Sabtu, 28 November 2015

THE FIRE OF LOVE

Image result for gambar love
            
      Cinta, sebuah keindahan yang tak tergambarkan baik dengan tulisan maupun perkataan. Keindahannya begitu terjaga, namun pernyataan ini hanya berlaku bagi mereka yang tahu arti cinta sesungguhnya. Karena ada kalanya cinta dan nafsu sangat sulit dibedakan, dan ini berawal dari perasaan yang tak dapat dikendalikan, yang pada akhirnya hanya akan menjerumuskan ke dalam jurang kemaksiatan.
Perlahan namun pasti, bisikan demi bisikan merasuki sanubari, mengganti kesakralan cinta dengan hawa nafsu belaka, mengatas namakan cinta untuk sekedar memenuhi hasrat di jiwa yang menggelora.
***
            Indahnya langit malam bertabur bintang, lantunan musik kawanan jangkrik memekikan kesunyian. Jemariku terus menari beriringan dengan jalannya pikiran, mataku fokus menatap layar monitor, menelisik kata per kata yang tersambung menjadi satu haluan, mewakili suara hati yang dilanda kegelisahan. Peristiwa demi peristiwa jelas tergambar dalam angan, bergelayut memenuhi isi pikiran. Kulirik tulisan yang terpasang di atas meja belajar, deadline penulisan tersisa 18 jam dan sampai saat ini aku belum dapat menyelesaikan artikel yang Pak Imron amanahkan. “Hmm..apa lagi ya..” aku menggumam sendiri sembari menatap langit-langit kamar, mengedarkan pandangan seolah ada jawaban yang dapat aku temukan.
             Aku masih termenung seorang diri mencari inspirasi, malam pun kian larut, namun katup mataku tak kunjung tertutup. Sebagai pendengar setia, aku banyak belajar dari pengalaman teman-teman yang sering mereka ceritakan, mulai dari persoalan remaja seperti kegalauan yang tiada ujungnya atau bahkan hampir mengakhiri semuanya dengan menghilangkan nyawa. Tiba-tiba aku mendapat inspirasi mengingat curhatan teman sebangkuku tempo hari, tanganku kembali berkutat dengan keyboard, mengabadikan sebuah kisah ke dalam bentuk tulisan dengan harapan kejadian serupa takkan kembali terulang. Jam dinding menunjukkan pukul dua, aku lega karena akhirnya dapat memejamkan mata tanpa ada beban yang tersisa.
***
            “Istighfar Ran. Bunuh diri tidak akan mengakhiri semua ini. Ingat! Masih ada kehidupan setelah dunia, kehidupan kekal yang Allah janjikan hanya ada 2 pilihan. Jika kamu berakhir seperti ini, mampukah kamu menahan siksa neraka yang panasnya beribu kali lipat dari api dunia?? Jangan ambil ‘jalan pintas’ Ran, aku mohon!!” Aku berteriak dengan tubuh gemetar melihat Rani yang tengah berdiri diatas kursi berusaha mengaitkan lehernya dengan ikatan tali tampar. Matanya sembab, butiran air terus mengalir dari dari pelupuk mata, jatuh membasahi pipinya. Perlahan aku mendekatinya, merengkuh sebagian tubuh yang masih mematung di atas kursi, Rani terlihat begitu depresi. Aku tidak dapat membayangkan jika terlambat datang ke kamar kostnya, mungkin akan lain lagi ceritanya. Fyuh, aku beruntung.
            Ku biarkan Rani menangis sejadi-jadinya, tanganku mengelus lembut rambutnya yang sudah tak beraturan. Dengan begini ia dapat melampiaskan segala kekesalan yang terpendam di lubuk hati paling dalam. Perasaan wanita memang sangat sensitif terutama terhadap luka, aku tahu karena dua hari lalu kekasih yang selalu dibanggakannya lima tahun terakhir ini menikah dengan perempuan lain diluar prediksi, seketika tubuh Rani ambruk mendengar kabar yang saat itu masih belum dapat dipastikan. Sebagai teman, aku tidak pernah bosan untuk mengingatkan, entah berapa kali kata-kata ini selalu ku ulang, “Ran, kamu boleh mencintai seseorang, tapi nanti kalau dia sudah halal untuk kamu cintai. Kalau sekarang aku sarankan jangan dulu cintamu itu menggebu, karena bagaimanapun juga masalah jodoh sudah ada yang atur”.
***
             Tema kajian hari ini “Cinta atau Nafsu”, aku pasrah setelah menerima amanah kedua dari senior tempatku bekerja. Ya, Pak Imron, selain sebagai ketua editing majalah, beliau juga seorang aktivis dakwah di kantor kami, hanya sekali ini beliau minta diganti dengan adanya urusan dadakan yang sama sekali tidak boleh beliau tinggalkan. Aku menghela nafas panjang, lidahku terasa kaku, mungkin karena ini pertama kalinya aku berbicara di depan khalayak. Semua mata menatap, keringat dingin mulai mengalir, mimik ketakutan mungkin sudah tak dapat lagi aku sembunyikan, namun keyakinan untuk tidak mengecewakan membuat semuanya kembali normal. “Bismillah, aku bisa” gumamku dalam hati sembari membuka kajian pada siang hari ini.
                                                  قال رسول الله ص. م.
احبب حبيبك هونا ما عسي ان يكو ن بغيضك يوما ما وابغض بغيضك هونا ما عسي ان يكو ن حبيبك يوما ما
(رواه الترمذي)
“Rosulullah Saw, bersabda, Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa saja suatu saat nati ia akan menjadi orang yang kamu benci. Bencilah sewajarnya karena bisa saja suatu saat nanti ia akan menjadi kekasihmu. (HR. Al-Tirmidzi).” Kata-kata terakhir itu membuat diriku sendiri menyadari, bahwa sekeras apapun kita mengusahakan atau bahkan memaksakan seseorang sebagai jodoh yang telah ditetapkan, apabila Allah memang tidak berkehendak ya mau diapakan. Semua telah diatur-Nya, jauh sebelum manusia sendiri memikirkannya.
-TAMAT-

Senin, 16 November 2015

AKU,, TIDAK MERASA MALU!

 Image result for wisuda sarjana

Auditorium dipenuhi mahasiswa-mahasiswa bertoga, hari ini adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas dan eksperimental yang begitu menguras  tenaga maupun pikiran, dan di hari inilah semua itu seolah terbayar.
Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar di setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah dan gelisah. Setengah jam berlalu, namun acara tak kunjung dibuka. Seorang pemuda terlihat berbeda dari yang lainnya, wajahnya terlihat tak tenang, mungkin ada hal lain yang ia pikirkan. Ridwan, begitulah pemuda itu dipanggil oleh teman-temannya di kampus. Wajahnya tidak begitu tampan, namun perangainya mampu membuat setiap orang yang baru mengenalnya merasa segan. Karena selain pintar, ia juga sangat sopan dalam setiap tindakan serta perkataan. Tak jarang ia membuat heran teman-temannya karena dikerumuni banyak wanita, namun tak satupun dari mereka memikat hatinya, karena ia tetap teguh dengan prinsipnya “NO PACARAN, UNTIL HALAL”. Selain itu, Ridwan juga dikenal sebagai orang yang berkomitmen tinggi terhadap keinginan, terutama keinginan dari orang tuanya.
Arloji berwarna silver melingkar di pergelangan tangan kiri Ridwan, matanya yang tajam tidak lekang untuk terus memandangi jam tangan miliknya, ia terus menggerakkan kakinya tanda kecemasan mulai melanda. “Kenapa Wan?” tanya Sodik yang tengah duduk disebelahnya memastikan. “Aaa,,, Bapakku belum datang”, jawabnya sambil menengok ke belakang. “Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?”, ujar Sodik dengan bahasa khas Jakartanya. Ridwan hanya mengisyaratkan dengan gelengan, karena ia tahu kalau hal itu tidak memungkinkan.
***
            “Berapa Pak?”, tanya seorang remaja yang baru turun dari becak. “Ndak usah neng”, jawab si tukang becak sembari menyiratkan senyuman diwajahnya yang mulai banyak kerutan pertanda usia tak lagi muda. “Loh, kok gitu Pak? Saya gak enak, kan jauh perjalanannya Pak”, tanya remaja itu kembali dengan nada tak mengerti. “Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya akan bersedekah dengan harta,,tidak apa-apa neng, saya ikhlas”, jawaban lelaki paruh baya itu sedikit menggantung, namun cukup menggetarkan nurani remaja putri yang berbusana rapi di depan kampus ternama di kota Jakarta. Pamflet-pamflet ucapan selamat atas wisuda angkatan ke-78 tersemat di gerbang kampus, menjadi pemandangan utama yang menyambut mata, Pak Karta pergi mengayuh becaknya, meninggalkan seulas senyuman di depan gerbang.
***
            Sambutan dari rektor Universitas sedang berlangsung, seluruh wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama. “Saya bangga dengan satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan. “Selain pandai, dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih tua. Dan saya lebih bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas tercinta kita tahun ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan maju kedepan”. Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan terkejut mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan selamat ia dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk berdekatan dengannya. Ia tak pernah menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pegorbanannya yang ia jalani selama ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil” gumamnya dalam hati sembari berjalan mendekati panggung menuju podium.
            “Terimakasih untuk semuanya, Bapak Rektor, para Dosen, dan teman-teman saya tentunya, terimakasih banyak. Saya tidak tahu harus bicara apa, saya sangat bersyukur perjuangan seseorang selama ini tidaklah sia-sia. Seseorang yang tak lain adalah Bapak saya sendiri. Terimakasih karena beliau telah banyak berkorban untuk menyekolahkan saya hingga  jenjang sarjana. Jujur, saya bukan anak orang kaya, Bapak saya hanya bekerja sebagai tukang becak yang setiap harinya bekerja bahkan ketika akhir pekan tiba, beliau tetap bekerja”, Ridwan menyeka matanya sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Tak bosan-bosannya beliau berpesan, pesan yang membuat mata saya sedikitpun tak dapat terpejam ketika ada tugas yang belum terselesaikan. Beliau selalu mengatakan “Nak...Bapak ini orang bodoh, Bapak tahu dan merasakan pahitnya menjalani hidup dengan kebodohan, untuk itu Bapak tidak ingin kamu juga ikut merasakan apa yang selama ini Bapak rasakan, jangan sampai! Bapak mau kamu lebih dan lebih baik dari Bapak. Kuliah saja yang benar, fokus belajar, jangan pikirkan hal lain, karena Bapak pasti akan berusaha untuk mencari biaya, tidak usah khawatir karena Allah Maha Kaya”. Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya, seisi auditorium trenyuh mendengar sambutan yang sama sekali tidak ada persiapan. Tepuk tangan mengiringi langkahnya menuruni tangga untuk kembali ke tempat duduknya.
            Matanya yang sembab menangkap bayangan seseorang yang sedari tadi ia bicarakan, tengah berdiri tepat di depan pintu aula menyaksikan putra semata wayangnya berbicara dengan senyuman bangga. Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta, matanya sayu menatap Ridwan yang tengah berlari dengan linangan air mata membasahi pipinya. Ridwan terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang bergetar berusaha mengucap kata-kata, “Terimakasih,,,,Bapak.” Pak Karta tidak membalas ucapan yang keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di bahu Ridwan menandakan bahwa beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepada putranya. Pemandangan itu membuat seisi aula dibanjiri air mata, pemandangan penuh haru dari putra yang tidak sedikitpun merasa malu hanya karena pekerjaan orang tua yang berbeda dari teman-temannya.

-TAMAT-

Sabtu, 14 November 2015

PENGORBANAN YANG BEGITU MAHAL

Image result for gambar orang tua dan anak pegangan tangan



Malam menyisakan kegelapan kala adzan subuh berkumandang, kedinginan menusuk hingga ke tulang, namun kewajiban harus tetap dilaksanakan karena itu adalah hutang. Adam mengambil sarung yang tergantung di balik pintu kamar dan bergegas keluar bergabung bersama para pejuang. Hidupnya kini berubah semenjak mendapat hidayah, ia sadar bahwa hidup itu penuh dengan cobaan, namun disamping itu ia juga sadar bahwa dibalik suatu kesusahan pasti ada seribu kemudahan.
***
            Kaki panjangnya melangkah lebih cepat dari biasanya, untuk kali pertama Adam terlambat pergi ke sekolah. Dahinya dibanjiri peluh, kaca matanya berembun disebabkan nafasnya yang tak beraturan, ia berlari sepanjang perjalanan. Pintu gerbang mulai ditutup, beribu permohonan ia lontarkan kepada pak satpam, namun peraturan tetaplah peraturan yang sekali ditegakkan tidak dapat tergoyahkan. SMP Putra Bangsa memang terkenal dengan disiplin dalam proses belajar mengajarnya. Wajah anak itu menyiratkan kekecewaan yang amat dalam, perjuangannya sia-sia.
            Adam menghentikan langkahnya, menatap dua jalan di hadapannya dengan seksama. Hatinya bimbang, ia berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengambil jalan ke arah kanan. Padahal setiap pulang sekolah ia selalu mengambil jalan ke arah yang berlawanan, namun kali ini hatinya memberontak, enggan untuk pulang lebih cepat.
            Para pedagang beralalu lalang, aroma makanan berkelebat di udara begitu menggoda, namun apa daya Adam hanya dapat menahan perutnya yang mulai menyalakan radar. Kejadian pagi tadi amat menyiksa batinnya, pertengkaran hebat kedua orangtua membuat Adam harus terkena imbasnya. Ingin sekali ia berteriak sekencang-kencangnya untuk melegakan perasaan yang telah lama ia pendam, namun ia lebih memilih untuk diam, menahan sakit di hati yang paling dalam.
***
“Surat apa ini Adam??!!” bentak ayahnya sembari menggebrak meja. Adam hanya diam di hadapan ayahnya yang tengah murka menerima surat panggilan orang tua, tak satupun kata yang keluar dari mulutnya. “Dasar anak tidak tahu diuntung! Mau jadi apa kamu?? Sekolah saja tidak becus!” belum selesai berbicara, Ibunya datang dan menyela pembicaraan ayah yang tengah meninggikan suara. “Sudah lah, kasihan anak kita”, kata-kata ini sungguh ‘menyalakan api’, untuk kesekian kalinya Adam menyaksikan pertengkaran hebat kedua orang tua. “Ayah, Ibu, cukuuuuup”, celetuk Adam tanpa sadar, tangannya menutup kedua daun telinga, air mata mengucur dengan derasnya, ia berlari keluar rumah tak tentu arah.
Masih dengan tubuh terseok-seok, Adam berhenti di depan pelataran sebuah bangunan, bangunan yang sudah lama ia tinggalkan. Kakinya melangkah menjejaki anak tangga sebelum mencapai beranda, kedamaian dalam hatinya mulai ada.
Adam duduk bersila, kedua tangannya menengadah tanda sedang berdo’a, air mata mengucur deras dipipinya, entah do’a apa saja yang dipanjatkannya hingga tengah malam ia tak jua beranjak dari tempat duduknya. Kini isak tangisnya mulai terdengar, membuat seorang laki-laki bersoban yang sedari tadi memperhatikannya datang, duduk bersila disebelah Adam. “Ada apa dek?” ucap laki-laki itu membuka percakapan, tangan kanannya mendarat lembut di pundak Adam. Ia berusaha menyembulkan senyuman ditengah kegundahan dan kesedihan yang dirasakannya, sebuah pertanyaan ia lontarkan, “Ustad, apakah boleh kita membenci kedua orang tua?”. Lelaki paruh baya itu menepuk pundak Adam pelan, bibirnya menyiratkan senyuman, beliau menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan lawan bicaranya, “Dek, pernahkah kamu berfikir tetang sebuah pengorbanan? Kamu tahu, pengorbanan yang orang tua kamu lakukan, SELAMANYA tidak akan pernah lunas jika ingin kamu bayar. Dengar dek, yang namanya orang tua  selalu dan selalu sayang kepada anaknya, meskipun bentuk perlakuannya berbeda-beda, bahkan sekasar-kasarnya mereka sekalipun, kita tetap saja tidak boleh membenci mereka, karena ridho Allah ada pada ridho orang tua, dan kemurkaan Allah ada pada kemurkaan orang tua. Sadarkan mereka, bukan malah meninggalkannya begitu saja. Perjuangkan kebenaran, jangan malah lari dari kenyataan. Pulanglah dek, sudah larut malam”, seperti dapat membaca pikiran Adam, laki-laki itu terus menasehati tanpa henti, Adam hanya menunduk dengan air mata berlinang penuh penyesalan.
***
            Jam dinding menunjuk angka 2, dalam kesunyian malam penyesalan mulai pasangan itu rasakan. Selama ini mereka telah menyia-nyiakan anak semata wayang yang Allah titipkan. Mereka terlalu fokus dengan pekerjaan sehingga keluarga dinomorsekiankan dan pada akhirnya hanya akan hancur berantakan apabila mereka tidak segera sadar. Kini hanya penantian yang dapat mereka lakukan, menanti kepulangan anak semata wayang. Isak tangis perempuan itu mulai terdengar, suaminya merangkul  bahunya berusaha menenangkan. Sampai akhirnya mereka terperanjat mendengar suara pintu terbuka, salam yang mendamaikan menyapa, laki-laki paruh baya berdiri disisi putra semata wayangnya. “Adaaam...”, perempuan itu menghambur memeluk Adam yang masih terpaku di depan pintu. Suaminya mengikuti dari belakang, mereka bertiga saling berpelukan, menyisakan rasa haru yang begitu dalam. Sungguh kebahagiaan itu telah kembali, kebahagiaan yang dulu sempat mereka miliki.
***
            “Dam, tunggu Ayah sebentar”, pinta ayahnya sembari mengenakan sarung. Adalah sebuah kesyukuran karena dapat menjadi salah seorang dari sedikit banjaran para pejuang. “Ayah, sebentar lagi iqomah “, seru Adam mengingatkan. Betapa bahagianya jika keutuhan dan keharmonisan keluarga tetap terjaga, karena harta benda yang melimpah sekalipun tak ada artinya dibanding keluarga.

-TAMAT-

Jumat, 13 November 2015

BENDA ITU,,,HANYA AKAN MEMBUNUH PERLAHAN

      Image result for gambar kesehatan dalam islam

      Mataku menatap langit-langit bercat putih, kipas angin tampak berputar-putar menyejukkan ruangan, bau obat yang menyengat sudah akrab dalam saluran pernapasan. Dua minggu sudah aku terbaring disini tanpa suara, kejenuhan pun mulai kurasa. Bila ingin menyalahkan, siapa yang harus aku salahkan? karena semua ini begitu cepat terjadi, bak tamu yang menerobos pintu masuk tanpa permisi. Jika harus membenci, siapa yang semestinya aku benci? tak sanggup rasanya untuk membenci diri sendiri. Kini aku hanya bisa pasrah, dan harus mensyukuri kesempatan yang Allah berikan dengan sepenuh hati.
***
      Seperti biasa, jalanan di metropolitan penuh dengan kesibukan. Kendaraan berlalu lalang, namun kemacetan belum menjadi pemandangan utama. Matahari baru menyeringaikan senyuman khas yang menghangatkan, kubuka buku di tangan lembaran demi lembaran untuk mengusir kebosanan menunggu bus yang tak jua datang. Sesekali aku tersenyum sendiri membaca novel yang diberikan seseorang tempo hari. 
           
"Uhuk, uhuk", aku terbatuk-batuk menghirup asap putih yang mengepul dari mulut seorang pria, dada ini begitu sesak ku rasa. Namun tanpa berdosa pria itu tetap menghisap batang rokok ditangannya tanpa mempedulikan kenyamanan orang-orang disekitarnya. Dan ini tidak hanya sekali saja terjadi, hampir setiap hari. Aku heran.
***
       "Pagi Ra", ucap seorang teman dengan senyuman mengembang. "Pagi Fadil", aku membalas senyumnya dengan tulus. Masih dengan jarak beberapa meter, Fadil menoleh, memandangku yang masih terfokus membaca buku. "Ira,,novelnya bagus kan?", ucapannya membuyarkan konsentrasiku. "Oh,,iya bagus, makasih ya Dil", aku begitu tersipu menjawab pertanyaan itu, pertanyaan dari teman yang sudah kuanggap seperti abang. Sepuluh tahun telah merubahnya, baik dari segi penampilan dan juga perkataan. Aku senang, karena akhirnya ia dapat meninggalkan kecanduan yang dulu pernah dia bilang "Sulit Ra, aku tidak bisa lepas dari ini", ungkapnya kepadaku dengan nada gemetar. 
      
Kertas-kertas menumpuk menjadi satu dihadapanku. Akhirnya semua pekerjaan dapat aku selesaikan. Fyuh,,,kurapikan meja dan barang-barang bersiap untuk pulang, tiba-tiba Fadil datang dan menyodorkan tas cokelat yang sedari tadi ia genggam, "Ira,,aku titip bingkisan buat Ibu kamu. Salam buat beliau, aku minta maaf karena hari ini tidak bisa datang ke rumah", Fadil berkata apa adanya. Aku mengangguk untuk meng-iyakan walaupun dalam benakku keluar beribu pertanyaan, namun pada kenyataannya aku tak sanggup mengungkapkan dan hanya akan terpendam entah sampai kapan. "Iya,,In Syaa Allah aku sampaikan", aku tersenyum sekaligus berpamitan untuk pulang. Kami pun berpisah ditengah keriuhan suasana kantor menjelang petang.
***
         Nafasku berhembus tak beraturan, dadaku begitu sesak tak tertahankan, leherku seperti tercekik. "Astaghfirullah nak,,,kamu kenapa?" Ibu sangat panik melihatku terkapar di lantai menangis-nangis menahan sakit, ingin berbicara namun tak bisa. Segera aku dilarikan kerumah sakit terdekat untuk diberikan pertolongan.
         
Dua hari aku berbaring tak sadarkan diri pasca operasi. Ku buka mataku perlahan, langit-langit adalah pemandangan pertama yang tertangkap mata lembam yang sudah lama terpejam. Senang rasanya bisa kembali membuka mata, walaupun pada akhirnya aku harus kehilangan satu hal yang sangat berharga. Kanker tenggorokan telah merenggut pita suara sehingga kini aku tidak lagi dapat berbicara. Sedih rasanya saat pertama kali berusaha mengucap sepatah kata untuk memanggil Ibunda, namun hasilnya malah aku menangis sejadi-jadinya. 
Aku bukanlah seorang perokok, namun mengapa aku yang harus terkena imbas dari kebiasaan yang sama sekali tidak pernah aku lakukan? Mengapa tidak mereka saja? Ingin sekali aku mengatakan ini, "Jika anda tetap ingin menghisap benda itu, mohon asapnya jangan diumbar-umbarkan karena akan merusak kesehatan, jika anda masih saja menyangkal, maka saya sarankan kepada anda untuk menelan asapnya sekalian agar anda lebih dapat 'menikmatinya'."
         
Aku banyak belajar dari pengalaman, kehilangan suara bagiku bukanlah akhir dari segalanya, meski sempat terpukul untuk pertama kalinya. Aku mengidap kanker tenggorokan karena kebiasaan yang tidak pernah aku lakukan. Aku hanyalah salah seorang yang tanpa sengaja menghirup umbaran asap dari sebuah benda yang umum dikenal, benda yang akan membunuh perlahan. Ya, rokok. Benda yang membuat Fadil kecanduan dan sulit sekali untuk melepaskan. Aku bersyukur masih diberikan kesempatan menghirup udara segar, belajar dari pengalaman, aku hanya berpesan, "cukup aku yang merasakan, aku tidak ingin ada yang mengalaminya lagi, cukup aku saja yang tahu rasanya kehilangan suara."

-Dikutip dari sebuah kisah nyata- 

Rabu, 11 November 2015

CINTA DALAM ARTIAN SESUNGGUHNYA



gambar kartun muslimah sedang berdoa


"Jika engkau mencari perempuan berparas menawan, aku mundur dari barisan paling depan, karena aku sadar, wajahku tak secantik yang engkau kriteriakan.

Jika engkau mencari perempuan dengan harta yang bergelimang, aku juga merasa tidak pantas untuk tetap berdiri mempertahankan barisanku walau bukan yang terdepan, karena hidup yang aku jalani penuh dengan kesederhanaan.

Namun jika engkau mencari perempuan dengan keteguhan iman, aku masih belum dapat berjajar di barisan depan untuk saat ini, karena keimanan dalam hati belum sepenuhnya aku miliki. Tetapi dengan kriteria yang engkau tetapkan ini, aku akan berusaha untuk memperbaiki diri agar suatu hari nanti, aku dapat berdiri di depan barisan, bukan barisan terdepan."

Banyak saudara-saudari kita saat ini yang begitu muluk-muluk dalam menentukan kriteria pasangan hidup. Padahal belum tentu diri sendiri telah memenuhi kriteria sebagai calon pasangan ideal seperti kriteria yang telah ditentukan di awal.

Jika kecantikan yang menjadi pengukuran awal dalam mencari pasangan, Ingat! paras yang menawan akan lekang oleh zaman karena sejatinya ia pasti akan menua seiring dengan bertambahnya usia. Kulit yang lembut akan berubah menjadi keriput dan kecantikan akan pudar. Maka, tidak ada alasan bagi pasangan untuk berpaling meninggalkan.

Jika harta yang menjadi pengukuran awal dalam mencari pasangan, Ingat! ketentuan Allah tidak dapat disangka-sangka, maka apabila ("Kun Fa Yakun") harta benda hilang seketika tanpa sisa, sudah tidak heran jika perpisahan menjadi muara pelampiasan seluruh kekecewaan dua insan yang membangun rumah tangga hanya berlandaskan harta.

Lalu bagaimana cara menentukan kriteria pasangan ideal jika paras dan harta bukanlah ukuran yang utama?
Jawabannya singkat : KEIMANAN, karena dengan iman, seorang laki-laki atau perempuan pastilah dekat dengan Tuhan Semestsa Alam, kecintaan mereka kepada Rabbnya lebih besar dari kecintaan mereka kepada seorang hamba, dan disitulah makna cinta yang sesungguhnya.
Dan sejatinya wahai saudara/i, perlu kita ketahui bahwa cinta yang disatukan berlandaskan keimanan takkan pernah lekang oleh zaman, takkan pernah goyah oleh dahsyatnya terpaan badai kehidupan, karena keridhoan Allah yang selalu mereka harapkan, senantiasa menaungi mereka dalam perjalanan mengarungi samudra dengan bahtera rumah tangga menuju pelabuhan terakhir yang selalu di damba, yaitu surga-Nya. In Syaa Allah.