Aula kampus ternama di Jakarta dipenuhi
para mahasiswa bertoga, hari ini adalah ganjaran atas kerja keras mereka
menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya
mereka berkutat dengan tugas-tugas dan eksperimental yang begitu menguras
tenaga maupun pikiran, dan di hari inilah semua itu seolah terbayar.
Para Rektorat dan petinggi Universitas
duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar di setiap wajah,
hampir semuanya melupakan perasaan gundah dan gelisah. Setengah jam berlalu,
namun acara tak kunjung dibuka. Seorang pemuda terlihat berbeda dari yang
lainnya, wajahnya tampak tak tenang, mungkin ada hal lain yang ia pikirkan.
Ridwan, begitulah pemuda itu dipanggil oleh teman-temannya di kampus. Wajahnya
tidak begitu tampan, namun perangainya mampu membuat setiap orang yang baru
mengenalnya merasa segan. Karena selain pintar, ia juga sangat sopan dalam
setiap tindakan serta perkataan. Tak jarang ia membuat heran teman-temannya
karena dikerumuni banyak wanita, namun tak satupun dari mereka memikat hatinya,
karena ia tetap teguh dengan prinsipnya “NO PACARAN, UNTIL HALAL”. Selain itu,
Ridwan juga dikenal sebagai orang yang berkomitmen tinggi terhadap keinginan,
terutama keinginan orang tuanya.
Arloji berwarna silver melingkar di
pergelangan tangan kiri Ridwan, matanya yang tajam tidak lekang untuk terus
memandangi jam tangan miliknya, ia terus menggerakkan kakinya tanda kecemasan
mulai melanda. “Kenapa Wan?” tanya Sodik yang tengah duduk disebelahnya
memastikan.“Aaa,,, Bapak gue belum dateng”, jawabnya sambil menoleh ke
belakang.“Masih di jalan mungkin, gak lo telpon?”, ujar Sodik dengan
bahasa khas Jakartanya. Ridwan hanya mengisyaratkan dengan gelengan, karena ia
tahu kalau hal itu tidak memungkinkan.
***
( Flash Back )
Saat itu, kira-kira enam bulan yang
lalu. Hari masih sangat pagi, gulita pun masih menyelimuti tubuh-tubuh yang
tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap sudut dunia mimpi. Sebuah
kontrakan menyisakan temaram lampu pijar pada salah satu ruangan, kertas-kertas
berserakan, layar laptop masih terbuka, seorang pemuda terkapar kelelahan
didepannya. Tidak ada bantal yang menyangga, melainkan tangan kanan yang ia
gunakan sebagai alas kepala, kacamata pun masih dikenakannya.
“Ashalaatu khoirun..minan naum!!”, tak
lama berselang, adzan subuh berkumandang, Ridwan terbangun dengan mata sembab,
nampak kemerahan karena waktu tidurnya kurang. Sejenak ia terduduk diam,
mengumpulkan nyawa yang masih melayang-layang, sebelum akhirnya ia beranjak
pergi ke kamar mandi dan bergegas memenuhi panggilan ilahi, bergabung bersama para mujahid fi sabilillah untuk menunaikan sholat subuh berjama’ah.
***
“Bismillah,,” kalimat itulah yang selalu
Ridwan ucap sebelum melangkah meninggalkan rumah sederhana yang dikontraknya.
Ia harus berangkat lebih pagi karena rutinitas yang selama ini tak pernah
sekalipun ia lewati telah menanti. Senyumnya mengembang, penuh kebanggaan,
rantang di tangannya sempat beberapa kali berdentang seiring dengan
bertambahnya kecepatan langkah Ridwan.
Jarum
jam menunjukkan pukul tujuh pagi, satu jam sudah Ridwan menempuh perjalanan,
menyusuri perkampungan kumuh di sudut Ibukota. Bau sampah menyeruak, namun bagi
Ridwan bak aroma parfum nan semerbak, tak lagi menyiksa saluran nafasnya. Rumah
sederhana berdinding anyaman bambu telah menumpu pandangan, bergegas pemuda
bertubuh jangkung itu masuk ke dalam.
Time is money, begitulah kira-kira
pepatah memaparkan, 15 menit begitu cepat berlalu. Ridwan segera berpamitan,
laki-laki paruh baya melepas kepergiannya melalui pintu reot yang setengah
terbuka, membiarkan Ridwan mencium tangannya. Tepukan bangga mendarat di bahu
Ridwan, seonggok senyuman benar-benar menjadi penyemangat belajar.
***
“Bro,, ceileee. Dah kelar aja tu skripsi, mantap
lah..”, kata Anton, sahabat karibnya memuji. Ridwan hanya membalas dengan
senyuman, matanya menerawang langit-langit kantin yang lenggang, tangannya
memainkan sedotan dalam gelas minuman, tanpa sadar bibirnya menyiratkan
senyuman. “Woyy mas bro,, ngapain
senyum-senyum sendiri?”, tanya Anton heran, khawatir sahabatnya kerasukan. “Enggak Ton, gue nggak nyangka aja udah mau
wisuda. Tapi gue gak yakin, kalo semua itu bisa ngebuat orang tua bangga”, kata
Ridwan dengan tatapan masih menerawang. Anton yang menangkap maksud sahabatnya
terdiam sesaat, berpikir untuk memberikan saran yang tepat. Empat tahun bukan
lagi waktu singkat bagi Anton untuk tahu seluk beluk sahabat karibnya itu. “Wan,, percaya deh, beliau pasti akan sangat
bangga. Gue tau itu..”, tukas Anton sambil berlalu, meninggalkan Ridwan
yang masih termangu.
Mungkin
belajar adalah hal yang paling membosankan bagi kebanyakan orang, namun tidak
bagi Ridwan, seorang pemuda yang dibesarkan dari background keluarga serba kekurangan, mendapat kesempatan
melanjutkan belajar ke jenjang perkuliahan adalah suatu kesyukuran. Berawal
dari sebuah perlombaan yang diikutinya saat SMA, kecerdasannya benar-benar diatas
rata-rata anak seusianya, luar biasa. Kesempatan mendapat beasiswa ditawarkan
langsung oleh donatur penyelenggara perlombaan, kagum dengan kecerdasan Ridwan.
Entah keturunan siapa, yang jelas membuat orang tuanya bangga.
Walaupun kuliah dengan beasiswa, namun
biaya buku dan fasilitas yang wajib dimiliki adalah tanggungan sendiri. Beberapa
kali Ridwan menolak, tidak enak hati memberatkan Bapak. Namun dengan lapang
dada, beliau selalu menyemangati dan membesarkan hati anak semata wayangnya,
seperti janjinya dulu sebelum istrinya meninggal dunia.
***
Rapat
organisasi dakwah di kampus baru saja usai, terlihat beberapa aktivisnya keluar
dari ruangan yang telah dijadikan kantor perkumpulan. “Akhi Ridwan, tadi ada
pesan dari Pak Galih, katanya antum disuruh menghadap beliau setelah rapat”,
ucap seorang akhwat kepada Ridwan yang tengah sibuk memilah
dokumen-dokumen diatas mejanya. “Oh,, iya ukhti. Terimakasih”, balas
Ridwan dengan senyum ramah. Ada sedikit masalah dengan percetakan majalah. Semenjak
Ridwan cuti untuk menyusun skripsi, beberapa program kerja sempat ada kendala.
Sebagai ketua, ia amat menyesal dan merasa menzalimi anggotanya, untuk itu
Ridwan rela menyelesaikan semua, bahkan setelah matahari singgah ke
pertapaannya, tertelan hari yang mulai gulita.
Dalam
perjalanan, hati Ridwan gusar. Apa majalah yang dikonsepnya tidak memuaskan?
Wah bahaya jika harus mengulang konsep serupa, masalahnya percetakan sudah
menyanggupi minggu ini majalah sudah tercetak jadi. Hingga akhirnya pikiran
kalut itu terhenti saat pagar besi setinggi dada tertangkap mata, tanpa ragu,
Ridwan segera membukanya dan bergegas masuk.
Ridwan
terdiam seribu bahasa, duduk termangu menatap cangkir teh di hadapannya.
Tangannya berkumpul di atas paha, keraguan mulai melanda. “Gimana Mas??”,
tanya Pak Galih penasaran dengan jawaban Ridwan. “Tapi, kalau boleh tau,
kenapa Pak Galih memilih saya? Apa Bapak sudah tahu latar belakang saya?”,
Ridwan kembali bertanya tak kalah penasaran. Pak Galih menghela nafas panjang,
seperti tak rela jika harus melepas Ridwan, pemuda yang dianggapnya paling
cocok bersanding dengan putrinya. “Mas Ridwan, saya sudah tahu semua latar
belakang kamu, keluarga kamu. Tapi maaf, Irla belum pulang dari Surabaya, jadi
belum bisa Bapak kenalkan langsung ke Mas Ridwan”, timpal beliau panjang. “Kalau
begitu, bolehkah saya minta izin untuk mempertimbangkannya terlebih dahulu?
Karena saya tidak ingin tergesa-gesa, terutama hal ini juga menyangkut masa
depan orang lain”. Senyum Pak Galih mengembang, pertanda meng-iyakan
permintaan Ridwan.
***
Seperti biasa, pagi-pagi sekali Ridwan telah siap dengan
tangan menggenggam rantang berisi makanan. Menyusuri perkampungan kumuh menuju
rumah Bapak yang tak jauh berbeda keadaannya, bahkan listrik pun tidak ada,
untuk itulah mengapa Ridwan mengontrak rumah sederhana agar tidak menghambat
kegiatan perkuliahan yang membutuhkan teknologi memadai di era globalisasi.
Hening seisi ruangan, Bapaknya nampak sedang berpikir
panjang, Ridwan hanya diam setelah mengutarakan tawaran Pak Galih kemarin malam.
“Wan, kamu sudah besar, sudah waktunya memang, untuk mendapatkan pasangan.
Bismillah, istikhorohkan dulu, minta yang terbaik. Bapak percaya sama kamu nak”.
Jawaban gamblang yang cukup membulatkan tekad Ridwan.
***
( Hari-H wisuda )
“Berapa Pak?”, tanya seorang remaja yang baru turun dari becak.“Ndak
usah neng”, jawab si tukang becak sembari menyiratkan senyuman diwajahnya
yang mulai banyak kerutan pertanda usia tak lagi muda. “Loh, kok gitu
Pak? Saya gak enak, kan jauh perjalanannya Pak”, tanya remaja itu kembali
dengan nada tak mengerti. “Mungkin kalau saya orang kaya neng, saya
akan bersedekah dengan harta,, tidak apa-apa neng, saya ikhlas”, jawaban
lelaki paruh baya itu sedikit menggantung, namun cukup menggetarkan nurani
remaja putri yang berbusana rapi di depan kampus ternama di kota Jakarta.
Pamflet-pamflet ucapan selamat atas wisuda angkatan ke-78 tersemat di gerbang
kampus, menjadi pemandangan utama yang menyambut mata, Pak Karta pergi mengayuh
becaknya, meninggalkan seulas senyuman di depan gerbang.
“Jambret!!!”, pekikkan suara perempuan
melengking tajam, sontak membuat Pak Karta menghentikan laju becak dan melompat
mengejar laki-laki yang kencang berlari melewatinya tadi. Lima menit berlalu,
aksi kejar mengejar itu tak kunjung usai. Akhirnya penjambret itu berhenti dan
melakukan perlawanan terhadap Pak Karta yang sejak tadi mengejarnya tanpa henti.
Tak tahu mengapa si penjambret lari begitu saja, meninggalkan tas yang dijambretnya
setelah beberapa kali mencoba merobohkan Pak Karta. Ternyata beberapa warga
berdatangan, perempuan pemilik tas tergopoh menghampiri Pak Karta yang tengah
terduduk lelah. “Ini neng tasnya, lain
kali hati-hati”, ucap beliau dengan berlinang peluh di dahi. Perempuan
berjilbab lebar itu berekspresi lega, “Iya
Pak, tadi ndak sadar soalnya baru datang juga dari luar kota. Sekali lagi
makasih Pak”, ucapnya sembari menyodorkan beberapa lembar uang. “Iya neng sama-sama. Simpan saja uangnya,
saya ikhlas membantu”, jawab Pak Karta dermawan.
***
Sambutan dari rektor Universitas sedang berlangsung, seluruh wisudawan dan
wisudawati mendengarkannya dengan seksama. “Saya bangga dengan satu
mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.“Selain pandai,
dia juga sangat santun terutama kepada orang yang lebih tua. Dan saya lebih
bangga lagi karena dia adalah lulusan terbaik Universitas tercinta kita tahun
ini dengan IPK tertinggi. Ridwan Khoirul Umam, silahkan maju kedepan”. Aula
riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Ridwan terkejut
mendengar namanya sendiri disebutkan, wajahnya tampak pucat, ucapan selamat ia
dapat dari teman-teman yang kebetulan duduk berdekatan dengannya. Ia tak pernah
menyangka akan diperlakukan teramat istimewa, pengorbanan yang ia jalani selama
ini membuahkan hasil, “Bapak, aku berhasil”, gumamnya dalam
hati sembari berjalan ke atas panggung menuju podium.
“Terimakasih
untuk semuanya, Bapak Rektor, para Dosen, dan teman-teman saya tentunya,
terimakasih banyak. Saya tidak tahu harus bicara apa, saya sangat bersyukur
perjuangan seseorang selama ini tidaklah sia-sia. Seseorang yang tak lain
adalah Bapak saya sendiri. Terimakasih karena beliau telah banyak berkorban
untuk menyekolahkan saya hingga jenjang sarjana. Jujur, saya bukan anak
orang kaya, Bapak saya hanya bekerja sebagai tukang becak yang setiap harinya
bekerja bahkan saat akhir pekan tiba, beliau tetap bekerja”,
Ridwan menyeka matanya sejenak sebelum melanjutkan
kata-katanya. “Tak bosan-bosannya beliau berpesan, pesan yang membuat
mata saya sedikitpun tak dapat terpejam ketika ada tugas yang belum
terselesaikan. Beliau selalu mengatakan “Nak... Bapak ini orang bodoh, Bapak
tahu dan merasakan pahitnya menjalani hidup dengan kebodohan, untuk itu Bapak
tidak ingin kamu juga ikut merasakan apa yang selama ini Bapak rasakan, jangan
sampai! Bapak mau kamu lebih dan lebih baik dari Bapak. Kuliah saja yang benar,
fokus belajar, jangan pikirkan hal lain, karena Bapak pasti akan berusaha untuk
mencari biaya, tidak usah khawatir karena Allah Maha Kaya”. Tak terasa
air mata telah membanjiri pipinya, seisi aula trenyuh mendengar sambutan yang
sama sekali tidak ada persiapan. Tepuk tangan mengiringi langkahnya menuruni
anak tangga untuk kembali ke tempat duduknya.
Matanya yang sembab menangkap bayangan seseorang yang sedari tadi ia bicarakan,
tengah berdiri tepat di depan pintu aula menyaksikan putra semata wayangnya
berbicara dengan senyuman bangga. Kemeja putih terbaik dikenakan Pak Karta,
matanya sayu menatap Ridwan yang tengah berlari dengan linangan air mata
membasahi pipinya. Ridwan terduduk memeluk kaki Bapaknya, bibirnya yang
bergetar berusaha mengucap kata-kata, “Terimakasih,,,, Bapak.” Pak
Karta tidak membalas ucapan yang keluar dari mulut putranya, hanya tepukan di
bahu Ridwan menandakan bahwa beliau merasa bangga, ya, sangat bangga kepada
putranya. Pemandangan itu membuat seisi aula dibanjiri air mata, menyaksikan
bagaimana perjuangan keras seorang Bapak menyekolahkan anaknya bahkan hingga jenjang
sarjana, berakhir bahagia. Pelajaran bagi mereka yang acap kali terlena dengan
kenikmatan sesaat, lupa dengan seseorang yang sedang berjuang melunasi biaya
perkuliahan yang amat mahal.
***
Sorak
sorai bergema, menggambarkan kebahagiaan tiada tara, toga-toga mereka lempar
keudara. Ridwan bernafas lega, Anton datang menghampirinya dan seketika
merangkul pundaknya, “Selfie...”, dan
tawa pun pecah diantara keduanya. “Cepetan
nyusul Ton”, ucap Ridwan mengingatkan. Anton hanya menimpali dengan ejekan,
“siap Pak dosen!! Coba lu aja yang jadi
pengampu skripsi gue,, bakal lain cerita nih”. Ridwan tertawa, “iye, lu bakal lulus ntar, semester 16 kalo
gue yang ngampu”. Anton berdecak kesal dan menepuk bahu Ridwan seraya
membisikkan sesuatu, “selamat lah mas
bro, pokoknya gue harus diundang ya, hahaha”, ledek Anton sambil berlalu.
Sesi
perfotoan bersama keluarga dilanjutkan, dan kini giliran keluarga Ridwan.
Pakaian kebesaran para sarjana dikenakannya, Pak Karta berdiri sejajar dengan
Ridwan, mengembangkan senyuman setelah fotografer memberikan aba-aba, “1, 2, 3”. Pak Galih, Rektor
Universistas dan putrinya, Irla, menghampiri Ridwan dan Pak Karta. Ternyata
perempuan yang ditolong Pak Karta pagi
tadi tak lain adalah calon menantunya. Pertemuan dua keluarga itupun akhirnya terlaksana,
rona bahagia terpancar dari setiap wajah, merekah bak bunga nan indah di musim
semi yang cerah.
Begitulah
perjalanan kisah hidup Ridwan, anak tukang becak yang berjuang mati-matian
membuat bangga orang tuanya. Bersyukur dan bersabar adalah dua kata yang dapat
berbuah kemanisan pada akhirnya. Dan sejatinya, suatu kebahagiaan tidak serta
merta dapat dirasakan dengan melimpahnya harta kekayaan. Namun, kebahagiaan
hakiki hanya dapat dirasakan oleh mereka yang mengamalkan dua kata sebelumnya,
“SYUKUR dan SABAR”.
-TAMAT-