Kamis, 17 Desember 2015

KUTEMUKAN CINTA DIBALIK KEACUHANNYA


Hari ini, aku kembali berteman sepi, menatap jendela kaca seorang diri, memandangi pepohonan menjulang yang kokoh tertanam di halaman belakang. Pikiranku melayang, menerawang sebuah kejadian beberapa tahun silam. Dedaunan melambai tersibak angin yang berhembus kencang, mendung menutupi pancaran sinar matahari yang menghangatkan. Benar-benar akhir pekan yang membosankan. Segera tubuhku tergerak untuk mengambil jemuran sebelum Ibu pulang.
***
            Tas berwarna pink melingkar di bahu kanan, lengkap dengan seragam putih merah  kedodoran. Angkutan umum yang kutunggu tak jua datang, tiada teman karena hari masih sangat pagi. Mandiri adalah pelajaran berharga yang kudapat semenjak masuk TK, tidak sekalipun aku dimanja orangtua seperti anak-anak pada umumnya, dan bagiku itu hal biasa.
            Aku membuka kembali buku tulis bersampul cokelat, kudapati torehan tinta merah berbentuk bulat. Aku takut untuk kembali mengingat kejadian semalam, kejadian dimana Bapak naik pitam mendapati anaknya tidak bersungguh-sungguh dalam belajar. Tatapanku semakin dalam, sedalam harapan yang orang tuaku impikan, dalam keheningan pagi aku berjanji, bahwa mulai saat ini aku takkan mengecewakan mereka lagi.
            Tidak banyak prestasi yang kudapatkan saat Sekolah Dasar, hanya satu yang paling membanggakan dan tak terlupakan, yaitu saat aku menduduki peringkat kedua dengan total nilai sama dengan ‘sang juara’. Saat itu aku merasa sangat bahagia, walaupun keadilan tidak sepenuhnya ditegakkan, setidaknya janjiku dapat terbayar.
***
            Liburan akhir tahun berakhir, masa-masa kelas dua kulalui dengan penuh suka duka yang mewarnai. Orang tua tetap sibuk dengan pekerjaan mereka yang semakin hari semakin menguras tenaga, Bapak jadi sering pergi keluar kota demi memperlancar usahanya. Kepulangan Bapak selalu kunanti bersama adik bayi dan Ibu yang selalu disisi. Kasih sayang yang Bapak berikan sangat berbeda dari sedia kala, memanjakan kami berdua menjadi kesenangannya.
            “Bapaak,,,” aku kecil berteriak kegirangan menyambut kedatangan Bapak. Ifa, adik bayiku yang tidak mengerti apa-apa masih asyik dengan mainan di tangannya. Senyum kerinduan mengembang di wajah Bapak yang nampak sedikit kelelahan, namun tetap berusaha menemani kami berdua memakan isi bingkisan yang sejak tadi berada dalam genggaman. “Babpaa..”, mulut mungil Ifa mengucap satu kata, dan seketika itupun kami tertawa bersama, gemas dengan kepolosannya.
***
            Pelajaran matematika, rumus-rumus tak lekang dari kepala, setiap siswa begitu antusias mengerjakan soal-soal yang tertera di papan. Keseriusanku buyar seketika mendengar namaku diapanggil untuk keluar,”sekalian tasnya dibawa nak”. Aku berjalan dengan beribu pertanyaan bergelayut memenuhi pikiran. Tanpa sepatah kata, aku dibawa pulang oleh seseorang yang memang tidak asing lagi dalam pandangan. Aku tetap diam, diam dan diam sembari mereka-reka peristiwa apa yang terjadi sebenarnya.
            Air mataku meleleh, kegaduhan begitu riuh terdengar dari suara tangisan yang saling bersahutan. “Bapak kecelakaan”, bagaikan karang terhantam ombak besar di lautan, kokoh, namun tenggelam perlahan, aku masih mematung dan berharap ini semua hanyalah mimpi belaka, yang akan berakhir saat aku membuka mata. Namun harapan benar-benar tidak sesuai kenyataan, adanya pertemuan pastilah akan diiringi dengan perpisahan, selalu, entah kapanpun itu.
***
            Jam dinding menunjukkan pukul dua malam, aku terbangun oleh suara bisikan, “Ida, Bapak sudah pulang”. Iya, Bapak memang pulang, namun kepulangannya kali ini sangat berbeda dari biasanya, kepulangan yang tidak pernah aku harapkan. Tiada lagi kecupan lembut seperti biasa saat aku menyambutnya dengan gembira, tiada lagi oleh-oleh ditangannya untuk memanjakan kami berdua sebagai anak-anak yang sangat dicintainya. Hanya sisa air mata yang kupunya untuk melepas kepergiannya, kepergian untuk selama-lamanya.
            Mataku yang sembab fokus menatap liang lahat, keranda yang membawa jenazah Bapak perlahan dibuka. Terlihat diseberang sana, pamanku ambruk seketika melihat jenazah kakaknya yang terbungkus kafan diangkat keluar keranda, seakan masih tak percaya. Ibuku tak kalah histeris melihat suami tercinta begitu cepat pergi mendahuluinya, meninggalkan anak-anak yang masih belia bahkan si bungsu belum mengerti apa-apa.
***
            Kubiarkan televisi itu menyala, diluar sana matahari mulai menyengat kepala, namun tidak ada tanda-tanda Ibu akan segera tiba. Aku kembali menatap layar televisi dan mengganti channel-channelnya sesuka hati. “Sepi sekali”, pekikku dalam hati.
            “Ibu capek, jangan ganggu”, dan setelah itu aku sama sekali tidak berani walau sekedar menderapkan kaki. Semenjak kepergian Bapak, pelajaran kemandirian semakin berat kurasakan, karena tidak adanya pantauan dan arahan ketika aku melakukan kesalahan, sehingga pada akhirnya aku lebih memilih untuk diam. Masa depan yang dulu sempat aku gambarkan kini hanya dapat menjadi angan, aku tak tahu bagaimana cara untuk merealisasikan. Ibuku kurang perhatian karena harus bekerja ekstra untuk mencukupi kebutuhan kami bertiga. Menjadi single parent memanglah berat untuk usia Ibu yang masih terbilang muda, karena saat itu usianya baru menginjak 25 tahun.
***
            Bias mentari menyinari pagi, kehangatannya begitu terasa, menguapkan titik-titik embun yang menggelantung diatas dedaunan. Kicauan burung menambah kemeriahan suasana pagi yang menentramkan hati. Tidak ada yang berbeda, masih tetap sama seperti sebelum-sebelumnya, hanya saja kini aku telah tumbuh menjadi seorang remaja, masa dimana unsur-unsur kelabilan mulai melanda. Ketertarikan terhadap lawan jenis adalah hal biasa, tetapi yang membedakan adalah bagaimana cara untuk menyikapinya. Saat aku jatuh cinta untuk kali pertama, aku hanya dapat menyimpannya dalam rasa tanpa adanya ungkapan kepada yang bersangkutan. Ia adalah ‘sang juara’, sainganku ketika duduk di kelas 2 SD, entah apa yang membuatku tertarik kepadanya, hingga saat ini pun aku masih bertanya-tanya.
            “Bu, bagaimana sih rasanya jatuh cinta?” aku berangan melontarkan kalimat itu saat Ibu pulang kerja. Namun kutepis segera angan-angan tidak masuk akal itu karena rasanya Ibu tidak akan memberikan jawaban, yang ada aku malah akan dimarahi habis-habisan karena dianggap membangkang. Dan pada akhirnya aku harus kembali menyimpannya dalam hati, memendam keingintahuan tanpa adanya arahan yang pasti. Kucoba menuliskannya dalam diary, mungkin dengan ini aku lebih leluasa untuk mencurahkan isi hati.
           “Apa ini??”, aku terperanjat melihat diaryku ada di tangan Ibu. Aku yang saat itu, kira-kira 3 tahun yang lalu, masih lengkap dengan seragam putih biru tertunduk lesu. Menjawab sama dengan membangkang, jadi aku lebih memilih untuk diam dan mendengarkan kemarahan Ibu yang sudah tidak dapat beliau tahan. Bukan solusi yang beliau berikan, namun harga mati sebuah pernyataan tanpa disertai alasan, “Jangan pacaran!”.
***
            Halilintar menggelegar saling bersahutan, rinai hujan membasahi tanah, menimbulkan kekhasan bau basah. Tanganku bergetar, air mata tak dapat lagi kutahan, menetes membasahi buku tebal sedikit kumal yang tak sengaja aku temukan. Lembar demi lembar kubaca dengan seksama, setiap kata yang tertera diatasnya membuat hatiku semakin sedih dan terluka.
Hujan turun dengan derasnya, angin kencang menyelundup ke sela-sela jendela yang sedikit terbuka. Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang, namun Ibu tak kunjung pulang. “Ibuu.. maafkan aku, maafkan aku..”, rintihku berkali-kali sambil memandangi tulisan yang mulai berwarna kekuningan dan hampir pudar.
***
            “Sudah siap?”, Ibu bertanya sembari mencampurkan rontokan bunga mawar dan irisan daun pandan ke dalam keranjang kecil. “Sudah bu”, timpalku dari dari balik pintu kamar yang terbuka lebar. Ziarah makam sudah menjadi rutinitas kami di awal lebaran, lebih tepatnya saat sang mentari belum mengembangkan senyuman dan hawa dingin masih begitu menusuk hingga ke tulang.
            Dalam kegelapan, nampak beberapa orang berjalan ke arah yang sama, kilau senter semakin memperjelas berapa jumlah mereka. Aku mengikuti langkah Ibu, melipat kedua lengan berusaha menghangatkan badan, dan tak lama berselang, kami pun sampai ke tempat tujuan.
            Batu nisan bertuliskan nama seseorang yang kami sayang terpajang, walaupun kupaksa agar menunjukkan rona wajah bahagia karena dapat mengunjungi pusara Ayahanda, namun tetap saja kepiluan yang aku rasa, terutama saat mengingat kembali tulisan Ibu. Ibu memimpin do’a, aku mengaminkan dengan linangan air mata, selesai berdo’a, kami berdua menaburkan bunga, beberapa kali tangan Ibu mengelus kepala batu nisan, wajahnya datar, namun aku dapat membaca wajah penuh kerinduan di depanku. Tiba-tiba saja tangan Ibu melambai kepadaku, aku pun mendekat mengikuti isyarat. Tak kusangka kini matanya sembab, Ibu berbalik dan memelukku erat, tangisnya tidak bersuara, namun linangan air mata begitu jelas kurasa, membasahi bahu kananku, aku tak dapat berkata apa-apa. “Ida, maafin Ibu, kalau selama ini tidak begitu memperhatikan kamu. Bukan maksud Ibu seperti itu, perlu kamu tahu kesedihan Ibu masih sama seperti dulu saat Bapak pergi meninggalkan kita semua. Ibu mana yang tega menyerahkan anaknya begitu saja kepada orang lain tanpa kesedihan yang tergambar diwajahnya. Bukan begitu nak, bukan begitu...”, Ibu sejenak menghentikan kata-katanya dan isak tangis pun mulai terdengar jelas di telinga.”Ibu akan selalu mencintai kalian berdua sampai ajal yang memisahkan kita.” Aku hanya mematung dipelukannya, mendengarkan segala keluh kesah yang beliau rasa.
Bias cahaya mentari begitu hangat kurasa, aku menggandeng lengan Ibu seakan ingin dimanja. Aku lega karena akhirnya tidak hanya mengetahui isi hatinya dari goresan tinta, namun juga ungkapan jujur yang keluar langsung melalui kata-kata.
***
“Hari ini tepat 5 tahun suamiku pergi,, berat memang bila harus menjadi tulang punggung keluarga, menjadi Ibu sekaligus Ayah dalam satu waktu. Cobaan yang Allah berikan begitu berat aku rasakan, hampir-hampir aku terpuruk dalam keputus asaan. Namun begitu melihat kedua putriku, aku kembali tegar, aku harus lebih giat bekerja untuk mempersiapkan masa depan cerah mereka. Lika-liku kehidupan telah banyak aku kenyam, mulai dari yang membahagiakan sampai yang menyakitkan. Sudah tak terhitung berapa kali aku mengalami rugi karena barang dagangan yang tak kunjung dibeli, hingga suatu hari aku harus pulang membawa kekecewaan tanpa sepeserpun uang yang aku dapatkan. Hatiku terkoyak begitu membaca buku tebal yang berisikan curhatan putriku tersayang. Aku sakit ketika dia menuliskan kata JATUH CINTA pada beberapa lembar berikutnya, aku tidak ingin belajarnya terganggu dengan urusan-urusan yang sama sekali tidak perlu. Cukup aku saja yang merasakan penyesalan dengan memikul kebodohan, putus sekolah karena memperjuangkan satu kata yang disebut CINTA. Bukan tanpa alasan aku melarangnya pacaran, namun aku hanya tidak ingin kesalahanku kembali terulang. Hidup dengan kebodohan sangatlah tidak menyenangkan, aku malu jika ditanya putriku seputar pelajarannya di sekolah, jujur aku sangat malu karena sama sekali tidak tahu. “Nak,,maafkan Ibu yang kadang ataupun sering terlihat tidak perduli, sesungguhnya sedang banyak sekali hal yang Ibu pikirkan. Saat kamu menanyakan Ibu tentang pelajaran, bukan berarti diam Ibu adalah bentuk ketidak pedulian, Ibu hanya malu karena sudah pasti tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Saat Ibu tak sengaja membaca diary yang kamu tinggalkan diatas meja, jujur nak,,Ibu khawatir, khawatir kesalahan Ibu akan terulang kembali, Ibu tahu rasanya nak,,sangat tidak enak hidup tanpa naungan ilmu. Jadi Ibu hanya mau kamu belajarlah yang rajin dulu, percayalah nak, suatu hari tanpa kamu ketahui ‘dia’ akan datang sendiri menghadap Ibu untuk ‘meminta’ kamu, jangan takut kehabisan, karena jodoh masing-masing telah ditetapkan. (Parakan, 28 juni 2012).
            Terkadang memang sulit untuk memahami sesuatu yang sama sekali tidak dapat dimengerti, namun percayalah bahwa mereka melakukan hal demikian pasti ada alasan. Jadi, tetaplah berpikir rasional dan bersabar, karena buah dari kesabaran itu kelak akan kita ketam dan kemanisan akan kita rasakan.

-TAMAT-

Kamis, 03 Desember 2015

KENANGAN BERSAMA HUJAN

Image result for gambar saat hujan deras

Halilintar menggelegar saling bersahutan, angin kencang menusuk hingga ke tulang, hujan yang sedari tadi mengguyur tanpa henti, membuatku semakin erat memeluk diri sendiri, pakaianku kuyup karena berlari tanpa payung yang menaungi. “Dingin sekaliiii,,” ucapku pelan dengan bibir gemetar. Mengalami hal semacam ini, aku akan kembali mengingat peristiwa tak terlupakan beberapa tahun silam, peristiwa diamana aku tak dapat menahan perihnya kehilangan.
"Kau tahu, mimpi itu takkan pernah menjadi kenyataan apabila kamu tidak dapat merealisasikan. Kau bilang akan mewujudkan mimpi itu, sedangkan kau sendiri tak pernah mau bangun dari tidurmu, tak pernah mau mengusir kemalasan yang tertanam dihatimu." Suara itu selalu terngiang di telingaku, dan jujur, aku sangat rindu...
***
            Bel sekolah nyaring berbunyi, menandakan usainya jam pelajaran yang menjenuhkan. Teman-teman sekelasku sibuk membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk pulang, percakapan-percakapan begitu akrab terdengar membuat riuhnya suasana kelas di kala petang. Aku masih santai di tempat dudukku, “Ndah, aku duluan ya”, ucap Kayla yang paham dengan kebiasaan ‘unikku’ berpamitan. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa keluarnya sebuah kata, seulas senyuman bagiku telah mewakilinya.
            Kelas sudah sepi, tinggalah aku seorang diri. Aku mulai menyalin tulisan yang tertera di papan, mataku memang sudah tidak normal, jadi aku harus rela pulang paling akhir sendirian.
***
            Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyiratkan pancaran cahaya orange kekuningan, perlahan hilang ditelan gelap pertanda siang mulai berganti malam. Pemandangan indah seperti ini selalu menemaniku menyusuri jalanan yang mulai lenggang, sendiri berteman sepi mencari kendaraan pulang. Bosan rasanya bila hari-hariku terus berlalu seperti itu, tidak ada secuil pun hal istimewa yang kurasa. Pikiranku melayang, membayangkan hari ini ada seseorang yang berjalan menemaniku, bercengkrama dalam kenyataan, bukan sekedar dalam angan. “Ah,,aku bosan”, pekikku lirih sembari menendang kerikil di depanku.
            Angin tiba-tiba berhembus kencang, sepertinya akan turun hujan. Dan benar, selang beberapa langkah, hujan deras menguyur tanah hingga basah, aku segera berlari mencari tempat berteduh. Seragam putih abu-abu panjang yang kukenakan basah, aku mulai resah, memikirkan bagaimana cara untuk segera pulang ke rumah. “Baru pulang dek?”, tanya perempuan berjilbab lebar membuyarkan lamunan, “E, iya, kak”, jawabku sekenanya. Ia terlihat begitu ramah dengan keteduhan senyuman yang merekah. Tangannya tampak memeluk beberapa map berisikan kertas, sepertinya ia mahasisiwa. Beberapa kali mataku sedikit meliriknya, dan kakak tanpa nama itu begitu membuatku terkesima. Sambil menunggu hujan reda, ia membaca Al-Qur’an kecil di tangan kanannya, bibir dan mata tampak bergerak seirama, menyusuri rangkaian ayat-ayat cinta dari Sang Pencipta.  Adzan maghrib berkumandang, samar-samar terdengar karena beradu dengan gemuruh hujan yang terus berjatuhan. “Nanti pulangnya gimana?”, kakak itu kembali bertanya. “Naik angkutan umum kak, seperti biasa, tapi kali ini nunggu hujan reda”, aku berusaha menyembunyikan kekhawatiran. Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, raut wajahnya seperti tak tega bila harus meninggalkan aku seorang diri di jalanan yang teramat sepi, “Gimana kalau sekarang kita sholat dulu dek, nanti kakak antar kamu sampai ke rumah. Jam segini kayaknya angkot udah gak ada”, ucapnya berusaha meyakinkan. Aku yang sempat ragu tidak dapat menolak tawaran yang ia berikan. Berdua berboncengan diatas motor matic hitam, mencari masjid terdekat untuk bersembahyang.
***
            “Indah,,, kak Rahma nunggu kamu tuh”, suara Ibu megingatkanku. Rahma Yulia, itulah nama panjangnya, tetapi aku memanggilnya kak Rahma. Saat mengantarku pulang hari itu, akhirnya aku tahu namanya dan tidak lagi memanggilnya kakak tanpa nama. Kami berdua semakin dekat, lebih dari kedekatan seorang sahabat, namun lebih tepatnya aku menganggapnya sebagai kakak. Kak Rahma begitu dewasa, dia selalu mendengarkan semua keluh kesah yang kurasa. Dengan seksama ia mendengarnya, dan di akhir cerita pasti akan ada nasehat penggugah jiwa yang diberikannya. Ah, aku begitu sayang padanya. J
            Satu tahun berlalu, aku masuk ke kampus yang sama dengan kak Rahma tetapi jurusan kami berbeda, kak Rahma di bagian sastra dan aku matematika. Karya-karya kak Rahma begitu mempesona, terkadang cerita-cerita yang dibuatnya mampu mengalirkan air mata. Beberapa kali namanya tertulis di majalah kampus dan beberapa cerpennya menyabet juara dalam perlombaan-perlombaan yang diadakan Fakultas Sastra Budaya.
            Ketenaran tak membuatnya lupa bahwa kakinya masih memijak daratan, tak melambungkan walaupun beberapa kali diminta untuk mengisi seminar kepenulisan. Ia tetap apa adanya, rendah hati begitu kuat tertambat sebagai pondasi hidupnya.
***
            “Indah,,tunggu!!”, kak Rahma berteriak lantang melihatku pergi begitu saja saat dia mencoba menjelaskan kejadian yang menorehkan luka di dada. Aku menyesal telah bertindak kekanak-kanakan kala itu, aku berpikir seandainya waktu dapat diulang, maka tak sedikitpun tubuh kugeserkan. Aku akan mendengarkannya dengan seksama, seperti yang sering dilakukan kak Rahma. Buruk sangka telah merubah segalanya.
            Hujan turun begitu derasnya, aku berlari menerobos hujan tanpa naungan. Sorot lampu kendaraan yang berlalu lalang menghiasi jalan. Pikiranku terus dibayangi sosok Fadli dan kak Rahma sedang asyik bercengkrama. Brakk!!! Suara benturan begitu keras terdengar, mengalahkan derasnya suara hujan. Aku menoleh kebelakang, samar-samar mataku memandang seorang perempuan berjilbab lebar terkapar di tengah jalan, beberapa orang tampak mengerumuni, seketika jantungku terasa berhenti. “Kakkkk”, pekikku sembari berlari menghampiri. Darah segar mengalir tersiram air hujan, kerudung putihnya berubah menjadi merah berlumuran darah. Aku segera memangku kepala kak Rahma dan menangis sejadi-jadinya. Nafas kak Rahma tak beraturan, namun bibirnya tak henti-hentinya digerakkan. Perlahan matanya terbuka, bibirnya menyiratkan senyuman saat melihatku tengah tersenggal-senggal dengan air mata bercucuran. Wajahnya tak sedikitpun menunjukkan kesakitan, tatapannya mulai nanar, tangan kanannya berusaha menyentuh wajahku. “Maaa..aaff..dek”, itulah kata terakhir kak Rahma yang membuatku semakin meronta, karena tidak seharusnya ia mengucapkannya.
***
            Malam semakin larut, aku masih termenung memikirkan kesalahan fatal yang telah kulakukan, dan kini aku merasa sangat kehilangan. Terlebih mendengar pengakuan jujur Fadli tentang kebersamaan mereka di hari terakhir kak Rahma, “Aku dan Rahma diundang sebagai partner untuk mengisi seminar”. Penyesalan dalam diri tak dapat kututupi, tiga hari aku termenung sendiri berteman sepi selepas kak Rahma pergi. Tiada lagi yang mendengar cerita-ceritaku, tertawa melepas rindu ketika beberapa hari ia pergi keluar kota untuk mengisi acara. Memberiku solusi soal kegalauan remaja masa kini dengan dalil-dalil Al-Qur’an yang menenangkan.
Memang, adanya pertemuan pasti akan diikuti dengan perpisahan, karena kehidupan di dunia hanyalah sementara, tidak satu pun manusia akan hidup untuk selamanya. Dan sebelum hari itu tiba, tidak ada salahnya kita menyayangi mereka sebanyak yang kita bisa. Sebelum terjadi penyesalan karena berpisah dengan kesalahan yang belum sempat terbayar dan ucapan maaf yang tidak sempat tersampaikan.
Ketika hujan aku menemukannya, dan ketika hujan pula aku harus rela melepas kepergiannya. Terimakasih kak Rahma Yulia, kamulah sahabat terbaik yang pernah kupunya. J

Sabtu, 28 November 2015

THE FIRE OF LOVE

Image result for gambar love
            
      Cinta, sebuah keindahan yang tak tergambarkan baik dengan tulisan maupun perkataan. Keindahannya begitu terjaga, namun pernyataan ini hanya berlaku bagi mereka yang tahu arti cinta sesungguhnya. Karena ada kalanya cinta dan nafsu sangat sulit dibedakan, dan ini berawal dari perasaan yang tak dapat dikendalikan, yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan ke dalam jurang kemaksiatan.
Perlahan namun pasti, bisikan demi bisikan merasuki sanubari, mengganti kesakralan cinta dengan hawa nafsu belaka, mengatas namakan cinta untuk sekedar memenuhi hasrat di jiwa yang menggelora.
***
            Indahnya langit malam bertabur bintang, lantunan musik kawanan jangkrik memekikan kesunyian. Jemariku terus menari beriringan dengan jalannya pikiran, mataku fokus menatap layar monitor, menelisik kata per kata yang tersambung menjadi satu haluan, mewakili suara hati yang dilanda kegelisahan. Peristiwa demi peristiwa jelas tergambar dalam angan, bergelayut memenuhi isi pikiran. Kulirik tulisan yang terpasang di atas meja belajar, deadline penulisan tersisa 18 jam dan sampai saat ini aku belum dapat menyelesaikan artikel yang Pak Imron amanahkan. “Hmm..apa lagi ya..” aku menggumam sendiri sembari menatap langit-langit kamar, mengedarkan pandangan seolah ada jawaban yang dapat aku temukan.
             Aku masih termenung seorang diri mencari inspirasi, malam pun kian larut, namun katup mataku tak kunjung tertutup. Sebagai pendengar setia, aku banyak belajar dari pengalaman teman-teman yang sering mereka ceritakan, mulai dari persoalan remaja seperti kegalauan yang tiada ujungnya atau bahkan hampir mengakhiri semuanya dengan menghilangkan nyawa. Tiba-tiba aku mendapat inspirasi mengingat curhatan teman sebangkuku tempo hari, tanganku kembali berkutat dengan keyboard, mengabadikan sebuah kisah ke dalam bentuk tulisan dengan harapan kejadian serupa takkan kembali terulang. Jam dinding menunjukkan pukul dua, aku lega karena akhirnya dapat memejamkan mata tanpa ada beban yang tersisa.
***
            “Istighfar Ran. Bunuh diri tidak akan mengakhiri semua ini. Ingat! Masih ada kehidupan setelah dunia, kehidupan kekal yang Allah janjikan hanya ada 2 pilihan. Jika kamu berakhir seperti ini, mampukah kamu menahan siksa neraka yang panasnya beribu kali lipat dari api dunia?? Jangan ambil ‘jalan pintas’ Ran, aku mohon!!” Aku berteriak dengan tubuh gemetar melihat Rani yang tengah berdiri diatas kursi berusaha mengaitkan lehernya dengan ikatan tali tampar. Matanya sembab, butiran air terus mengalir dari dari pelupuk mata, jatuh membasahi pipinya. Perlahan aku mendekatinya, merengkuh sebagian tubuh yang masih mematung di atas kursi, Rani terlihat begitu depresi. Aku tidak dapat membayangkan jika terlambat datang ke kamar kostnya, mungkin akan lain lagi ceritanya. Fyuh, aku beruntung.
            Ku biarkan Rani menangis sejadi-jadinya, tanganku mengelus lembut rambutnya yang sudah tak beraturan. Dengan begini ia dapat melampiaskan segala kekesalan yang terpendam di lubuk hati paling dalam. Perasaan wanita memang sangat sensitif terutama terhadap luka, aku tahu karena dua hari lalu kekasih yang selalu dibanggakannya lima tahun terakhir ini menikah dengan perempuan lain diluar prediksi, seketika tubuh Rani ambruk mendengar kabar yang saat itu masih belum dapat dipastikan. Sebagai teman, aku tidak pernah bosan untuk mengingatkan, entah berapa kali kata-kata ini selalu ku ulang, “Ran, kamu boleh mencintai seseorang, tapi nanti kalau dia sudah halal untuk kamu cintai. Kalau sekarang aku sarankan jangan dulu cintamu itu menggebu, karena bagaimanapun juga masalah jodoh sudah ada yang atur”.
***
             Tema kajian hari ini “Cinta atau Nafsu”, aku pasrah setelah menerima amanah kedua dari senior tempatku bekerja. Ya, Pak Imron, selain sebagai ketua editing majalah, beliau juga seorang aktivis dakwah di kantor kami, hanya sekali ini beliau minta diganti dengan adanya urusan dadakan yang sama sekali tidak boleh beliau tinggalkan. Aku menghela nafas panjang, lidahku terasa kaku, mungkin karena ini pertama kalinya aku berbicara di depan khalayak. Semua mata menatap, keringat dingin mulai mengalir, mimik ketakutan mungkin sudah tak dapat lagi aku sembunyikan, namun keyakinan untuk tidak mengecewakan membuat semuanya kembali normal. “Bismillah, aku bisa” gumamku dalam hati sembari membuka kajian pada siang hari ini.
                                                  قال رسول الله ص. م.
احبب حبيبك هونا ما عسي ان يكو ن بغيضك يوما ما وابغض بغيضك هونا ما عسي ان يكو ن حبيبك يوما ما
(رواه الترمذي)
“Rosulullah Saw, bersabda, Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nati ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu. (HR. Al-Tirmidzi).” Kata-kata terakhir itu membuat diriku sendiri menyadari, bahwa sekeras apapun kita mengusahakan atau bahkan memaksakan seseorang sebagai jodoh yang telah ditetapkan, apabila Allah memang tidak berkehendak ya mau diapakan. Semua telah diatur-Nya, jauh sebelum manusia sendiri memikirkannya.
-TAMAT-

Senin, 16 November 2015

AKU,, TIDAK MERASA MALU!

 Image result for wisuda sarjana

Auditorium dipenuhi mahasiswa-mahasiswa bertoga, hari ini adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas dan eksperimental yang begitu menguras  tenaga maupun pikiran, dan di hari inilah semua itu seolah terbayar.
Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar di setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah dan gelisah. Setengah jam berlalu, namun acara tak kunjung dibuka. Seorang pemuda terlihat berbeda dari yang lainnya, wajahnya terlihat tak tenang, mungkin ada hal lain yang ia pikirkan. Ridwan, begitulah pemuda itu dipanggil oleh teman-temannya di kampus. Wajahnya tidak begitu tampan, namun perangainya mampu membuat setiap orang yang baru mengenalnya merasa segan. Karena selain pintar, ia juga sangat sopan dalam setiap tindakan serta perkataan. Tak jarang ia membuat heran teman-temannya karena dikerumuni banyak wanita, namun tak satupun dari mereka memikat hatinya, karena ia tetap teguh dengan prinsipnya “NO PACARAN, UNTIL HALAL”. Selain itu, Ridwan juga dikenal sebagai orang yang berkomitmen tinggi terhadap keinginan, terutama keinginan dari orang tuanya.
Arloji berwarna silver melingkar di pergelangan tangan kiri Ridwan, matanya yang tajam tidak lekang untuk terus memandangi jam tangan miliknya, ia terus menggerakkan kakinya tanda kecemasan mulai melanda. “Kenapa Wan?” tanya Sodik yang tengah duduk disebelahnya memastikan. “Aaa,,, Bapakku belum datang”, jawabnya sambil menengok ke belakang. “Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?”, ujar Sodik dengan bahasa khas Jakartanya. Ridwan hanya mengisyaratkan dengan gelengan, karena ia tahu kalau hal itu tidak memungkinkan.
***
            “Berapa Pak?”, tanya seorang remaja yang baru turun dari becak. “Ndak usah neng”, jawab si tukang becak sembari menyiratkan senyuman diwajahnya yang mulai banyak kerutan pertanda usia tak lagi muda. “Loh, kok gitu Pak? Saya gak enak, kan jauh perjalanannya Pak”, tanya remaja itu kembali dengan nada tak mengerti. “Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya akan bersedekah dengan harta,,tidak apa-apa neng, saya ikhlas”, jawaban lelaki paruh baya itu sedikit menggantung, namun cukup menggetarkan nurani remaja putri yang berbusana rapi di depan kampus ternama di kota Jakarta. Pamflet-pamflet ucapan selamat atas wisuda angkatan ke-78 tersemat di gerbang kampus, menjadi pemandangan utama yang menyambut mata, Pak Karta pergi mengayuh becaknya, meninggalkan seulas senyuman di depan gerbang.
***
            Sambutan dari rektor Universitas sedang berlangsung, seluruh wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama. “Saya bangga dengan satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan. “Selain pandai, dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih tua. Dan saya lebih bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas tercinta kita tahun ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan maju kedepan”. Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan terkejut mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan selamat ia dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk berdekatan dengannya. Ia tak pernah menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pegorbanannya yang ia jalani selama ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil” gumamnya dalam hati sembari berjalan mendekati panggung menuju podium.
            “Terimakasih untuk semuanya, Bapak Rektor, para Dosen, dan teman-teman saya tentunya, terimakasih banyak. Saya tidak tahu harus bicara apa, saya sangat bersyukur perjuangan seseorang selama ini tidaklah sia-sia. Seseorang yang tak lain adalah Bapak saya sendiri. Terimakasih karena beliau telah banyak berkorban untuk menyekolahkan saya hingga  jenjang sarjana. Jujur, saya bukan anak orang kaya, Bapak saya hanya bekerja sebagai tukang becak yang setiap harinya bekerja bahkan ketika akhir pekan tiba, beliau tetap bekerja”, Ridwan menyeka matanya sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Tak bosan-bosannya beliau berpesan, pesan yang membuat mata saya sedikitpun tak dapat terpejam ketika ada tugas yang belum terselesaikan. Beliau selalu mengatakan “Nak...Bapak ini orang bodoh, Bapak tahu dan merasakan pahitnya menjalani hidup dengan kebodohan, untuk itu Bapak tidak ingin kamu juga ikut merasakan apa yang selama ini Bapak rasakan, jangan sampai! Bapak mau kamu lebih dan lebih baik dari Bapak. Kuliah saja yang benar, fokus belajar, jangan pikirkan hal lain, karena Bapak pasti akan berusaha untuk mencari biaya, tidak usah khawatir karena Allah Maha Kaya”. Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya, seisi auditorium trenyuh mendengar sambutan yang sama sekali tidak ada persiapan. Tepuk tangan mengiringi langkahnya menuruni tangga untuk kembali ke tempat duduknya.
            Matanya yang sembab menangkap bayangan seseorang yang sedari tadi ia bicarakan, tengah berdiri tepat di depan pintu aula menyaksikan putra semata wayangnya berbicara dengan senyuman bangga. Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta, matanya sayu menatap Ridwan yang tengah berlari dengan linangan air mata membasahi pipinya. Ridwan terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang bergetar berusaha mengucap kata-kata, “Terimakasih,,,,Bapak.” Pak Karta tidak membalas ucapan yang keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di bahu Ridwan menandakan bahwa beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepada putranya. Pemandangan itu membuat seisi aula dibanjiri air mata, pemandangan penuh haru dari putra yang tidak sedikitpun merasa malu hanya karena pekerjaan orang tua yang berbeda dari teman-temannya.

-TAMAT-

Sabtu, 14 November 2015

PENGORBANAN YANG BEGITU MAHAL

Image result for gambar orang tua dan anak pegangan tangan



Malam menyisakan kegelapan kala adzan subuh berkumandang, kedinginan menusuk hingga ke tulang, namun kewajiban harus tetap dilaksanakan karena itu adalah hutang. Adam mengambil sarung yang tergantung di balik pintu kamar dan bergegas keluar bergabung bersama para pejuang. Hidupnya kini berubah semenjak mendapat hidayah, ia sadar bahwa hidup itu penuh dengan cobaan, namun disamping itu ia juga sadar bahwa dibalik suatu kesusahan pasti ada seribu kemudahan.
***
            Kaki panjangnya melangkah lebih cepat dari biasanya, untuk kali pertama Adam terlambat pergi ke sekolah. Dahinya dibanjiri peluh, kaca matanya berembun disebabkan nafasnya yang tak beraturan, ia berlari sepanjang perjalanan. Pintu gerbang mulai ditutup, beribu permohonan ia lontarkan kepada pak satpam, namun peraturan tetaplah peraturan yang sekali ditegakkan tidak dapat tergoyahkan. SMP Putra Bangsa memang terkenal dengan disiplin dalam proses belajar mengajarnya. Wajah anak itu menyiratkan kekecewaan yang amat dalam, perjuangannya sia-sia.
            Adam menghentikan langkahnya, menatap dua jalan di hadapannya dengan seksama. Hatinya bimbang, ia berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan ke arah kanan. Padahal setiap pulang sekolah ia selalu mengambil jalan ke arah yang berlawanan, namun kali ini hatinya memberontak, enggan untuk pulang lebih cepat.
            Para pedagang beralalu lalang, aroma makanan berkelebat di udara begitu menggoda, namun apa daya Adam hanya dapat menahan perutnya yang mulai menyalakan radar. Kejadian pagi tadi amat menyiksa batinnya, pertengkaran hebat kedua orangtua membuat Adam harus terkena imbasnya. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya untuk melegakan perasaan yang telah lama ia pendam, namun ia lebih memilih untuk diam, menahan sakit di hati yang paling dalam.
***
“Surat apa ini Adam??!!” bentak ayahnya sembari menggebrak meja. Adam hanya diam di hadapan ayahnya yang tengah murka menerima surat panggilan orang tua, tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Mau jadi apa kamu?? Sekolah saja tidak becus!” belum selesai berbicara, Ibunya datang dan menyela pembicaraan ayah yang tengah meninggikan suara. “Sudah lah, kasihan anak kita”, kata-kata ini sungguh ‘menyalakan api’, untuk kesekian kalinya Adam menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tua. “Ayah, Ibu, cukuuuuup”, celetuk Adam tanpa sadar, tangannya menutup kedua daun telinga, air mata mengucur dengan derasnya, ia berlari keluar rumah tak tentu arah.
Masih dengan tubuh terseok-seok, Adam berhenti di depan pelataran sebuah bangunan, bangunan yang sudah lama ia tinggalkan. Kakinya melangkah menjejaki anak tangga sebelum mencapai beranda, kedamaian dalam hatinya mulai ada.
Adam duduk bersila, kedua tangannya menengadah tanda sedang berdo’a, air mata mengucur deras dipipinya, entah do’a apa saja yang dipanjatkannya hingga tengah malam ia tak jua beranjak dari tempat duduknya. Kini isak tangisnya mulai terdengar, membuat seorang laki-laki bersoban yang sedari tadi memperhatikannya datang, duduk bersila disebelah Adam. “Ada apa dek?” ucap laki-laki itu membuka percakapan, tangan kanannya mendarat lembut di pundak Adam. Ia berusaha menyembulkan senyuman ditengah kegundahan dan kesedihan yang dirasakannya, sebuah pertanyaan ia lontarkan, “Ustad, apakah boleh kita membenci kedua orang tua?”. Lelaki paruh baya itu menepuk pundak Adam pelan, bibirnya menyiratkan senyuman, beliau menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan lawan bicaranya, “Dek, pernahkah kamu berfikir tetang sebuah pengorbanan? Kamu tahu, pengorbanan yang orang tua kamu lakukan, SELAMANYA tidak akan pernah lunas jika ingin kamu bayar. Dengar dek, yang namanya orang tua  selalu dan selalu sayang kepada anaknya, meskipun bentuk perlakuannya berbeda-beda, bahkan sekasar-kasarnya mereka sekalipun, kita tetap saja tidak boleh membenci mereka, karena ridho Allah ada pada ridho orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orang tua. Sadarkan mereka, bukan malah meninggalkannya begitu saja. Perjuangkan kebenaran, jangan malah lari dari kenyataan. Pulanglah dek, sudah larut malam”, seperti dapat membaca pikiran Adam, laki-laki itu terus menasehati tanpa henti, Adam hanya menunduk dengan air mata berlinang penuh penyesalan.
***
            Jam dinding menunjuk angka 2, dalam kesunyian malam penyesalan mulai pasangan itu rasakan. Selama ini mereka telah menyia-nyiakan anak semata wayang yang Allah titipkan. Mereka terlalu fokus dengan pekerjaan sehingga keluarga dinomorsekiankan dan pada akhirnya hanya akan hancur berantakan apabila mereka tidak segera sadar. Kini hanya penantian yang dapat mereka lakukan, menanti kepulangan anak semata wayang. Isak tangis perempuan itu mulai terdengar, suaminya merangkul  bahunya berusaha menenangkan. Sampai akhirnya mereka terperanjat mendengar suara pintu terbuka, salam yang mendamaikan menyapa, laki-laki paruh baya berdiri disisi putra semata wayangnya. “Adaaam...”, perempuan itu menghambur memeluk Adam yang masih terpaku di depan pintu. Suaminya mengikuti dari belakang, mereka bertiga saling berpelukan, menyisakan rasa haru yang begitu dalam. Sungguh kebahagiaan itu telah kembali, kebahagiaan yang dulu sempat mereka miliki.
***
            “Dam, tunggu Ayah sebentar”, pinta ayahnya sembari mengenakan sarung. Adalah sebuah kesyukuran karena dapat menjadi salah seorang dari sedikit banjaran para pejuang. “Ayah, sebentar lagi iqomah “, seru Adam mengingatkan. Betapa bahagianya jika keutuhan dan keharmonisan keluarga tetap terjaga, karena harta benda yang melimpah sekalipun tak ada artinya dibanding keluarga.

-TAMAT-

Jumat, 13 November 2015

BENDA ITU,,,HANYA AKAN MEMBUNUH PERLAHAN

      Image result for gambar kesehatan dalam islam

      Mataku menatap langit-langit bercat putih, kipas angin tampak berputar-putar menyejukkan ruangan, bau obat yang menyengat sudah akrab dalam saluran pernapasan. Dua minggu sudah aku terbaring disini tanpa suara, kejenuhan pun mulai kurasa. Bila ingin menyalahkan, siapa yang harus aku salahkan? karena semua ini begitu cepat terjadi, bak tamu yang menerobos pintu masuk tanpa permisi. Jika harus membenci, siapa yang semestinya aku benci? tak sanggup rasanya untuk membenci diri sendiri. Kini aku hanya bisa pasrah, dan harus mensyukuri kesempatan yang Allah berikan dengan sepenuh hati.
***
      Seperti biasa, jalanan di metropolitan penuh dengan kesibukan. Kendaraan berlalu lalang, namun kemacetan belum menjadi pemandangan utama. Matahari baru menyeringaikan senyuman khas yang menghangatkan, kubuka buku di tangan lembaran demi lembaran untuk mengusir kebosanan menunggu bus yang tak jua datang. Sesekali aku tersenyum sendiri membaca novel yang diberikan seseorang tempo hari. 
           
"Uhuk, uhuk", aku terbatuk-batuk menghirup asap putih yang mengepul dari mulut seorang pria, dada ini begitu sesak ku rasa. Namun tanpa berdosa pria itu tetap menghisap batang rokok ditangannya tanpa mempedulikan kenyamanan orang-orang disekitarnya. Dan ini tidak hanya sekali saja terjadi, hampir setiap hari. Aku heran.
***
       "Pagi Ra", ucap seorang teman dengan senyuman mengembang. "Pagi Fadil", aku membalas senyumnya dengan tulus. Masih dengan jarak beberapa meter, Fadil menoleh, memandangku yang masih terfokus membaca buku. "Ira,,novelnya bagus kan?", ucapannya membuyarkan konsentrasiku. "Oh,,iya bagus, makasih ya Dil", aku begitu tersipu menjawab pertanyaan itu, pertanyaan dari teman yang sudah kuanggap seperti abang. Sepuluh tahun telah merubahnya, baik dari segi penampilan dan juga perkataan. Aku senang, karena akhirnya ia dapat meninggalkan kecanduan yang dulu pernah dia bilang "Sulit Ra, aku tidak bisa lepas dari ini", ungkapnya kepadaku dengan nada gemetar. 
      
Kertas-kertas menumpuk menjadi satu dihadapanku. Akhirnya semua pekerjaan dapat aku selesaikan. Fyuh,,,kurapikan meja dan barang-barang bersiap untuk pulang, tiba-tiba Fadil datang dan menyodorkan tas cokelat yang sedari tadi ia genggam, "Ira,,aku titip bingkisan buat Ibu kamu. Salam buat beliau, aku minta maaf karena hari ini tidak bisa datang ke rumah", Fadil berkata apa adanya. Aku mengangguk untuk meng-iyakan walaupun dalam benakku keluar beribu pertanyaan, namun pada kenyataannya aku tak sanggup mengungkapkan dan hanya akan terpendam entah sampai kapan. "Iya,,In Syaa Allah aku sampaikan", aku tersenyum sekaligus berpamitan untuk pulang. Kami pun berpisah ditengah keriuhan suasana kantor menjelang petang.
***
         Nafasku berhembus tak beraturan, dadaku begitu sesak tak tertahankan, leherku seperti tercekik. "Astaghfirullah nak,,,kamu kenapa?" Ibu sangat panik melihatku terkapar di lantai menangis-nangis menahan sakit, ingin berbicara namun tak bisa. Segera aku dilarikan kerumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan.
         
Dua hari aku berbaring tak sadarkan diri pasca operasi. Ku buka mataku perlahan, langit-langit adalah pemandangan pertama yang tertangkap mata lembam yang sudah lama terpejam. Senang rasanya bisa kembali membuka mata, walaupun pada akhirnya aku harus kehilangan satu hal yang sangat berharga. Kanker tenggorokan telah merenggut pita suara sehingga kini aku tidak lagi dapat berbicara. Sedih rasanya saat pertama kali berusaha mengucap sepatah kata untuk memanggil Ibunda, namun hasilnya malah aku menangis sejadi-jadinya. 
Aku bukanlah seorang perokok, namun mengapa aku yang harus terkena imbas dari kebiasaan yang sama sekali tidak pernah aku lakukan? Mengapa tidak mereka saja? Ingin sekali aku mengatakan ini, "Jika anda tetap ingin menghisap benda itu, mohon asapnya jangan diumbar-umbarkan karena akan merusak kesehatan, jika anda masih saja menyangkal, maka saya sarankan kepada anda untuk menelan asapnya sekalian agar anda lebih dapat 'menikmatinya'."
         
Aku banyak belajar dari pengalaman, kehilangan suara bagiku bukanlah akhir dari segalanya, meski sempat terpukul untuk pertama kalinya. Aku mengidap kanker tenggorokan karena kebiasaan yang tidak pernah aku lakukan. Aku hanyalah salah seorang yang tanpa sengaja menghirup umbaran asap dari sebuah benda yang umum dikenal, benda yang akan membunuh perlahan. Ya, rokok. Benda yang membuat Fadil kecanduan dan sulit sekali untuk melepaskan. Aku bersyukur masih diberikan kesempatan menghirup udara segar, belajar dari pengalaman, aku hanya berpesan, "cukup aku yang merasakan, aku tidak ingin ada yang mengalaminya lagi, cukup aku saja yang tahu rasanya kehilangan suara."

-Dikutip dari sebuah kisah nyata- 

Rabu, 11 November 2015

CINTA DALAM ARTIAN SESUNGGUHNYA



gambar kartun muslimah sedang berdoa


"Jika engkau mencari perempuan berparas menawan, aku mundur dari barisan paling depan, karena aku sadar, wajahku tak secantik yang engkau kriteriakan.

Jika engkau mencari perempuan dengan harta yang bergelimang, aku juga merasa tidak pantas untuk tetap berdiri mempertahankan barisanku walau bukan yang terdepan, karena hidup yang aku jalani penuh dengan kesederhanaan.

Namun jika engkau mencari perempuan dengan keteguhan iman, aku masih belum dapat berjajar di barisan depan untuk saat ini, karena keimanan dalam hati belum sepenuhnya aku miliki. Tetapi dengan kriteria yang engkau tetapkan ini, aku akan berusaha untuk memperbaiki diri agar suatu hari nanti, aku dapat berdiri di depan barisan, bukan barisan terdepan."

Banyak saudara-saudari kita saat ini yang begitu muluk-muluk dalam menentukan kriteria pasangan hidup. Padahal belum tentu diri sendiri telah memenuhi kriteria sebagai calon pasangan ideal seperti kriteria yang telah ditentukan di awal.

Jika kecantikan yang menjadi pengukuran awal dalam mencari pasangan, Ingat! paras yang menawan akan lekang oleh zaman karena sejatinya ia pasti akan menua seiring dengan bertambahnya usia. Kulit yang lembut akan berubah menjadi keriput dan kecantikan akan pudar. Maka, tidak ada alasan bagi pasangan untuk berpaling meninggalkan.

Jika harta yang menjadi pengukuran awal dalam mencari pasangan, Ingat! ketentuan Allah tidak dapat disangka-sangka, maka apabila ("Kun Fa Yakun") harta benda hilang seketika tanpa sisa, sudah tidak heran jika perpisahan menjadi muara pelampiasan seluruh kekecewaan dua insan yang membangun rumah tangga hanya berlandaskan harta.

Lalu bagaimana cara menentukan kriteria pasangan ideal jika paras dan harta bukanlah ukuran yang utama?
Jawabannya singkat : KEIMANAN, karena dengan iman, seorang laki-laki atau perempuan pastilah dekat dengan Tuhan Semestsa Alam, kecintaan mereka kepada Rabbnya lebih besar dari kecintaan mereka kepada seorang hamba, dan disitulah makna cinta yang sesungguhnya.
Dan sejatinya wahai saudara/i, perlu kita ketahui bahwa cinta yang disatukan berlandaskan keimanan takkan pernah lekang oleh zaman, takkan pernah goyah oleh dahsyatnya terpaan badai kehidupan, karena keridhoan Allah yang selalu mereka harapkan, senantiasa menaungi mereka dalam perjalanan mengarungi samudra dengan bahtera rumah tangga menuju pelabuhan terakhir yang selalu di damba, yaitu surga-Nya. In Syaa Allah.

Selasa, 27 Oktober 2015

BARANG TERMAHAL DI DUNIA

       Dalam kehidupan sehari-hari, tidak dapat dipungkiri bahwa sering kali waktu kita terbuang sia-sia untuk melakukan suatu hal yang tidak ada manfaatnya. Dewasa ini, tidak jarang kita menemukan siswa-siswi sekolahan berkeliaran bebas pada saat berlangsungnya jam pelajaran, bahkan ada yang ‘nongkrong’ di terminal, pamit kepada orang tua pergi ke sekolahan agar mendapat uang jajan. Sesungguhnya yang demikian itu amatlah rugi, karena tanpa mereka sadari waktu untuk menuntut ilmu terbuang sia-sia tanpa makna yang tersisa, mereka hanya menikmati kesenangan fana tanpa memikirkan masa depan.

Waktu bagaikan pedang, apabila kamu tidak dapat memotongnya maka ia akan memotongmu."           
Memotong waktu disini adalah dengan tidak membiarkannya sia-sia, sedang dipotong oleh waktu adalah dibuai oleh waktu dalam kesia-siaan. Karena hidup hanya sebentar, siapa saja yang membiarkan waktunya terbuang sia-sia hanya akan menanggung sesal tiada terkira pada akhinya. Dalam artian sebenarnya, waktu itu sangat mahal harganya sehingga emas permata sekalipun tidak dapat digunakan untuk membayarnya. Mengapa? Karena waktu yang telah berlalu tidak dapat diputar ulang untuk sekedar memperbaiki kesalahan. 
Imam Bukhori menuturkan dalam kitabnya Ar-Raqaa’iq 6053, “Manfaatkanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan gunakanlah masa hidupmu sebelum datang kematianmu.”
     Membicarakan masalah waktu, sesungguhnya lima menit itu sangatlah berharga, tidak percaya? silahkan tanya kepada orang yang tertinggal kereta karena telat lima menit saja menuju stasiun. Jangan dipikir dua detik itu tidak berguna, silahkan bertanya kepada atlet lari maraton yang kalah karena selisih dua detik dari lawannya. Masihkah kita akan membuang “barang termahal” dengan sesuatu yang tidak berguna? Mari kita pikirkanlah sekali lagi. (Ushikum Wa Iyyaaya Nafsi)
   Zaman sekarang, sebagian besar manusia menggunakan waktunya hanya untuk menikmati kesenangan yang sementara, salah satunya adalah bermain game, jalan - jalan ke mall, ngobrol, tidur tidak pada waktunya, dan berbagai persoalan tidak berguna lainnya sehingga melalaikan pekerjaan lain yang jauh lebih penting. Bagi manusia yang sadar akan pentingnya waktu, mereka akan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar ia tak terbuang sia-sia dan berlalu begitu saja. Manajemen waktu merupakan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, dan pengawasan produktivitas waktu. Apabila seseorang mempunyai jadwal tentang hal penting yang akan dilakukan, maka tidak ada orang 'nganggur' di dunia ini. 
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an : “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, seungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al-Hasyr :18).

      Mari sejenak kita renungkan bersama kawan, perkataan Syaikh as-Sa’di rahimahullah, “Salah satu bukti kebijaksanaan takdir dan hikmah ilahiyah yaitu, barangsiapa yang meninggalkan apa yang bermanfaat baginya padahal memungkinkan baginya untuk memetik manfaat itu lantas dia tidak mau memetiknya maka dia akan menerima cobaan berupa disibukkan dengan hal-hal yang mendatangkan mudharat terhadap dirinya.” 
Maka dari itu, marilah kita forsir seluruh tenaga dengan memanfaatkan waktu yang tersisa di dunia untuk mencari keridhoan Allah semata agar menjadi bekal kita di kehidupan selanjutnya. Fastabiqul Khairaat.

Jumat, 23 Oktober 2015

PENGGENGGAM DUNIA YANG AKAN BINASA
“Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.”
(Q.S Luqman: 20)

Problematika antar umat yang berbeda keyakinan sering terjadi. Salah satu pemicu ditabuhnya genderang pertikaian yang baru-baru ini terjadi adalah penghinaan terhadap Islam, yaitu menyebut gambar karikatur manusia dengan Nabi Muhammad SAW. Tentu saja umat Islam tidak tinggal diam dan hanya berpangku tangan menyaksikan gambar-gambar yang melecehkan Nabi mereka beredar di sampul utama sebuah  majalah. Pertanyaannya, mengapa orang yang menciptakan hal itu sangat senang terhadap dampak yang akan ditimbulkan akibat ulah mereka dan kehidupan yang tidak nyaman?
            “Charlie Hebdo” adalah majalah mingguan Perancis yang memancing kemarahan umat Islam dengan cara menciptakan gambar karikatur bertuliskan Muhammad SAW. Tidak hanya tahun ini saja majalah “Charlie Hebdo” berulah, beberapa tahun sebelumnya mereka juga melakukan hal yang sama. Tak gencar atas kerusakan yang diterima sebelumnya oleh amukan masa, mereka kembali membuat karikatur bertuliskan Muhammad SAW dan menjadikannya sebagai sampul majalah. Otomatis umat Islam seantero dunia akan sangat marah apabila Nabi mereka tercinta dihina dan dilecehkan, puncaknya adalah kehancuran kantor percetakan yang diamuk umat Islam seluruh Perancis.
            Perbedaan keyakinan antar bangsa di dunia ini sangat fantastis. Dengan meningkatnya populasi manusia, maka akan semakin banyak pula perbedaan keyakinan yang dilibatkannya. Dalam pandangan orang Barat, Islam adalah teroris. Mendengar kata Islam, terbesit dalam pikiran mereka seorang pria   berjenggot yang mengenakan jubah dan membawa bom. Nah, apa sebenarnya yang ada di balik kebencian bangsa Eropa terhadap Islam begitu bertalu-talu?
            Pada saat kerajaan Islam Turki Utsmani berjaya, wilayah kekuasaanya sangat luas hampir menguasai seluruh Benua Eropa. Mereka sangat trauma dengan kejadian itu sehingga menjadi mimpi buruk dan momok bagi mereka hingga saat ini. Hal inilah yang menyebakan Barat sangat dendam kepada Islam dan berniat menghancurkan peradaban Islam agar kejadian di masa Ottoman tidak terulang kembali.
            Karena mereka tahu akan kalah jika melakukan perang dengan orang Islam, maka mereka menggunakan teknik lain untuk melumpuhkan peradaban umat islam. Hal pertama yang mereka incar adalah para pemuda yang dimiliki umat Islam. Antara lain dengan cara perang pikiran, narkotika, alkohol dan suntikan peradaban Barat yang akan mempengaruhi pemuda Islam agar menentang agamanya sendiri, karena apabila bibit-bibit penerus telah hancur, maka akan hancur pula peradaban suatu umat.  
            Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir bagi umat Islam. Beliau adalah manusia sempurna yang diutus Allah SWT kepada kaum Quraisy yang hidup  dalam kejahiliahan. Salah satu mukjizat Nabi Muhammad adalah Kalamullah atau Al-qur’an yang menyeru seluruh umat manusia untuk mematuhi utusan-Nya dari kaum mereka untuk menyembah Allah.
            Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-baqoroh ayat 91: Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al-Quran yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami." Dan mereka kafir kepada Al-Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al-Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?" dengan keangkuhan kaum Quraisy, mereka serta merta menolak seruan Muhammad kepada Islam. Bahkan mereka melempari beliau dengan kotoran, maupun batu sehingga membuat kepala beliau berdarah. Namun berkat kesabaran dan keikhlasan beliau, seiring berjalannya waktu para pembesar Quraisy yang kolot akan keyakinan yang diwarisi para pendahulu mereka, menjadi luluh akan kelembutan sifat Nabi Muhammad SAW.
            Sifat Nabi Muhammad yang sangat unggul adalah kelemah lembutannya, dan ini telah disebutkan dalam penggalan surat Ali-‘imron ayat 159: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”  
            Rasulullah memang tidak pernah marah akan umpatan dan cacian yang ditujukan kepada beliau, namun beliau akan sangat marah dan mengharuskan pula bagi kaumnya untuk marah apabila terjadi satu hal, yaitu “Penghinaan terhadap Agama Allah” dan yang bersangkutan.
            Terkait dengan pertikaian antar umat dan bangsa, banyak orang Islam yang bertajuk pada tingkatan minoritas suatu negara menjadi korban kebringasan penentang Islam. Salah satunya adalah seorang muslim asal Perancis yang dibunuh oleh tetangga non muslim yang geram terhadap Umat Islam yang telah menghancurkan kantor majalah Charlie Hebdo. Sehingga sang tetangga membunuhnya untuk balas dendam atas nama Charlie Hebdo kepada umat Islam. Dan masih banyak kasus serupa menghantui ketentraman hidup umat Islam, terutama bagi mereka yang tinggal di negara dengan jumlah penganut Agama Islam minoritas.
            Alhasil, pertikaian antar bangsa dan umat pun tidak dapat dihindari. Sebenarnya yang patut disalahkan adalah yang pertama kali memancing kemarahan dan bukan salah orang yang marah karena Agama mereka dilecehkan. Sudah disinggung dalam pembahasan bahwa Rasulullah mengajarkan umatnya untuk marah jika terjadi satu hal, yaitu apabila Agama mereka diinjak-injak seakan tak bermakna. Memang untuk saat ini mereka dapat menggenggam dunia dan menertawakan umat yang telah diadu domba, namun di akhirat nanti, mereka yang akan ditertawakan oleh oleh umat Islam karena mereka adalah penghuni kekal neraka. Allahu akbar!
             


TETAP GARUDA DIMANAPUN NEGARANYA

Saat perjalanan kembali ke Pesantren, sebuah mobil bak terbuka dengan nomor polisi R 3074 DH menyalip mobil keluarga saya seraya membunyikan klakson. Plat nomor Kabupaten  Banjarnegara. Tiba-tiba Ayah yang duduk di jok depan nyeletuk “mobile wong mbanjar kae, sapa ya? Wis kaya wonge dewek nek ketemu nang gon seng adoh (mobil orang Banjar (Banjarnegara) itu, siapa ya? Sudah seperti keluarga sendiri ketika bertemu (orang dari daerah yang sama) di tempat jauh.” Pengalaman ini membuat saya pribadi berpikir, bahwa dimanapun saya berada rasanya sangat berbeda dengan lingkungan tempat saya dibesarkan, karena saya pribadi merasakan tinggal di kota yang jauh dari tempat tinggal orang tua. Rasanya senang sekali ketika dapat berjumpa kawan seperjuangan di daerah perantauan dari daerah asal saya, padahal kami tidak kenal sebelumnya. Alhamdulillah hingga saat ini hubungan kami sudah seperti keluarga sendiri, dahulu ketika saya sedang tidak betah-betahnya, dialah tempat pelabuhan rasa rindu saya terhadap keluarga, dialah sahabat yang mengerti saya karena dia juga merasakan hal yang serupa.
Sekarang kita mulai pembahasan dengan rentetan pertanyaan yang akan saya lontarkan. Pernahkah anda membayangkan hidup di lain negara dengan menyandang ‘gelar’ Tenaga Kerja Indonesia atau Tenaga Kerja Wanita? Dengan warga dan lingkungan yang bedanya 360O dari Indonesia? Dan hidup sebatangkara jauh dari keluarga? Mungkin yang terbayang bagi anda yang belum pernah merasakan adalah kenikmatan hidup di negeri orang yang teknologinya mumpuni dan jauh lebih maju dari negara sendiri. Namun apakah benar yang mereka rasakan seperti yang anda semua bayangkan? Mungkin iya, apabila tujuan ke luar negerinya untuk vacation atau liburan. Namun tidak, bagi mereka yang bekerja untuk memenuhi kehidupan keluarga.
Dahulu tujuan para WNI (Warga Negara Indonesia) berangkat keluar negeri adalah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga yang menanti. Bukan kesenangan yang mereka rasakan, namun kerinduan yang mendalam karena perpisahan dengan orang yang disayang. Tidak ada sedikitpun niatan untuk menghambur-hamburkan uang, karena pikiran mereka berjalan, lebih baik tidak dandan daripada orang yang disayang kelaparan. Lain dulu lain sekarang, seiring berkembangnya zaman, manusiapun banyak mengalami perubahan. Dari yang dulunya ke luar negeri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kini ke luar negeri hanya untuk mengejar gengsi, yang dulunya senang sekali bertemu teman dari negara sendiri, hingga kini berubah menjadi opsi saling hujat warga negara sendiri. Sungguh perbedaan yang amat sangat memprihatinkan.
Menurut BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan & Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) pada tahun 2014 terdapat 158.302 TKI yang tersebar di negara-negara maju. Pekerjaannya bermacam-macam, mulai dari yang jabatannya tinggi hingga asisten rumah tanggapun jadi. Menurut data yang ada pada tahun 2014, 60% dari para TKI di luar negeri adalah perempuan dan 40% laki-laki.
Baru-baru ini saya melihat tayangan di Youtube tentang para TKI yang saling hujat sesama TKI namun di lain negara, saling membanggakan negara tempat mereka bekerja. Judulnya, “Rumangsamu penak dadi TKI yo penak,,bayangno!...” (Menurutmu enak jadi TKI ya enak, bayangkan!...) dalam video yang bedurasi minimal 3 menit ini, opsi saling sindir masalah gaji, pekerjaan dan tempat tinggal dimulai. Setelah saya selidiki, perang video TKI ini dipicu oleh sebuah video unggahan para suami yang ditinggal istri bekerja keluar negeri. Mereka dengan bangganya  tanpa diliputi rasa bersalah dan berdosa memamerkan gaya hidupnya di kampung yang enak tanpa harus bekerja, tiap bulan hanya menadahkan tangan karena istri mereka akan mengirimkan uang kebutuhan tiap bulannya, dalam istilah lain “Hidup di ketiak istri” yang bekerja untuk mereka. Mengapa saya berkata demikian? Alasannya sederhana, karena kondisi tubuh mereka sehat wal’afiyat tanpa cacat maupun dalam keadaan sakit. Setelah saya cermati, ini bukan lagi hal lucu yang patut ditertawakan, namun lebih pasnya adalah di do’akan agar mereka tidak saling tikam lewat perkataan dan saling meremehkan. Pelajaran yang dapat kita ambil dari masalah ini adalah tentang cara menghargai dan bersosialisasi. Menghargai orang lain itu penting, bukan malahan menghujat satu sama lain. Jangan minta dihargai kalau diri sendiri belum dilatih untuk menghargai, terutama warga negara sendiri. Ingat, semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika.”
Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, apa maksudnya? Yaitu kecenderungan manusia yang memiliki kebutuhan, kemampuan dan kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan manusia lainnya. Amat mustahil apabila manusia harus hidup seorang diri, karena fitrah manusia adalah bersosialisasi. Kadang kita perlu seorang teman untuk mencurahkan isi hati kita seluruhnya, teman yang kita percaya agar dapat menjaga rahasia, yang senantiasa ada ketika kita butuh bahu untuk bersandar. “Sahabat bukan orang yang selalu menganggap benar setiap perkataan yang terlontar, namun sahabat adalah orang yang selalu mengingatkan dan meluruskan ketika kita berbuat kesalahan.” Sebuah kata mutiara yang mungkin sering kita baca tanpa kita pahami apa makna sebenarnya yang terkandung didalamnya.
Maka ketahuilah wahai saudara, warga negara Indonesia khususnya yang sedang berjuang menghidupi keluarga di kampung halamannya. Bahwa kita satu bangsa, satu negara, satu tanah air kita, tanah air Indonesia. Pantaskah orang yang berasal dari negara yang sama saling mengolok-olok dan saling menghina sesama, di sosial media pula. Sadarlah wahai saudara bahwa kita pernah dijajah berabad-abad lamanya, susah untuk merdeka, para pejuang rela mempertaruhkan nyawa mereka untuk memerdekakan tanah air kita tercinta, jangan bangga terhadap sesuatu yang tidak perlu dan tidak sepantasnya dibanggakan. Saat ini memang negara kita bukan termasuk dalam rentetan negara maju di dunia, yang menjadi cita-cita setiap negara tidak hanya Indonesia, namun siapa lagi yang akan mewujudkan cita-cita mulia para pahlawan Indonesia kalau bukan kita para penerus mereka? Banggalah terhadap negara sendiri meskipun banyak problema yang melanda, namun itulah kendala yang pastinya dimiliki setiap negara di dunia.
Kita melihat Jepang saat ini terkenal dengan teknologi dan ketertiban negaranya, namun tahukah anda bahwa 25.000 lebih penduduk Jepang bunuh diri setiap tahunnya? Inilah bukti bahwa negara maju seperti Jepang misalnya, tidak dapat menjamin warga negaranya bahagia. Harakiri (bunuh diri) terus menghantui kemunduran populasi penduduk Jepang di masa depan. Lain Jepang lain pula Indonesia, Jepang boleh bangga dengan teknologi untuk saat ini, namun dibalik kemajuan teknologi terdapat kasus harakiri yang mendominasi. Kebanyakan orang bunuh diri di Jepang disebabkan keputus asaan serta tidak adanya keyakinan dan panutan untuk dijadikan sandaran ketika keterpurukan datang. Orang Jepang menganut Agama yang menurut mereka pas di hati dan enak dijalani. Sehingga ketika tidak ada lagi yang diharapkan dari hidup ini, mereka lebih baik mati.
Oleh sebab itu saudara-saudara, kita perlu bangga menyandang gelar negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia. Kita punya Allah Ta’ala yang akan mewujudkan segala do’a apabila kita sungguh-sungguh dalam meminta. Namun jangan hanya menyandang gelar, norma yang ditetapkan Islampun wajib dijalankan. Ketika norma diterapkan, otomatis moral pun berjalan, karena moral dapat menuntun hati nurani seseorang agar menolak segala kecurangan dan menggantinya dengan kejujuran serta keadilan dalam urusan kenegaraan. Mari kita buktikan bahwa kita punya norma sebagai modal utama memajukan negara Indonesia. We Love Indonesia.  Allahu Akbar!