Hari
ini, aku kembali berteman sepi, menatap jendela kaca seorang diri, memandangi
pepohonan menjulang yang kokoh tertanam di halaman belakang. Pikiranku
melayang, menerawang sebuah kejadian beberapa tahun silam. Dedaunan melambai
tersibak angin yang berhembus kencang, mendung menutupi pancaran sinar matahari
yang menghangatkan. Benar-benar akhir pekan yang membosankan. Segera tubuhku
tergerak untuk mengambil jemuran sebelum Ibu pulang.
***
Tas berwarna pink melingkar di bahu
kanan, lengkap dengan seragam putih merah
kedodoran. Angkutan umum yang kutunggu tak jua datang, tiada teman
karena hari masih sangat pagi. Mandiri adalah pelajaran berharga yang kudapat
semenjak masuk TK, tidak sekalipun aku dimanja orangtua seperti anak-anak pada
umumnya, dan bagiku itu hal biasa.
Aku membuka kembali buku tulis
bersampul cokelat, kudapati torehan tinta merah berbentuk bulat. Aku takut
untuk kembali mengingat kejadian semalam, kejadian dimana Bapak naik pitam
mendapati anaknya tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Tatapanku semakin
dalam, sedalam harapan yang orang tuaku impikan, dalam keheningan pagi aku
berjanji, bahwa mulai saat ini aku takkan mengecewakan mereka lagi.
Tidak banyak prestasi yang kudapatkan
saat Sekolah Dasar, hanya satu yang paling membanggakan dan tak terlupakan,
yaitu saat aku menduduki peringkat kedua dengan total nilai sama dengan ‘sang
juara’. Saat itu aku merasa sangat bahagia, walaupun keadilan tidak sepenuhnya
ditegakkan, setidaknya janjiku dapat terbayar.
***
Liburan akhir tahun berakhir,
masa-masa kelas dua kulalui dengan penuh suka duka yang mewarnai. Orang tua
tetap sibuk dengan pekerjaan mereka yang semakin hari semakin menguras tenaga,
Bapak jadi sering pergi keluar kota demi memperlancar usahanya. Kepulangan
Bapak selalu kunanti bersama adik bayi dan Ibu yang selalu disisi. Kasih sayang
yang Bapak berikan sangat berbeda dari sedia kala, memanjakan kami berdua
menjadi kesenangannya.
“Bapaak,,,” aku kecil
berteriak kegirangan menyambut kedatangan Bapak. Ifa, adik bayiku yang tidak
mengerti apa-apa masih asyik dengan mainan di tangannya. Senyum kerinduan
mengembang di wajah Bapak yang nampak sedikit kelelahan, namun tetap berusaha
menemani kami berdua memakan isi bingkisan yang sejak tadi berada dalam genggaman.
“Babpaa..”, mulut mungil Ifa mengucap satu kata, dan seketika itupun
kami tertawa bersama, gemas dengan kepolosannya.
***
Pelajaran matematika, rumus-rumus
tak lekang dari kepala, setiap siswa begitu antusias mengerjakan soal-soal yang
tertera di papan. Keseriusanku buyar seketika mendengar namaku diapanggil untuk
keluar,”sekalian tasnya dibawa nak”. Aku berjalan dengan beribu
pertanyaan bergelayut memenuhi pikiran. Tanpa sepatah kata, aku dibawa pulang
oleh seseorang yang memang tidak asing lagi dalam pandangan. Aku tetap diam,
diam dan diam sembari mereka-reka peristiwa apa yang terjadi sebenarnya.
Air mataku meleleh, kegaduhan begitu
riuh terdengar dari suara tangisan yang saling bersahutan. “Bapak
kecelakaan”, bagaikan karang terhantam ombak besar di lautan, kokoh, namun
tenggelam perlahan, aku masih mematung dan berharap ini semua hanyalah mimpi
belaka, yang akan berakhir saat aku membuka mata. Namun harapan benar-benar tidak
sesuai kenyataan, adanya pertemuan pastilah akan diiringi dengan perpisahan,
selalu, entah kapanpun itu.
***
Jam dinding menunjukkan pukul dua
malam, aku terbangun oleh suara bisikan, “Ida, Bapak sudah pulang”. Iya,
Bapak memang pulang, namun kepulangannya kali ini sangat berbeda dari biasanya,
kepulangan yang tidak pernah aku harapkan. Tiada lagi kecupan lembut seperti
biasa saat aku menyambutnya dengan gembira, tiada lagi oleh-oleh ditangannya
untuk memanjakan kami berdua sebagai anak-anak yang sangat dicintainya. Hanya
sisa air mata yang kupunya untuk melepas kepergiannya, kepergian untuk
selama-lamanya.
Mataku yang sembab fokus menatap
liang lahat, keranda yang membawa jenazah Bapak perlahan dibuka. Terlihat
diseberang sana, pamanku ambruk seketika melihat jenazah kakaknya yang
terbungkus kafan diangkat keluar keranda, seakan masih tak percaya. Ibuku tak
kalah histeris melihat suami tercinta begitu cepat pergi mendahuluinya,
meninggalkan anak-anak yang masih belia bahkan si bungsu belum mengerti
apa-apa.
***
Kubiarkan televisi itu menyala, diluar
sana matahari mulai menyengat kepala, namun tidak ada tanda-tanda Ibu akan
segera tiba. Aku kembali menatap layar televisi dan mengganti
channel-channelnya sesuka hati. “Sepi sekali”, pekikku dalam hati.
“Ibu capek, jangan ganggu”,
dan setelah itu aku sama sekali tidak berani walau sekedar menderapkan kaki.
Semenjak kepergian Bapak, pelajaran kemandirian semakin berat kurasakan, karena
tidak adanya pantauan dan arahan ketika aku melakukan kesalahan, sehingga pada
akhirnya aku lebih memilih untuk diam. Masa depan yang dulu sempat aku
gambarkan kini hanya dapat menjadi angan, aku tak tahu bagaimana cara untuk
merealisasikan. Ibuku kurang perhatian karena harus bekerja ekstra untuk
mencukupi kebutuhan kami bertiga. Menjadi single parent memanglah berat untuk
usia Ibu yang masih terbilang muda, karena saat itu usianya baru menginjak 25
tahun.
***
Bias mentari menyinari pagi,
kehangatannya begitu terasa, menguapkan titik-titik embun yang menggelantung
diatas dedaunan. Kicauan burung menambah kemeriahan suasana pagi yang
menentramkan hati. Tidak ada yang berbeda, masih tetap sama seperti
sebelum-sebelumnya, hanya saja kini aku telah tumbuh menjadi seorang remaja,
masa dimana unsur-unsur kelabilan mulai melanda. Ketertarikan terhadap lawan
jenis adalah hal biasa, tetapi yang membedakan adalah bagaimana cara untuk
menyikapinya. Saat aku jatuh cinta untuk kali pertama, aku hanya dapat
menyimpannya dalam rasa tanpa adanya ungkapan kepada yang bersangkutan. Ia
adalah ‘sang juara’, sainganku ketika duduk di kelas 2 SD, entah apa yang
membuatku tertarik kepadanya, hingga saat ini pun aku masih bertanya-tanya.
“Bu, bagaimana sih rasanya jatuh
cinta?” aku berangan melontarkan kalimat itu saat Ibu pulang kerja. Namun
kutepis segera angan-angan tidak masuk akal itu karena rasanya Ibu tidak akan
memberikan jawaban, yang ada aku malah akan dimarahi habis-habisan karena
dianggap membangkang. Dan pada akhirnya aku harus kembali menyimpannya dalam
hati, memendam keingintahuan tanpa adanya arahan yang pasti. Kucoba menuliskannya
dalam diary, mungkin dengan ini aku lebih leluasa untuk mencurahkan isi
hati.
“Apa ini??”, aku terperanjat
melihat diaryku ada di tangan Ibu. Aku yang saat itu, kira-kira 3 tahun
yang lalu, masih lengkap dengan seragam putih biru tertunduk lesu. Menjawab
sama dengan membangkang, jadi aku lebih memilih untuk diam dan mendengarkan
kemarahan Ibu yang sudah tidak dapat beliau tahan. Bukan solusi yang beliau
berikan, namun harga mati sebuah pernyataan tanpa disertai alasan, “Jangan
pacaran!”.
***
Halilintar menggelegar saling
bersahutan, rinai hujan membasahi tanah, menimbulkan kekhasan bau basah. Tanganku
bergetar, air mata tak dapat lagi kutahan, menetes membasahi buku tebal sedikit
kumal yang tak sengaja aku temukan. Lembar demi lembar kubaca dengan seksama, setiap
kata yang tertera diatasnya membuat hatiku semakin sedih dan terluka.
Hujan
turun dengan derasnya, angin kencang menyelundup ke sela-sela jendela yang
sedikit terbuka. Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang, namun Ibu tak kunjung
pulang. “Ibuu.. maafkan aku, maafkan aku..”, rintihku berkali-kali
sambil memandangi tulisan yang mulai berwarna kekuningan dan hampir pudar.
***
“Sudah siap?”, Ibu bertanya
sembari mencampurkan rontokan bunga mawar dan irisan daun pandan ke dalam
keranjang kecil. “Sudah bu”, timpalku dari dari balik pintu kamar yang
terbuka lebar. Ziarah makam sudah menjadi rutinitas kami di awal lebaran, lebih
tepatnya saat sang mentari belum mengembangkan senyuman dan hawa dingin masih
begitu menusuk hingga ke tulang.
Dalam kegelapan, nampak beberapa
orang berjalan ke arah yang sama, kilau senter semakin memperjelas berapa
jumlah mereka. Aku mengikuti langkah Ibu, melipat kedua lengan berusaha
menghangatkan badan, dan tak lama berselang, kami pun sampai ke tempat tujuan.
Batu nisan bertuliskan nama
seseorang yang kami sayang terpajang, walaupun kupaksa agar menunjukkan rona
wajah bahagia karena dapat mengunjungi pusara Ayahanda, namun tetap saja
kepiluan yang aku rasa, terutama saat mengingat kembali tulisan Ibu. Ibu
memimpin do’a, aku mengaminkan dengan linangan air mata, selesai berdo’a, kami
berdua menaburkan bunga, beberapa kali tangan Ibu mengelus kepala batu nisan,
wajahnya datar, namun aku dapat membaca wajah penuh kerinduan di depanku.
Tiba-tiba saja tangan Ibu melambai kepadaku, aku pun mendekat mengikuti
isyarat. Tak kusangka kini matanya sembab, Ibu berbalik dan memelukku erat,
tangisnya tidak bersuara, namun linangan air mata begitu jelas kurasa,
membasahi bahu kananku, aku tak dapat berkata apa-apa. “Ida, maafin Ibu, kalau
selama ini tidak begitu memperhatikan kamu. Bukan maksud Ibu seperti itu, perlu
kamu tahu kesedihan Ibu masih sama seperti dulu saat Bapak pergi meninggalkan
kita semua. Ibu mana yang tega menyerahkan anaknya begitu saja kepada orang
lain tanpa kesedihan yang tergambar diwajahnya. Bukan begitu nak, bukan
begitu...”, Ibu sejenak menghentikan kata-katanya dan isak tangis pun mulai
terdengar jelas di telinga.”Ibu akan selalu mencintai kalian berdua sampai
ajal yang memisahkan kita.” Aku hanya mematung dipelukannya, mendengarkan
segala keluh kesah yang beliau rasa.
Bias
cahaya mentari begitu hangat kurasa, aku menggandeng lengan Ibu seakan ingin
dimanja. Aku lega karena akhirnya tidak hanya mengetahui isi hatinya dari
goresan tinta, namun juga ungkapan jujur yang keluar langsung melalui
kata-kata.
***
“Hari
ini tepat 5 tahun suamiku pergi,, berat memang bila harus menjadi tulang
punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah dalam satu waktu. Cobaan yang
Allah berikan begitu berat aku rasakan, hampir-hampir aku terpuruk dalam
keputus asaan. Namun begitu melihat kedua putriku, aku kembali tegar, aku harus
lebih giat bekerja untuk mempersiapkan masa depan cerah mereka. Lika-liku
kehidupan telah banyak aku kenyam, mulai dari yang membahagiakan sampai yang
menyakitkan. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami rugi karena barang
dagangan yang tak kunjung dibeli, hingga suatu hari aku harus pulang membawa
kekecewaan tanpa sepeserpun uang yang aku dapatkan. Hatiku terkoyak begitu
membaca buku tebal yang berisikan curhatan putriku tersayang. Aku sakit ketika
dia menuliskan kata JATUH CINTA pada beberapa lembar berikutnya, aku tidak
ingin belajarnya terganggu dengan urusan-urusan yang sama sekali tidak perlu.
Cukup aku saja yang merasakan penyesalan dengan memikul kebodohan, putus
sekolah karena memperjuangkan satu kata yang disebut CINTA. Bukan tanpa alasan
aku melarangnya pacaran, namun aku hanya tidak ingin kesalahanku kembali
terulang. Hidup dengan kebodohan sangatlah tidak menyenangkan, aku malu jika
ditanya putriku seputar pelajarannya di sekolah, jujur aku sangat malu karena
sama sekali tidak tahu. “Nak,,maafkan Ibu yang kadang ataupun sering terlihat
tidak perduli, sesungguhnya sedang banyak sekali hal yang Ibu pikirkan. Saat
kamu menanyakan Ibu tentang pelajaran, bukan berarti diam Ibu adalah bentuk
ketidak pedulian, Ibu hanya malu karena sudah pasti tidak dapat menjawab
pertanyaanmu. Saat Ibu tak sengaja membaca diary yang kamu tinggalkan diatas
meja, jujur nak,,Ibu khawatir, khawatir kesalahan Ibu akan terulang kembali,
Ibu tahu rasanya nak,,sangat tidak enak hidup tanpa naungan ilmu. Jadi Ibu hanya
mau kamu belajarlah yang rajin dulu, percayalah nak, suatu hari tanpa kamu
ketahui ‘dia’ akan datang sendiri menghadap Ibu untuk ‘meminta’ kamu, jangan
takut kehabisan, karena jodoh masing-masing telah ditetapkan. (Parakan, 28 juni
2012).
Terkadang memang sulit untuk
memahami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dimengerti, namun percayalah
bahwa mereka melakukan hal demikian pasti ada alasan. Jadi, tetaplah berpikir
rasional dan bersabar, karena buah dari kesabaran itu kelak akan kita ketam dan
kemanisan akan kita rasakan.
-TAMAT-