Sabtu, 20 Februari 2016

PERJUANGANNYA TIDAK SIA-SIA

Aula kampus ternama di Jakarta dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari ini adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas dan eksperimental yang begitu menguras  tenaga maupun pikiran, dan di hari inilah semua itu seolah terbayar.
Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar di setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah dan gelisah. Setengah jam berlalu, namun acara tak kunjung dibuka. Seorang pemuda terlihat berbeda dari yang lainnya, wajahnya tampak tak tenang, mungkin ada hal lain yang ia pikirkan. Ridwan, begitulah pemuda itu dipanggil oleh teman-temannya di kampus. Wajahnya tidak begitu tampan, namun perangainya mampu membuat setiap orang yang baru mengenalnya merasa segan. Karena selain pintar, ia juga sangat sopan dalam setiap tindakan serta perkataan. Tak jarang ia membuat heran teman-temannya karena dikerumuni banyak wanita, namun tak satupun dari mereka memikat hatinya, karena ia tetap teguh dengan prinsipnya “NO PACARAN, UNTIL HALAL”. Selain itu, Ridwan juga dikenal sebagai orang yang berkomitmen tinggi terhadap keinginan, terutama keinginan orang tuanya.
Arloji berwarna silver melingkar di pergelangan tangan kiri Ridwan, matanya yang tajam tidak lekang untuk terus memandangi jam tangan miliknya, ia terus menggerakkan kakinya tanda kecemasan mulai melanda. “Kenapa Wan?” tanya Sodik yang tengah duduk disebelahnya memastikan.“Aaa,,, Bapak gue belum dateng”, jawabnya sambil menoleh ke belakang.“Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?”, ujar Sodik dengan bahasa khas Jakartanya. Ridwan hanya mengisyaratkan dengan gelengan, karena ia tahu kalau hal itu tidak memungkinkan.
***
( Flash Back )
Saat itu, kira-kira enam bulan yang lalu. Hari masih sangat pagi, gulita pun masih menyelimuti tubuh-tubuh yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap sudut dunia mimpi. Sebuah kontrakan menyisakan temaram lampu pijar pada salah satu ruangan, kertas-kertas berserakan, layar laptop masih terbuka, seorang pemuda terkapar kelelahan didepannya. Tidak ada bantal yang menyangga, melainkan tangan kanan yang ia gunakan sebagai alas kepala, kacamata pun masih dikenakannya.
            “Ashalaatu khoirun..minan naum!!”, tak lama berselang, adzan subuh berkumandang, Ridwan terbangun dengan mata sembab, nampak kemerahan karena waktu tidurnya kurang. Sejenak ia terduduk diam, mengumpulkan nyawa yang masih melayang-layang, sebelum akhirnya ia beranjak pergi ke kamar mandi dan bergegas memenuhi panggilan ilahi, bergabung bersama para mujahid fi sabilillah untuk menunaikan sholat subuh berjama’ah.
***
            “Bismillah,,” kalimat itulah yang selalu Ridwan ucap sebelum melangkah meninggalkan rumah sederhana yang dikontraknya. Ia harus berangkat lebih pagi karena rutinitas yang selama ini tak pernah sekalipun ia lewati telah menanti. Senyumnya mengembang, penuh kebanggaan, rantang di tangannya sempat beberapa kali berdentang seiring dengan bertambahnya kecepatan langkah Ridwan.
            Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, satu jam sudah Ridwan menempuh perjalanan, menyusuri perkampungan kumuh di sudut Ibukota. Bau sampah menyeruak, namun bagi Ridwan bak aroma parfum nan semerbak, tak lagi menyiksa saluran nafasnya. Rumah sederhana berdinding anyaman bambu telah menumpu pandangan, bergegas pemuda bertubuh jangkung itu masuk ke dalam.
            Time is money, begitulah kira-kira pepatah memaparkan, 15 menit begitu cepat berlalu. Ridwan segera berpamitan, laki-laki paruh baya melepas kepergiannya melalui pintu reot yang setengah terbuka, membiarkan Ridwan mencium tangannya. Tepukan bangga mendarat di bahu Ridwan, seonggok senyuman benar-benar menjadi penyemangat belajar.
***
            “Bro,, ceileee. Dah kelar aja tu skripsi, mantap lah..”, kata Anton, sahabat karibnya memuji. Ridwan hanya membalas dengan senyuman, matanya menerawang langit-langit kantin yang lenggang, tangannya memainkan sedotan dalam gelas minuman, tanpa sadar bibirnya menyiratkan senyuman. “Woyy mas bro,, ngapain senyum-senyum sendiri?”, tanya Anton heran, khawatir sahabatnya kerasukan. “Enggak Ton, gue nggak nyangka aja udah mau wisuda. Tapi gue gak yakin, kalo semua itu bisa ngebuat orang tua bangga”, kata Ridwan dengan tatapan masih menerawang. Anton yang menangkap maksud sahabatnya terdiam sesaat, berpikir untuk memberikan saran yang tepat. Empat tahun bukan lagi waktu singkat bagi Anton untuk tahu seluk beluk sahabat karibnya itu. “Wan,, percaya deh, beliau pasti akan sangat bangga. Gue tau itu..”, tukas Anton sambil berlalu, meninggalkan Ridwan yang masih termangu.
            Mungkin belajar adalah hal yang paling membosankan bagi kebanyakan orang, namun tidak bagi Ridwan, seorang pemuda yang dibesarkan dari background keluarga serba kekurangan, mendapat kesempatan melanjutkan belajar ke jenjang perkuliahan adalah suatu kesyukuran. Berawal dari sebuah perlombaan yang diikutinya saat SMA, kecerdasannya benar-benar diatas rata-rata anak seusianya, luar biasa. Kesempatan mendapat beasiswa ditawarkan langsung oleh donatur penyelenggara perlombaan, kagum dengan kecerdasan Ridwan. Entah keturunan siapa, yang jelas membuat orang tuanya bangga.
Walaupun kuliah dengan beasiswa, namun biaya buku dan fasilitas yang wajib dimiliki adalah tanggungan sendiri. Beberapa kali Ridwan menolak, tidak enak hati memberatkan Bapak. Namun dengan lapang dada, beliau selalu menyemangati dan membesarkan hati anak semata wayangnya, seperti janjinya dulu sebelum istrinya meninggal dunia.
***
Rapat organisasi dakwah di kampus baru saja usai, terlihat beberapa aktivisnya keluar dari ruangan yang telah dijadikan kantor perkumpulan. “Akhi Ridwan, tadi ada pesan dari Pak Galih, katanya antum disuruh menghadap beliau setelah rapat”, ucap seorang akhwat kepada Ridwan yang tengah sibuk memilah dokumen-dokumen diatas mejanya. “Oh,, iya ukhti. Terimakasih”, balas Ridwan dengan senyum ramah. Ada sedikit masalah dengan percetakan majalah. Semenjak Ridwan cuti untuk menyusun skripsi, beberapa program kerja sempat ada kendala. Sebagai ketua, ia amat menyesal dan merasa menzalimi anggotanya, untuk itu Ridwan rela menyelesaikan semua, bahkan setelah matahari singgah ke pertapaannya, tertelan hari yang mulai gulita.
Dalam perjalanan, hati Ridwan gusar. Apa majalah yang dikonsepnya tidak memuaskan? Wah bahaya jika harus mengulang konsep serupa, masalahnya percetakan sudah menyanggupi minggu ini majalah sudah tercetak jadi. Hingga akhirnya pikiran kalut itu terhenti saat pagar besi setinggi dada tertangkap mata, tanpa ragu, Ridwan segera membukanya dan bergegas masuk.
Ridwan terdiam seribu bahasa, duduk termangu menatap cangkir teh di hadapannya. Tangannya berkumpul di atas paha, keraguan mulai melanda. “Gimana Mas??”, tanya Pak Galih penasaran dengan jawaban Ridwan. “Tapi, kalau boleh tau, kenapa Pak Galih memilih saya? Apa Bapak sudah tahu latar belakang saya?”, Ridwan kembali bertanya tak kalah penasaran. Pak Galih menghela nafas panjang, seperti tak rela jika harus melepas Ridwan, pemuda yang dianggapnya paling cocok bersanding dengan putrinya. “Mas Ridwan, saya sudah tahu semua latar belakang kamu, keluarga kamu. Tapi maaf, Irla belum pulang dari Surabaya, jadi belum bisa Bapak kenalkan langsung ke Mas Ridwan”, timpal beliau panjang. “Kalau begitu, bolehkah saya minta izin untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu? Karena saya tidak ingin tergesa-gesa, terutama hal ini juga menyangkut masa depan orang lain”. Senyum Pak Galih mengembang, pertanda meng-iyakan permintaan Ridwan.
***
            Seperti biasa, pagi-pagi sekali Ridwan telah siap dengan tangan menggenggam rantang berisi makanan. Menyusuri perkampungan kumuh menuju rumah Bapak yang tak jauh berbeda keadaannya, bahkan listrik pun tidak ada, untuk itulah mengapa Ridwan mengontrak rumah sederhana agar tidak menghambat kegiatan perkuliahan yang membutuhkan teknologi memadai di era globalisasi.
            Hening seisi ruangan, Bapaknya nampak sedang berpikir panjang, Ridwan hanya diam setelah mengutarakan tawaran Pak Galih kemarin malam. “Wan, kamu sudah besar, sudah waktunya memang, untuk mendapatkan pasangan. Bismillah, istikhorohkan dulu, minta yang terbaik. Bapak percaya sama kamu nak”. Jawaban gamblang yang cukup membulatkan tekad Ridwan.
***
( Hari-H wisuda )
“Berapa Pak?”, tanya seorang remaja yang baru turun dari becak.“Ndak usah neng”, jawab si tukang becak sembari menyiratkan senyuman diwajahnya yang mulai banyak kerutan pertanda usia tak lagi muda. “Loh, kok gitu Pak? Saya gak enak, kan jauh perjalanannya Pak”, tanya remaja itu kembali dengan nada tak mengerti. “Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya akan bersedekah dengan harta,, tidak apa-apa neng, saya ikhlas”, jawaban lelaki paruh baya itu sedikit menggantung, namun cukup menggetarkan nurani remaja putri yang berbusana rapi di depan kampus ternama di kota Jakarta. Pamflet-pamflet ucapan selamat atas wisuda angkatan ke-78 tersemat di gerbang kampus, menjadi pemandangan utama yang menyambut mata, Pak Karta pergi mengayuh becaknya, meninggalkan seulas senyuman di depan gerbang.
            “Jambret!!!”, pekikkan suara perempuan melengking tajam, sontak membuat Pak Karta menghentikan laju becak dan melompat mengejar laki-laki yang kencang berlari melewatinya tadi. Lima menit berlalu, aksi kejar mengejar itu tak kunjung usai. Akhirnya penjambret itu berhenti dan melakukan perlawanan terhadap Pak Karta yang sejak tadi mengejarnya tanpa henti. Tak tahu mengapa si penjambret lari begitu saja, meninggalkan tas yang dijambretnya setelah beberapa kali mencoba merobohkan Pak Karta. Ternyata beberapa warga berdatangan, perempuan pemilik tas tergopoh menghampiri Pak Karta yang tengah terduduk lelah. “Ini neng tasnya, lain kali hati-hati”, ucap beliau dengan berlinang peluh di dahi. Perempuan berjilbab lebar itu berekspresi lega, “Iya Pak, tadi ndak sadar soalnya baru datang juga dari luar kota. Sekali lagi makasih Pak”, ucapnya sembari menyodorkan beberapa lembar uang. “Iya neng sama-sama. Simpan saja uangnya, saya ikhlas membantu”, jawab Pak Karta dermawan.
***
            Sambutan dari rektor Universitas sedang berlangsung, seluruh wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama. “Saya bangga dengan satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.“Selain pandai, dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih tua. Dan saya lebih bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas tercinta kita tahun ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan maju kedepan”. Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan terkejut mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan selamat ia dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk berdekatan dengannya. Ia tak pernah menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pengorbanan yang ia jalani selama ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil”, gumamnya dalam hati sembari berjalan ke atas panggung menuju podium.
            “Terimakasih untuk semuanya, Bapak Rektor, para Dosen, dan teman-teman saya tentunya, terimakasih banyak. Saya tidak tahu harus bicara apa, saya sangat bersyukur perjuangan seseorang selama ini tidaklah sia-sia. Seseorang yang tak lain adalah Bapak saya sendiri. Terimakasih karena beliau telah banyak berkorban untuk menyekolahkan saya hingga  jenjang sarjana. Jujur, saya bukan anak orang kaya, Bapak saya hanya bekerja sebagai tukang becak yang setiap harinya bekerja bahkan saat akhir pekan tiba, beliau tetap bekerja”, 
Ridwan menyeka matanya sejenak sebelum melanjutkan kata-katanya. “Tak bosan-bosannya beliau berpesan, pesan yang membuat mata saya sedikitpun tak dapat terpejam ketika ada tugas yang belum terselesaikan. Beliau selalu mengatakan “Nak... Bapak ini orang bodoh, Bapak tahu dan merasakan pahitnya menjalani hidup dengan kebodohan, untuk itu Bapak tidak ingin kamu juga ikut merasakan apa yang selama ini Bapak rasakan, jangan sampai! Bapak mau kamu lebih dan lebih baik dari Bapak. Kuliah saja yang benar, fokus belajar, jangan pikirkan hal lain, karena Bapak pasti akan berusaha untuk mencari biaya, tidak usah khawatir karena Allah Maha Kaya”. Tak terasa air mata telah membanjiri pipinya, seisi aula trenyuh mendengar sambutan yang sama sekali tidak ada persiapan. Tepuk tangan mengiringi langkahnya menuruni anak tangga untuk kembali ke tempat duduknya.
            Matanya yang sembab menangkap bayangan seseorang yang sedari tadi ia bicarakan, tengah berdiri tepat di depan pintu aula menyaksikan putra semata wayangnya berbicara dengan senyuman bangga. Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta, matanya sayu menatap Ridwan yang tengah berlari dengan linangan air mata membasahi pipinya. Ridwan terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang bergetar berusaha mengucap kata-kata, “Terimakasih,,,, Bapak.” Pak Karta tidak membalas ucapan yang keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di bahu Ridwan menandakan bahwa beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepada putranya. Pemandangan itu membuat seisi aula dibanjiri air mata, menyaksikan bagaimana perjuangan keras seorang Bapak menyekolahkan anaknya bahkan hingga jenjang sarjana, berakhir bahagia. Pelajaran bagi mereka yang acap kali terlena dengan kenikmatan sesaat, lupa dengan seseorang yang sedang berjuang melunasi biaya perkuliahan yang amat mahal.
***
            Sorak sorai bergema, menggambarkan kebahagiaan tiada tara, toga-toga mereka lempar keudara. Ridwan bernafas lega, Anton datang menghampirinya dan seketika merangkul pundaknya, “Selfie...”, dan tawa pun pecah diantara keduanya. “Cepetan nyusul Ton”, ucap Ridwan mengingatkan. Anton hanya menimpali dengan ejekan, “siap Pak dosen!! Coba lu aja yang jadi pengampu skripsi gue,, bakal lain cerita nih”. Ridwan tertawa, “iye, lu bakal lulus ntar, semester 16 kalo gue yang ngampu”. Anton berdecak kesal dan menepuk bahu Ridwan seraya membisikkan sesuatu, “selamat lah mas bro, pokoknya gue harus diundang ya, hahaha”, ledek Anton sambil berlalu.
            Sesi perfotoan bersama keluarga dilanjutkan, dan kini giliran keluarga Ridwan. Pakaian kebesaran para sarjana dikenakannya, Pak Karta berdiri sejajar dengan Ridwan, mengembangkan senyuman setelah fotografer memberikan aba-aba, “1, 2, 3”. Pak Galih, Rektor Universistas dan putrinya, Irla, menghampiri Ridwan dan Pak Karta. Ternyata perempuan yang ditolong Pak Karta  pagi tadi tak lain adalah calon menantunya. Pertemuan dua keluarga itupun akhirnya terlaksana, rona bahagia terpancar dari setiap wajah, merekah bak bunga nan indah di musim semi yang cerah.
            Begitulah perjalanan kisah hidup Ridwan, anak tukang becak yang berjuang mati-matian membuat bangga orang tuanya. Bersyukur dan bersabar adalah dua kata yang dapat berbuah kemanisan pada akhirnya. Dan sejatinya, suatu kebahagiaan tidak serta merta dapat dirasakan dengan melimpahnya harta kekayaan. Namun, kebahagiaan hakiki hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mengamalkan dua kata sebelumnya, “SYUKUR dan SABAR”.
-TAMAT-





Kamis, 04 Februari 2016

BILA SAATNYA TIBA

Saat malam tiba
Bayangmu selalu ada
Entah mengapa
Sulit sekali untuk lupa

Sepuluh tahun bukan waktu singkat
Selalu dan selalu meratap
Menghempaskah tubuhku dalam gelap
Hatiku kalap

Terakhir kali aku melihat
Wajahmu amat pucat
Jantung tak lagi berdetak
Membuatku berharap, ini hanyalah mimpi sesaat

Aku rindu,,
Akan kasih sayangmu
Senyum tulusmu
Nasehat-nasehat pembangkit semangat darimu

Bila saat itu telah tiba
Hanya satu yang kupinta
Agar kita kembali bersama
Dipersatukan di dalam surga-Nya
#Aamiin