menumpu pandangan. Mata Rangga menelisik dalam, membaca tulisan di atas pamflet-pamflet yang terpampang di depan toko buku, menyambut lalu lalang orang-orang yang berdatangan. Sejenak ia terdiam, pikirannya berusaha memutar memori, nama penulis novel Diary Kehidupan itu seperti tak asing lagi.
 “Ayo beli buku cerita”
Tangan kecil Fatih menarik-narik kemeja Rangga, membuat lamunannya buyar seketika.
            Antrean panjang berjajar, novel berjudul Diary Kehidupan dibawa oleh setiap orang, “Rupanya sedang ada sesi tanda tangan”, ucap Rangga sembari mengangguk pelan. Memori di otaknnya berputar seketika setelah melihat senyuman terpancar dari wajah seorang perempuan yang dulu sempat mengisi kekosongan hati. Perlahan kaki Rangga mendekati sebuah meja yang terletak di tenngah-tengah karangan bunga, senyuman itu begitu merona, di suguhkan kepada setiap penggemar novelnya.
“Rida...”, serak suara memanggil nama sang novelis yang tengah asyik membubuhkan tanda tangan di atas karya terbarunya. Kepalanya menengadah, mencari asal suara yang memanggilnya, rona keceriaan memudar seketika, antara percaya dan tidak percaya melihat kembali wajah seseorang yang diam-diam ia rindukan.
“Buku...buku...buku”
Fatih meronta, tak sabar untuk membeli buku cerita Kancil dan Singa. Pemandangan itu membuat butiran bening tertahan di pelupuk mata Rida, secercah harap seakan sirna. Rangga tak sempat berkata-kata, lidahnya kelu mengingat kenangan masa lalu. Hanya kata terbata yang sempat keluar dari mulutnya, “I..i..iya sebentar”, menuruti rengekan anak kecil yang sedari tadi menarik-narik lengan kemejanya.
***
            Semilir angin menyejukkan suasana taman kota, udara segar menjalar hingga ke alveolus paru. Burung-burung berkicauan riang, semburat air mancur membiaskan cahaya mentari membentuk gabungan warna pelangi. Di tempat inilah Rida bernostalgia, kelebat bayang dua orang yang baru pertama kalinya bertatap muka begitu terasa, bak sedang menyaksikan satu scence dalam sebuah drama.
            Laptop warna biru menyala, akhirnya novel terbaru karya Farida Nisa yang berjudul Catatan Dalam Sebuah Penantian telah tiba di penghujung jalan, ending dari cerita telah Rida tetapkan. Novel yang menceritakan tentang realita kehidupan, serta lika-liku dalam sebuah penantian dari sang empu. Telisik mata menyusuri rangkaian kata pada halaman Word di layar laptopnya. Jemari yang sedari tadi terus menari di atas keyboard, tiba-tiba berhenti, Rida melepas bingkai kacamata, memijit kening yang mulai pening.
            “Nduk, kamu mau ya Ayah kenalkan sama junior Ayah di kantor. In syaallah orangnya sholeh”, perkataan Ayah semalam membuat Rida semakin dirundung kegalauan. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba tuk mendengar kata hatinya, “Apa salahnya jika mencoba, siapa tahu ini adalah jalan yang telah Allah tetapkan, skenario indah yang mungkin belum pernah terbayang”.
Sejatinya, tidak ada kesia-siaan dalam sebuah penantian. Cukup gunakan waktu menunggu untuk melakukan hal-hal yang baru, merealisasikan mimpi dan mengukir prestasi. (Farida Nisa)
***
            Matahari semakin meninggi, merubah kehangatan menjadi terik yang kian mendidihkan ubun-ubun. Rida segera mengemasi barang bawaannya. Di balik balutan gamis hitam dan kerudung hijau muda, tersimpan perasaan yang amat menyesakkan, namun itu semua ia tepis seketika dengan senyuman. Rida memilih bangkit dari keterpurukan, akhirnya do’a di seprtiga malamnya telah terjawabkan, bahwa mungkin memang bukan nama Rangga Putra Sanjaya yang menjadi takdirnya. “Bismillah...Ya Allah, aku telah pasrah..”, air mancur taman kota seolah menjadi saksi, merekam suara lirih yang menggambarkan isi hati.
            Aroma masakan telah tercium mulai dari pintu depan, sedikit melangkah, aromanya semakin menggoda lidah. Bermacam makanan terhidang, Ibu Rida nampak sibuk mengaduk-aduk sesuatu diatas teflon berukuran sedang.
“Ada acara apa Bu?”, tanya Rida sembari mendekati Ibunya.
“Eh Nduk, sudah pulang. Ini, Ayah mengadakan jamuan makan untuk teman kantor”, dentingan teflon dan spatula saling beradu di sela-sela percakapan, senyuman tersirat di wajah Ibunya yang sudah mulai banyak kerutan. Gadis itu sedikit mengulum bibirnya, seakan tahu maksud dari jamuan makan yang Ibunya bicarakan.
***
            Jam dinding menunjukkan pukul empat, para tamu yang sengaja Ayah Rida undang telah datang. Ruang tamu riuh dengan gelak tawa, dua orang laki-laki berkemeja rapi, dan satu orang perempuan berambut panjang yang merupakan teman kantor Pak Arif, Ayah Rida, tengah asyik bercengkerama seputar pekerjaan.
Salah seorang pemuda yang diceritakan Ayah Rida tengah berbicara tentang bidang informatika yang kini dikontrolnya. Rambutnya hitam, dengan potongan sederhana ala pekerja kantoran. Kacamata minus tak lekang dari pangkal hidungnya, membingkai sepasang mata berlensa cokelat. Kulit sawo matang tak sedikitpun memudarkan ketampanan, sirat senyuman membuat wajahnya semakin menawan. Tak heran jika banyak perempuan yang menggantungkan harapan, namun tak satupun dari mereka mendapat kepastian, karena hati pemuda itu masih bimbang.
            Rida telah rapi dengan gamis ungu muda dan kerudung senada yang telah disiapkan Ibunya. Ia menghela nafas panjang, wajah cantiknya menyiratkan kecemasan, jantungnya berdegup kencang.
Bismillah... Rida telah pasrah, hanya berharap dirinya tidak akan menemukan orang yang salah.
***
            Sepoi angin menyapu dedauan kering di halaman, seorang perempuan tengah sibuk mengejar anak laki-laki yang berlarian kesana kemari, begitu lincah seperti tak punya rasa lelah. Dari teras rumah, seorang laki-laki berkacamata minus mengamati, berteman secangkir kopi. “Farid! Sini sayang..”, panggilnya kepada anak kecil yang masih berusia lebih kurang 2 tahunan.
          “Ya Allah..Mas Rangga, anak kita lincah sekali”, ucap perempuan berjilbab putih panjang masih dengan nafas tersenggal. Rangga melemparkan senyuman, “Persis sama mamanya, Farida Nisa. Iya kan sayang?”, ucapnya sembari mengangkat farid ke atas pangkuan. Rida terkekeh mendengar jawaban suaminya.
Senja datang menyapa, semburat mega memperindah suasana, putra kecil mereka sedang asyik menikmati biskuit di tangannya.
“Kamu ingat nggak Da, waktu dulu kita bertemu kembali setelah sekian lama?”, ucap Rangga bernostalgia.
“Iya ingat”, Rida mengangkat kepala yang tadinya bersandar di bahu Rangga, senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.
“Sebenarnya, waktu itu aku sangat terluka, merasa bahwa penantianku telah berujung sia-sia, cinta yang kusampaikan lewat do’a seakan tak ada guna”,
Kejujuran terlukis di mata Rida, membuat Rangga terkesima, dengan penuh kasih sayang, ia langsung memeluk erat anak dan istrinya. Menciptakan sebuah akhir bahagia seperti yang ada di dalam cerita-cerita.
Jika hati telah pasrah dan sungguh-sungguh untuk berhijrah, jangan resah, karena skenario Allah jauh lebih indah. (Farida Nisa)
-TAMAT-