“Berikan aku alasan!”
Nada suaranya meninggi, menghentikan
langkah kaki seorang perempuan yang baru saja beranjak pergi. Pemuda itu begitu
meredam amarah hingga membuat wajahnya kian memerah, mata sayunya menahan lara
hingga berkaca-kaca.
Itu
kali pertama ia, lelaki bernama Rangga bertatap muka dengan seorang perempuan
yang dikenalnya lewat dunia maya. Desir angin menggugurkan dedaunan dari
tangkai pepohonan yang rindang, semburan air mancur di tengah taman menciptakan
kesejukan. Sesekali suara burung terdengar berkicauan riang, menambah keramaian
taman saat akhir pekan. Tepat di sisi air mancur, perempuan bernama Rida itu
menghentikan langkah dan memutuskan untuk berbalik arah, menghampiri pemuda
yang sekilas nampak berdiri gagah. Wajah ayunya menyiratkan kecemasan, kerudung
panjang dengan motif garis berwarna pink
keunguan berkibar pelan seirama dengan arah angin yang menenangkan.
“Alasannya hanya satu akhi, aku tidak bisa menerimannya jika
jalan seperti itu yang antum pinta.
Aku takut Allah murka..”, ucap Rida dengan wajah pasi.
Rangga terdiam seketika, jawaban yang
menyerupai tamparan itu membuatnya sadar, bahwa ia telah melakukan kesalahan besar.
Kali ini tak ada lagi alasan Rangga untuk mencegah kepergiannya. Sosok Rida
dengan cepat hilang di tengah kerumunan orang-orang yang sedang menikmati libur
akhir pekan.
***
Air mata berderai di atas benatangan sajadah, pada
sepertiga malam gadis berparas menawan itu mengadukan seluruh kegundahan yang
selama ini ia pendam, rasa cinta terhadap seorang ikhwan tersimpan dalam diam. Hanya satu do’anya terkait hal itu,
“Jika memang ia di takdirkan menjadi imamku, maka satukanlah kami dalam ikatan
tali pernikahan nan suci. Tak rela jika hati ini harus terkotori dengan umbaran
janji yang tak pasti”.
Buku
tebal berwarna hitam tergeletak di atas dipan, pada sampul depan terukir sebuah
nama, Farida Nisa. Di waktu tertentu, Rida tidak akan absen untuk mengisi buku
tebal berukuran sedang. Hampir setengah darinya telah tergores pena, membentuk
rangkaian kata yang menyimpan alur cerita rahasia dalam hidupnya.
Kerikan
jangkrik memecah keheningan malam, teramat gulita tanpa adanya cahaya sebagai
sumber penerang. Wajah sang bulan tertutup awan, kemerlip bintang hilang
ditelan kegelapan. Lampu pijar menyisakan temaram cahaya pada salah satu
ruangan, seorang gadis muda masih setia bersimpuh di hadapan Rabb-nya. Ia amat menyesali
perbuatannya pagi tadi dengan menemui laki-laki yang bukan mahramnya seorang
diri, meski tempat itu jauh dari kata sepi.
***
Cangkir
kopi masih tergeletak di atas meja, tumpukan kertas tercecer tak beraturan, seorang
pemuda terkapar kelelahan. Tak lama kemudian, adzan subuh berkumandang memecah
keheningan di penghujung malam. Perlahan mata Rangga terbuka masih dengan
kacamata minus yang belum sempat dilepasnya.
“Astagfirullah...tugas!!!”
Matanya nanar menatap ceceran kertas di atas
meja, tugas akhir D3 Teknik Informatika sebuah Universitas ternanama di Ibukota.
Akhir-akhir ini waktu Rangga habis untuk melakukan revisi, menebus ketidak
seriusannya selama ini. Kalau tidak karena kejadian tempo hari, mungkin sampai
saat ini ia akan tetap menunda revisi.
Cahaya
mentari menyambut pagi, mengganti dinginnya malam dengan kehangatan. Rangga
masih serius dengan runtutan kertas yang keluar dari printer hitam di samping meja, sesekali ia membenarkan posisi
kacamata. Handphone di atas meja
terus berbunyi, pesan-pesan dari sosial media memenuhi notifikasi. Biasanya,
Rangga akan segera meraih ponselnya, dan dapat seharian menatap layar telepon
genggam untuk sekedar chatting dengan
teman-teman. Namun hari itu ada yang berbeda, ia mengabaikan seluruh antrean
pesan, tak satupun dari mereka mendapat balasan. Rangga memilih untuk fokus
menyelesaikan tugas D3 yang akan menentukan kelulusan. Kata-kata Rida bak
tamparan keras yang mendarat di pipinya, panas. Memang tak seharusnya ia
memaksa Rida untuk bertatap muka.
Kini
layar smart phone dipenuhi rentetan
notifikasi, tetapi Rangga tak kunjung menemukan apa yang ia cari. Matanya berkaca-kaca,
penyesalan semakin jelas terlukis di wajah manisnya.
***
Jika memang
sudah ditakdirkan, meski diperebutkan seribu orang, bagaikan sebuah kapal,
tetap akan kembali ke pelabuhan.
Pun sebaliknya,
jika memang tak ditakdirkan, sekeras apapun kita mengejar, tetap akan menjauh
walau perlahan.
Rangkaian kata pelipur lara, penyembuh
goresan luka di dada. Rangga
menghembuskan nafas lega setelah membaca tulisan Rida.
Badan bus melaju dengan kecepatan
standar, tubuh jangkung Rangga beberapa kali terguncang saat roda bus
bertuliskan “Trans Jakarta” melewati lubang akibat kerusakan jalan. Matanya
menerawang keluar kaca jendela, ponsel ditangannya berdering tak
henti-hentinya, puluhan pesan masuk dari sosial media, namun seperti biasa,
Rangga mengabaikannya. Hati kecilnya berbicara, “Jika memang kamu, akan
kuperjuangkan”, dan seketika senyuman di bibirnya mengembang.
***
Anugrah terindah
dari-Nya adalah CINTA. Terkadang cinta membuat kalap mata, berpijar bak bintang
kejora. Jika aku lengah menjaga, kemungkinan besar aku akan kalut dalam cinta
semu yang akan menggoyahkan benteng hatiku. Aku masih setia tuk menjaga,
menjaga cinta dalam dada, hingga tiba hari dimana kau akan memilikinya.
Buku biru itu terbuka, terungkap sudah
satu rahasia di dalamnya. Rida menyebutnya, “Catatan Dalam Sebuah Penantian”.
Tiga tahun sudah ia menjaga hati, memantaskan diri, dan tidak berinteraksi
dengan laki-laki. Jera dengan pengalaman masa lalu, saat Rangga memintanya untuk
menunggu sekaligus mengumbar janji semu.
“Perempuan baik tak butuh janji, hanya
perlu bukti jika benar-benar serius untuk mencintai!”, kalimat ini seolah
terpatri dalam sanubari.
Sebagai
jebolan Fakultas Sastra dan Budaya, karya-karya Rida begitu mempesona, dan tak
jarang cerita-cerita yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata tanpa terasa.
Beberapa prestasi telah diraihnya, jajaran piala dari berbagai macam lomba
kepenulisan, juga beberapa penghargaan menghiasi dinding kamar bercat putih nan
elegan. Salah satu piagam bertuliskan
Novelis Muda Berbakat adalah bukti kerja keras seorang Farida Nisa selama
ini. Tajuk Al-Qur’an menjadi bumbu yang berbeda dalam novelnya, membuat pembaca
tenang dengan ulasan hikmah dari tarjamahan kitab suci umat Islam.
Lika-liku dalam perjalanan telah Rida
lalui sebelum mencapai tempatnya berdiri saat ini. Dia bisa karena berani
meramukan hal berbeda dalam karyanya, tak gentar walau harus berkali-kali
gagal, Rida terus mencoba, memperbaiki kekurangan yang ada, tanpa sedikitpun
putus asa, sama sekali tidak ada dalam kamus hidupnya.
Tiga tahun berlalu, ketenaran tak
membuat gadis berusia 24-an itu lupa daratan, tak melambungkannya walaupun acap
kali di minta untuk mengisi acara seminar kepenulisan. Sifat rendah hati telah
terpatri sebagai pondasi dalam diri. Sudah fitrah manusia memiliki rasa cinta,
namun cinta hakiki hanya dimiliki mereka yang dapat menjaga hati, mengontrol
diri agar hawa nafsu terkendali. Diam-diam hati Rida mulai merindukan seseorang
yang akan memberikannya perlindungan, hatinya mulai gusar, secercah harapan
masih tersimpan, dan nama Rangga Putra Sanjaya masih terselip dalam do’a.
Tetapi apa mau dikata, takdir akan tetap berbicara.
***
Suara
tangis anak laki-laki berusia sekitar 3 tahunan itu semakin keras, perempuan
dengan rambut hitam yang tergerai lebat berusaha menenangkan.
“Ngga,
tolong antar Fatih ke toko buku sebentar ya, ada rapat dadakan nih”, ucapnya
kepada seorang laki-laki berdasi yang tengah duduk santai di atas kursi
menikmati secangkir kopi. Piring di atas meja telah kosong tak ada sisa,
potongan terakhir sandwich telah
dihabiskannya. Dengan sigap ia berdiri memasang posisi hormat, “Siap komandan!!
Ayo jagoan, kita berangkat”, ajak Rangga menghibur Fatih yang masih berurai air
mata, senyuman akhirnya mengembang di bibir mungilnya.
Tak
sampai satu jam, bangunan berisikan banyak buku yang dijual telah menumpu
pandangan. Mata Rangga menelisik dalam, membaca tulisan di atas pamflet-pamflet
yang terpampang di depan toko buku, menyambut lalu lalang orang-orang yang
berdatangan. Sejenak ia terdiam, pikirannya berusaha memutar memori, nama
penulis novel Diary Kehidupan itu
seperti tak asing lagi.
“Ayo beli buku cerita”
Tangan kecil Fatih menarik-narik kemeja
Rangga, membuat lamunannya buyar seketika.
Antrean
panjang berjajar, novel berjudul Diary
Kehidupan dibawa oleh setiap orang, “Rupanya sedang ada sesi tanda tangan”,
ucap Rangga sembari mengangguk pelan. Memori di otaknnya berputar seketika
setelah melihat senyuman terpancar dari wajah seorang perempuan yang dulu
sempat mengisi kekosongan hati. Perlahan kaki Rangga mendekati sebuah meja yang
terletak di tenngah-tengah karangan bunga, senyuman itu begitu merona, di
suguhkan kepada setiap penggemar novelnya.
“Rida...”, serak suara memanggil nama
sang novelis yang tengah asyik membubuhkan tanda tangan di atas karya
terbarunya. Kepalanya menengadah, mencari asal suara yang memanggilnya, rona
keceriaan memudar seketika, antara percaya dan tidak percaya melihat kembali
wajah seseorang yang diam-diam ia rindukan.
“Buku...buku...buku”
Fatih meronta, tak sabar untuk membeli
buku cerita Kancil dan Singa. Pemandangan
itu membuat butiran bening tertahan di pelupuk mata Rida, secercah harap seakan
sirna. Rangga tak sempat berkata-kata, lidahnya kelu mengingat kenangan masa
lalu. Hanya kata terbata yang sempat keluar dari mulutnya, “I..i..iya
sebentar”, menuruti rengekan anak kecil yang sedari tadi menarik-narik lengan
kemejanya.
***
Semilir
angin menyejukkan suasana taman kota, udara segar menjalar hingga ke alveolus
paru. Burung-burung berkicauan riang, semburat air mancur membiaskan cahaya
mentari membentuk gabungan warna pelangi. Di tempat inilah Rida bernostalgia,
kelebat bayang dua orang yang baru pertama kalinya bertatap muka begitu terasa,
bak sedang menyaksikan satu scence
dalam sebuah drama.
Laptop
warna biru menyala, akhirnya novel terbaru karya Farida Nisa yang berjudul Catatan Dalam Sebuah Penantian telah tiba
di penghujung jalan, ending dari cerita
telah Rida tetapkan. Novel yang menceritakan tentang realita kehidupan, serta
lika-liku dalam sebuah penantian dari sang empu. Telisik mata menyusuri rangkaian
kata pada halaman Word di layar
laptopnya. Jemari yang sedari tadi terus menari di atas keyboard, tiba-tiba berhenti, Rida melepas bingkai kacamata,
memijit kening yang mulai pening.
“Nduk, kamu mau ya Ayah kenalkan sama
junior Ayah di kantor. In syaallah
orangnya sholeh”, perkataan Ayah semalam membuat Rida semakin dirundung
kegalauan. Sejenak ia memejamkan mata, mencoba tuk mendengar kata hatinya, “Apa
salahnya jika mencoba, siapa tahu ini adalah jalan yang telah Allah tetapkan,
skenario indah yang mungkin belum pernah terbayang”.
Sejatinya, tidak
ada kesia-siaan dalam sebuah penantian. Cukup gunakan waktu menunggu untuk
melakukan hal-hal yang baru, merealisasikan mimpi dan mengukir prestasi. (Farida Nisa)
***
Matahari
semakin meninggi, merubah kehangatan menjadi terik yang kian mendidihkan
ubun-ubun. Rida segera mengemasi barang bawaannya. Di balik balutan gamis hitam
dan kerudung hijau muda, tersimpan perasaan yang amat menyesakkan, namun itu
semua ia tepis seketika dengan senyuman. Rida memilih bangkit dari keterpurukan,
akhirnya do’a di seprtiga malamnya telah terjawabkan, bahwa mungkin memang
bukan nama Rangga Putra Sanjaya yang menjadi takdirnya. “Bismillah...Ya Allah, aku telah pasrah..”, air mancur taman kota
seolah menjadi saksi, merekam suara lirih yang menggambarkan isi hati.
Aroma
masakan telah tercium mulai dari pintu depan, sedikit melangkah, aromanya
semakin menggoda lidah. Bermacam makanan terhidang, Ibu Rida nampak sibuk
mengaduk-aduk sesuatu diatas teflon berukuran sedang.
“Ada acara apa Bu?”, tanya Rida sembari
mendekati Ibunya.
“Eh Nduk,
sudah pulang. Ini, Ayah mengadakan jamuan makan untuk teman kantor”, dentingan
teflon dan spatula saling beradu di sela-sela percakapan, senyuman tersirat di
wajah Ibunya yang sudah mulai banyak kerutan. Gadis itu sedikit mengulum
bibirnya, seakan tahu maksud dari jamuan makan yang Ibunya bicarakan.
***
Jam
dinding menunjukkan pukul empat, para tamu yang sengaja Ayah Rida undang telah
datang. Ruang tamu riuh dengan gelak tawa, dua orang laki-laki berkemeja rapi,
dan satu orang perempuan berambut panjang yang merupakan teman kantor Pak Arif,
Ayah Rida, tengah asyik bercengkerama seputar pekerjaan.
Salah seorang pemuda yang diceritakan
Ayah Rida tengah berbicara tentang bidang informatika yang kini dikontrolnya.
Rambutnya hitam, dengan potongan sederhana ala pekerja kantoran. Kacamata minus
tak lekang dari pangkal hidungnya, membingkai sepasang mata berlensa cokelat.
Kulit sawo matang tak sedikitpun memudarkan ketampanan, sirat senyuman membuat
wajahnya semakin menawan. Tak heran jika banyak perempuan yang menggantungkan
harapan, namun tak satupun dari mereka mendapat kepastian, karena hati pemuda
itu masih bimbang.
Rida
telah rapi dengan gamis ungu muda dan kerudung senada yang telah disiapkan
Ibunya. Ia menghela nafas panjang, wajah cantiknya menyiratkan kecemasan,
jantungnya berdegup kencang.
Bismillah... Rida telah pasrah, hanya berharap dirinya tidak akan
menemukan orang yang salah.
***
Sepoi
angin menyapu dedauan kering di halaman, seorang perempuan tengah sibuk
mengejar anak laki-laki yang berlarian kesana kemari, begitu lincah seperti tak
punya rasa lelah. Dari teras rumah, seorang laki-laki berkacamata minus mengamati,
berteman secangkir kopi. “Farid! Sini sayang..”, panggilnya kepada anak kecil
yang masih berusia lebih kurang 2 tahunan.
“Ya
Allah..Mas Rangga, anak kita lincah sekali”, ucap perempuan berjilbab putih
panjang masih dengan nafas tersenggal. Rangga melemparkan senyuman, “Persis
sama mamanya, Farida Nisa. Iya kan sayang?”, ucapnya sembari mengangkat farid
ke atas pangkuan. Rida terkekeh mendengar jawaban suaminya.
Senja datang menyapa, semburat mega
memperindah suasana, putra kecil mereka sedang asyik menikmati biskuit di
tangannya.
“Kamu ingat nggak Da, waktu dulu kita
bertemu kembali setelah sekian lama?”, ucap Rangga bernostalgia.
“Iya ingat”, Rida mengangkat kepala yang
tadinya bersandar di bahu Rangga, senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.
“Sebenarnya, waktu itu aku sangat
terluka, merasa bahwa penantianku telah berujung sia-sia, cinta yang
kusampaikan lewat do’a seakan tak ada guna”,
Kejujuran terlukis di mata Rida, membuat
Rangga terkesima, dengan penuh kasih sayang, ia langsung memeluk erat anak dan istrinya.
Menciptakan sebuah akhir bahagia seperti yang ada di dalam cerita-cerita.
Jika hati telah pasrah
dan sungguh-sungguh untuk berhijrah, jangan resah, karena skenario Allah jauh
lebih indah. (Farida Nisa)
-TAMAT-