Rabu, 21 Desember 2016
AYAH ^_^
Aku, punya mimpi.
Suatu hari, kutorehkan mimpi-mimpi itu di atas secarik kertas yang kemudian kulipat menjadi empat.
Ternyata memang benar, satu persatu mimpiku menjadi kenyataan, bukan lagi sekedar bayangan, sekedar angan yang nantinya hanya akan lapuk dalam pikiran, jika tidak ada usaha untuk merealisasikan.
Dulu, sewaktu pahlawanku, ayahku masih setia mengarahkan, "jadilah seorang dokter.." katanya sembari menemaniku bermain boneka, "biar bisa nyuntik?" timpalku dengan polosnya, dan beliau hanya tertawa. Di lain waktu, saat ayah mengajariku cara menarik pelatuk, dorr!! "jadilah seorang polisi.." katanya sembari mengelus rambutku, dan mengambil tembakan dari tanganku, "aku mau nembak orang jahat", timpalku dengan seringai lebar.
Kini, tak ada lagi cerita tentang kami, karena ayah telah jauh pergi.
Kini, aku harus menentukan langkahku sendiri, berdiri, dan berniat dalam hati.
Ayah, maaf jika aku tidak menjadi seorang polisi, karena aku sudah dapat menentukan jalanku sendiri.
Terimakasih, dulu telah mengajariku banyak hal dan tidak memanjakanku, dan terimakasih, telah menjadi ayahku. ^_^
Ayah, aku rindu.
Jumat, 18 November 2016
RENUNGAN DI KALA PETANG
Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa
motivasi terbesar anda?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab
seadanya, “Jangan pernah meratapi kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan
sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.”
Keheningan malam adalah suasana paling
menenangkan, karena di saat itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan
jangkrik di luar sana menjadi teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku
memilih untuk terjaga hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya
yang telah kukerjakan sejak lama.
Jam
dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala, jemariku dengan
lihai menari di atas keyboard, sesekali
ia terhenti, dan di situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan
beberapa tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak
sedikitpun lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di layar komputer kembali kubaca
dengan seksama, menelaah setiap kata untuk sekedar mendalami makna dari karya
yang telah kucipta.
Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang
lalu, dari sanalah bermula seluruh kisahku.
***
Semilir
angin menyibakkan kerudung panjang yang kukenakan, awan mendung menggelantung,
menampung beban yang tak lama lagi akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu
jejeran bangunan di bawah sana, sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak
berwarna kekuningan pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran
hangat mengalir di pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar
merekah yang tiba-tiba saja layu.
Kelebat
bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku terpuruk ke dalam
lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku merasa segala usaha
telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.
Air
mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersenggal menahan isak tangis
agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan mendung yang terus menerus
berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti suara guntur yang mulai
bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit, beberapa saat kemudian
hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja yang menjadi penghalang.
Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian hawa dingin mulai menusuk
hingga ke tulang.
Sore
itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta tujuan. Bersama
derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan. Namun tak lama
berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku terseret
seolah melayang.
***
Bingkai
piagam bertuliskan Siswa Teladan
terpampang di dinding ruang tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh
penghuni rumah itu. Jajaran piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah
lomba, membuat suasana ruangan kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama yang tertera di seluruh bingkai
piagam perlombaan, perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi
seorang penulis adalah cita-citaku dari dulu.
“Najma, kamu sudah yakin dengan
pilihanmu? Apa ndak sayang sama tawaran masuk ke Universitas besar?” Suara parau Ayah memecah
keheningan di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku
yang sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas
berbasis pesantren.
Televisi di ruang keluarga menyala, salah
satu kanal tengah menyiarkan sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota Aleppo, Suriah.
Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari menyebabkan ribuan
orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami
luka-luka.
“Najma
punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah satu Universitas
berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang
telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat” lanjutku dengan nada mantap.
Ayah
menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke arahku. Entah
sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku untuk masuk ke
Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah, untuk itu beberapa
hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan keluargaku. Pamanku
yang juga alumni dari Universitas itu ikut membujuk Ayah, bahkan paman sampai
bilang, jika Ayah tetap tidak mengizinkan, maka beliaulah yang akan membiayai
kuliahku di Universitas Darussalam.
“Pergilah
nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari mengelus pelan kepalaku.
Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu pula denganku.
***
Pintu
gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya nampak jelas
kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan menuju kesuksesan,
jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan sejajar dengan
bintang-bintang di angkasa luar.
“Bismillah”, ucapku sembari melangkah
memasuki pintu gerbang yang di desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi,
sinarnya terpancar menerangi seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran 1 x 2 m
bertuliskan Kawasan Wajib Berbusana
Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang, dalam benak aku bergumam penuh
keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah
Najma tidak salah jalan.”
Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi
barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas
Darussalam.
***
Tak
terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hariku terlewati dengan mudah, dan yang
terpenting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku
kewalahan, namun sebisa mungkin aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan
non-akademik. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang
seharusnya menjadi prioritas. Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
“Najma!”
seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku pun menoleh dan mencari asal suara,
nampak Ida, sahabat karibku tengah tergopoh berlari ke arahku.
“Congratulations
Najma! Your article was published in
the megazine of campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA, singkatan dari Majalah Lintas
Kampus. Aku tertawa melihat
ekspresi seseorang yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersenggal dan
wajah nampak kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar
kembali seperti sedia kala.
“Limaa tajriina? While I can know about it
later (Lagian kamu ngapain sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),”
ucapku sembari menyeringai lebar.
“That's
you. Not change, same as previous, never know how to say thanx (Gitu tuh,
kamu. Tetep aja kaya dua tahun sebelumnya, gak pernah tau caranya berterimakasih),”
ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan dua
bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
Pentingnya mempelajari dan menguasai dua
bahasa ini pernah dibahas dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one knows, about the
future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being visited Jerman
or USA for example, you can communicate with German and American people with english
language if you don’t know about the local language they have, because english
is the international language and both of them understand about it, except, u talk
english language to mute people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah
Arab, we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”
Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan
di Universitas Darussalam, konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari
keseharian mahasiswa, mulai dari makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap
mengusung istilah “ukhuwah”.
“Na’am,
syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah” dan seketika kami
berdua tertawa.
***
Announcement! To our beloved sister, she is
Najma Annisa, hope to come to BEM’s office after this announcement, exactly!
Suara bagian penerangan nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di laptop,
pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi kukerjakan.
Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran. “Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”
Kuterjang
panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan mengayuh pedal sepeda
semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan jauh dari kantor BEM.
“Najma,
besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar Jerman untuk Indonesia
di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan banggakan kampus putri kita
tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi gemilang yang telah kamu
persembahkan beberapa tahun terakhir untuk Universitas, jangan berpuas hati,
apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa
selaku ketua BEM di kampus UNIDA putri.
Aku hanya mengangguk pelan tanda
meng-iyakan. Menjadi satu-satunya delegasi merupakan kesempatan langka, untuk
itu aku harus menyiapkan segalanya dengan seksama.
***
Pamflet
besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar Jerman untuk
Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura. Hamparan sawah di sisi
kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat terkena sinar mentari yang
baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan menghilang seiring dengan
posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra dan kampus putri diperkirakan
mencapai 100 km atau membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan
dengan kendaraan darat. Mobil yang membawa delegasi dari kampus putri mulai
berjalan memasuki pintu gerbang.
Suasana
aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang sebentar lagi akan
dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya sedikit delegasi dari
kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa, sehingga tidak
membaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat kemudian, rombongan orang
berwajah kebarat-baratan memasuki ruang perkumpulan. Pembawa acara
mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.
Pukul 11 siang, acara berjalan dengan
lancar. Kesan pertama yang disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada
UNIDA adalah rasa kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas
Pesantren yang memiliki sistem pendidikan full
time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan dalam perkuliahan yang diberikan,
namun kegiatan sosial di luar perkuliahan juga diajarkan. Semua serba
terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi semboyan dalam kehidupan,
peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan antara anak menteri dan anak
petani, jika melanggar, maka sama-sama akan diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama
terhadap orang yang lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan
sekedar teori yang hanya mengendap dalam pikiran.
“At
least, I wanna make a student exchange betwen UNIDA and Freie Universität Berlin for one month. I need two student to
being the delegation for this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi
tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di aula.
Pergi
ke negara jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk menyusuri
jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan dan
pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh bangsa Barat.
Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada sangkut pautnya dengan agama,
sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan sesuatu untuk menghancurkan demi
perebutan kekuasaan. Lihat saja teror bom di Palestina dan Suriah yang terus
menerus menumpahkan darah, menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah.
Dengan
tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah satu mimpiku
dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai dengan kenyataan,
pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar akan diadakan
secepatnya, dan paspor menjadi syarat yang paling utama. Aku menghela nafas
panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
Hujan
turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar mengerikan.
Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik lenganku dengan kencang
mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk menahan kedinginan, tak ada
percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan
meratapi kegagalan?” ucapnya sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar
berusaha untuk menyadarkan.
“Masih banyak kesempatan Najma, dan
kesempatan itu takkan pernah ada jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!”
Teriak Ida diiringi suara guntur dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan
yang telah aku lakukan. Ya, tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele
adalah sifat yang harus kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang
kulakukan selama ini selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan
yang selama ini aku berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan
angin yang berembus menenangkan, “Gagal
menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena paspor???? Hmmm.. Ida
benar, masih banyak kesempatan.”
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan
renunganku. Api semangat yang hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun
tersenyum menatap Ida seraya berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu
ada di kala suka maupun duka J”.
***
Aula
kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu adalah ganjaran
atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih
empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan serta
eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan di hari itulah
seolah semua terbayar.
Para
Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan.
Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan
gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda dibuka.
Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman pemberian
beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara cuma-cuma dari
Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan wisudawati mendengarkannya
dengan seksama.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa
saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.
“Bukan karena kepandaian, namun karena
kegigihannya untuk meraih impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim
tulisan berupa artikel, opini, ke Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit
heran, kenapa harus Jerman? Ternyata setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai
cita-cita mulia yang juga menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi
ilmu pengetahuan yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah,
langsung saja kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju kedepan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan
yang saling bersahutan. Aku terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran
hangat tertahan di pelupuk mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan
menuju podium. Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata
Ida, “Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti
akan ada kemudahan.”
***
Malam
semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan sejak lama
akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di atas meja,
besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya, sekarang aku
adalah dosen tetap di Freie Universität
Berlin. Ternyata benar kata dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe,
seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach Berlin, so scheint es
Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di jalan. Cepat kembali ke
Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar,
satu pesan terpampang pada nyala layar.
Aku mengurungkan niat sejenak untuk
beranjak, rasa rindu membuncah dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang
saat ini berada di Berlin. Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed,
seorang muslim Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami
berdomisili di Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat
foto Fahma yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan
mereka berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau
memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan kisah
perjalananku “terdampar” sampai ke Jerman.
Najma : Oh, so
einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed entging ihr nicht ??? Gut,
morgen sehen, keinen lieblings rendang
gericht auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa
Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine,
lihat saja besok, tidak ada sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed
: Haha.. I really,,
really miss you my honey
Ahmed
: Love you so much
Ahmed
: Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali cinta, aku ingin makan rendang) \(^_^)/
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa
membaca pesan ketiga yang dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak
mata memilih untuk terpejam daripada mengambil air wudhu dan terbalut
kedinginan. Di atas sajadah panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air
mataku bercucuran saat mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan.
Betapa angkuhnya manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia beserta seluruh isinya.
Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-
: -
Senin, 07 November 2016
SEGENGGAM AMANAH
“Apa yang membawamu kembali ke tempat ini?”, Fatih membuka percakapan.
Dalam
gelap malam tanpa penerangan lampu pijar, kami duduk bersebelahan sembari
menjuntaikan kaki, mata kami menatap suasana bumi Darussalam yang dihiasi
lampu-lampu pada setiap sudut bangunan.
“Segenggam
amanah”, jawabku sembari menerawang langit malam bertabur bintang. Sesekali
angin berembus kencang, menyibakkan sorban putih bercorak hitam putih yang aku
kenakan.
“Tidakkah
kau ingin pulang Lif?”, tanya Fatih kembali dengan nada sumbang.
Aku
hanya menyunggingkan senyuman. Fatih menatapku heran dan untuk beberapa saat
kami berdua terdiam, kedinginan menembus hingga ke tulang.
Sepuluh
tahun berlalu semenjak aku dan Fatih mematri sebuah janji, ya, janji untuk kembali
ke tempat ini. Dari atap gedung Saudi inilah, bermulanya sebuah kisah.
***
Saat itu, kira-kira sepuluh tahun
yang lalu, hari masih sangat pagi, gulita pun menyelimuti jiwa-jiwa yang tengah
berpetualang mengitari setiap sudut dunia mimpi.
Allahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Adzan
subuh berkumandang, mencoba membangunkan setiap jiwa yang merasa tenang, dalam
balutan selimut penuh kehangatan. Di ruangan berukuran 7 x 8 m, dua puluh lima
santri masih terlelap di atas kasur busa setebal 5 cm. Sayup-sayup terdengar
suara gebrakan kasar, berurutan mulai dari kamar yang paling dekat dengan
tangga asrama lantai dua.
Semakin
lama, suara itu semakin mendekat, brak..brak..brak..
tongkat bagian keamanan mendarat di pintu kamar, berulang-ulang, membuat
mimpiku buyar dan seketika terduduk dalam keadaan setengah sadar.
“Qum!!
Qum!! Idzhab ilal masjid!! (Bangun!! Bangun!! Pergilah ke masjid!!), dan
segera aku menyambar sarung yang tergantung di depan almari. Gerakan kami di
pondok ini harus extra cekatan,
sekali susah dibangunkan, sudah pasti akan dimandikan oleh bagian keamanan, langsung
di atas kasur yang jauh dari kata tebal.
Tak ada yang lebih menentramkan kecuali
suasana masjid Darussalam saat fajar menjelang. Di sanalah aku menemukan sesuatu
yang lain, sesuatu yang mebuatku bertahan hingga sekarang. Masih jelas
tergambar dalam memori ingatan, aku merasa telah dibuang. Tak sayang lagikah
Ayah dan Ibu kepadaku? Dalam balutan gulita aku mengadukan segalanya, kepada
Dzat Yang Maha Mendengar setelah sholat fajar.
***
“Ibu.. aku mau pulang, gak betah..”,
aku terisak dalam bilik telepon, butiran hangat terus menganak sungai di pipiku.
Antrean di wartel sangatlah panjang, namun sama sekali tak kuhiraukan. Saat itu,
tak ada lagi yang aku pikirkan selain pulang, pulang dan pulang.
“Coba dulu seminggu, nanti kalau
masih belum betah bisa pulang”, kata Ibu berusaha meyakinkanku.
Satu
minggu berlalu, aku menagih janji Ibu tempo hari, namun sama sekali tak kudapati.
Hanya jawaban sama yang kudapat pada minggu-minggu setelahnya, sampai aku bosan
dan pada akhirnya memilih untuk bertahan.
Langit siang nampak begitu cerah, terlihat
di bawah sana, para santri berlari-lari kecil sembari membawa alat makan menuju
dapur umum. Antrean yang sangat panjang terkadang membuatku memilih untuk tidak
makan dan pergi ke tempat ini, ya, atap gedung Saudi. Tempat yang menjadi saksi
sebuah perjuangan, perjuangan yang teramat berat aku rasakan, bak merangkak
mencari mata air di tengah gurun yang gersang, nanar mata ini tuk menatap ke
depan, hilang arah serta tujuan.
“Sedang apa?”
Suara itu membuyarkan lamunanku, tak
biasanya ada orang lain disini, selain hanya aku seorang diri, termenung dan
kadang mengabadikan pengalaman sehari-hari dalam bentuk tulisan.
“Sedang menulis”, jawabku singkat.
Itulah kali pertama aku bertemu
dengannya, Muhammad Al-Fatih, seseorang yang kuanggap sahabat hingga sekarang. Pondasi
persahabatan kami sederhana saja, ya, hobi yang sama. Dulu, setiap selesai
belajar kami selalu duduk menatap wajah malam, terkadang purnama nampak
bersinar terang diantara kemerlip ribuan bintang, tempat kami menggantungkan
mimpi-mimpi serta harapan.
***
Teng...teng...teng...
Suara lonceng besar menggema ke
seluruh penjuru pesantren, pukul tujuh tepat. Gedung-gedung asrama nampak sepi
seperti tak berpenghuni, hanya beberapa santri yang memang sedang piket
terlihat sibuk menyapu dedaunan di halaman. Gedung asrama terletak berjajar
seperti kompleks perumahan, masing-masing mempunyai halaman dengan pepohonan
rindang. Jalan lebar di tengah jajaran gedung asrama tak beraspal, hanya tanah
yang pada musim hujan akan berubah menjadi genangan. Sudah tak terhitung berapa
kali aku harus membeli alas kaki saat musim hujan, dan yang aku heran, hanya
tersisa satu bagian, entah itu kiri maupun kanan. Mungkin terselip di selokan.
Hahaha,
sungguh nostalgia yang menyenangkan.
“Man
saaro ‘alaa darbi washola”
Samar-samar suara teriakan terdengar
serentak dari sudut lain pesantren Darussalam, dengan semangat berkobar
kata-kata tersebut kembali diulang. Suasana kelas hening kala Ustadz
menjabarkan maksud dari kata mutiara yang mereka teriakan sebelumnya. Aku
menyimak dengan seksama, pesan yang terkandung di dalamnya sungguh membuatku
terkesima, “Barang siapa yang berjalan pada jalannya, sampailah ia”.
Energi positif
mengalir tiba-tiba, rasa tidak betah yang menyelimutiku hilang seketika. Aku
menghela nafas panjang, seulas senyuman kutunjukkan demi menyambut masa depan
gemilang.
“Alif sehat???” ledek Fatih yang
sedari tadi memperhatikan, matanya memerah dan hampir terpenjam, kebiasaannya
adalah mengantuk saat jam pelajaran pertama, dan aku tahu betul alasannya.
Aku
tertawa dan sedikit meninju bahu Fatih sembari berkata, “Tumben gak tidur Pak
Ustadz..” dan tawa kami pun bergelak.
“Al-waraa’,
lima tadzhakumaa? (Yang belakang, kenapa kalian berdua tertawa?)”, Ustadz
Ramli mengacungkan telunjuknya ke arah kami, disusul dengan perintah, “Ukhrujaa wa kumaa tahta dhiyai syams,
al’an!! (Keluar kalian berdua dan berdiri dibawah terik matahari,
sekarang!!)” tergopoh kami berdua keluar untuk mengerjakan hukuman, berani
berbuat, harus berani bertanggung jawab.
Hahaha, lagi-lagi nostalgia yang mengundang
tawa.
***
“Apa kau ingat Lif?”
“Apa?” kataku sembari mengalungkan
sorban hingga menutup setengah wajahku karena kedinginan.
“Aku sangat bersyukur memiliki
sahabat sepertimu, sahabat yang selalu ada bukan hanya di saat suka, namun saat
duka pun kau selalu ada, meskipun harus ikut memikul hukuman untuk kesalahan
yang sama sekali tidak kau lakukan”, suara Fatih parau.
Aku tersenyum di balik balutan
sorban seraya menepuk bahu Fatih untuk menyemangati, “Lupakan Fat! Jangan
ungkit masa lalu yang tidak menyenangkan, masa depan kita masih panjang, cukup
kamu jaga dan bimbing dek Isma dalam keistiqomahan. Masa lalu jangan dijadikan
ratapan, namun jadikanlah pelajaran. Jangan pernah mengulang kesalahan yang
sama untuk kedua kalinya.”
Kala
itu, sebuah peristiwa terpaksa membuat jeda, persahabatan yang kami jalin
bersama hampir saja tiba di penghujung masa. Peristiwa yang hingga kini menjadi
bayang-bayang dalam pikiran, namun demi menjaga perasaan Fatih, aku selalu
menyimpannya dalam diam, walaupun hati ini begitu perih menahan kekecewaan.
***
Matahari mulai menyongsong pagi,
perlahan gulita tersibak pancaran cahaya yang menyemburat di ufuk timur. Kemuning
padi memperindah pemandangan sisi belakang bumi Darussalam. Dari atas bukit
buatan aku termenung sendirian, di bawah gazebo bambu pena hitam mulai
kuayunkan, mengisi lembaran demi lembaran buku tulis yang semula putih tanpa
adanya coretan.
Burung-burung berkicauan riang,
terbang bergerombol saling mengejar, sesekali hinggap di dahan pohon yang
rindang. Pikiran dan tanganku bergerak seirama menciptakan sebuah karya, aku
menghela nafas panjang, sesak dada ini mengenang kejadian tempo hari. Aku
merasa telah gagal, amanah yang Ayah berikan tak dapat sepenuhnya aku emban.
Amanah untuk menjaga adikku Isma dalam keistiqomahan, seperti yang beliau
katakan sebelum meninggal. Usia kami berdua terpaut dua tahun, Isma berada di
pesantren yang sama, hanya saja berbeda lokasinya. Jarak pesantren Darussalam
putra dan putri adalah 100 km, seperti syarat yang dikemukakan oleh Trimurti
pendiri pesantren Darussalam. Peristiwa tak menyenangkan itu bermula saat aku
mengajak Fatih untuk menjenguk dek Isma di pondok putri.
Andaikata,
adalah suatu keputus asaan yang nyata. Namun apalah daya, nasi yang telah menjadi
bubur tidak dapat kembali dalam bentuk aslinya.
***
Ustadz Mustaqim terdiam setelah
beberapa saat naik pitam, tak henti mengintrogasi, memarahi, dan menasehati dua
orang santri yang telah melanggar peraturan sekaligus melakukan kesalahan
terbesar. Aku dan Fatih hanya tertunduk diam, tak ada pembelaan yang kami
lontarkan jika Ustadz bagian pengasuhan itu tak memperkenankan kami untuk
menjawab, karena semua itu adalah bagian dari nilai adab dan kesopanan.
“Alif, apa kamu tahu kalau ternyata
temanmu ini secara diam-diam menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan
ADIKMU yang saat ini berada di pondok putri?” Ustadz Mustaqim menekankan satu
kata yang membuat mataku terbelalak mendengarnya. Bagaikan disambar halilintar
di tengah siang tanpa adanya mendung ataupun hujan. Aku terdiam, hanya mengisyaratkan
gelengan sebagai jawaban.
Hari itu, kira-kira empat tahun yang
lalu, tepat seminggu setelah kami melalui ujian niha’iy atau ujian akhir KMI (Kulliyatul
Mu’allimin Al-Islamiyah). Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi,
seharusnya kami sedang tak sabar untuk menanti hari kelulusan, hari dimana air
mata kebahagiaan bercucuran. Sungguh bukan akhir seperti itu yang aku harapkan,
menangis dalam kepedihan karena harus pulang dengan tidak terhormat, diusir
karena telah melakukan maksiat. Pacaran dalam Islam adalah haram, begitu pula
di pondok ini, konsekuensi bagi si pelanggar adalah DIKELUARKAN.
***
Empat tahun sudah diri ini
kuabdikan, kepada pondok yang sudah mendidikku hingga menjadi seperti sekarang.
Tak cukup rasanya bila hanya melakukan pengabdian dan setelah itu pulang. Tiga
hari tiga malam aku meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mendengar, bersimpuh
di sepertiga malam hingga adzan subuh berkumandang.
Ramadhan tahun ini aku pulang,
senang rasanya dapat berkumpul kembali bersama mereka, keluargaku tercinta. Ibu
sedang sibuk dengan Alia, buah hati Fatih dan Isma. Dua tahun setelah peristiwa
pengusiran itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Aku menghargai
pertanggung jawaban yang Fatih berikan untuk menebus kekhilafan sekaligus
mengeratkan kembali tali persahabatan yang telah renggang semenjak kejadian.
Ibu melambaikan
tangannya kepadaku yang sedari tadi termangu di balik kelambu pintu ruang
tengah. Aku tersenyum sembari berjalan ke arah Ibu, gurat wajahnya semakin
menua, aku tak tega untuk mengutarakan niat yang telah membulat menjadi tekad.
“Ibu..”,
ucapku sedikit ragu.
“Iya
nak, ada apa?”, jawab Ibu sembari
memegang kedua tanganku.
“Apa
yang ingin kamu katakan?” tanya Ibu sedikit penasaran.
Aku
menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan, “Alif punya cita-cita bu,
cita-cita yang in syaAllah sangat mulia. Alif merasa apa yang pondok berikan
kepada Alif teramat besar, tak cukup jika hanya bentuk pengabdian sebagai
syarat pengambilan ijazah saja yang Alif lakukan, Alif ingin mengabdi secara
keseluruhan. Jika Ibu berkenan, bolehkah Alif mewakafkan diri kepada pondok?”
Kulihat
mata ibu berkaca-kaca, dielusnya kepalaku dengan penuh cinta. “Lif, Ibu bahagia
sekali kamu punya cita-cita yang sangat mulia. Ayahmu pasti bangga di alam sana.
Pergilah nak, Ibu tidak akan menyergah.”
Kubenamkan
wajah dalam pelukan Ibu, tangis bahagia pecah diantara kami berdua. Keesokan
harinya akupun kembali ke pondok setelah satu minggu lamanya menghabiskan waktu
bersama keluarga.
***
Aku
mematung di depan gerbang pesantren. Ke
Darussalam Apa Yang Kau Cari, itulah kalimat sambutan yang terpampang di
pintu gerbang, kalimat ini akan terus terpampang agar santrinya tahu, untuk apa
mereka datang ke Darussalam.
Pak
Kyai pernah berpesan dalam sebuah forum, “Ke Darussalam adalah untuk mencari
pendidikan dan pengajaran, karena Darussalam adalah tempat pendidikan mental
dan karakter. Di sinilah para santri akan dididik untuk menjadi seorang ulama’
yang intelek, bukan intelek yang tahu agama. Karena pemimpin harus mempunyai
kriteria pemimpin. Darussalam mencetak kader-kader pemimpin umat untuk kejayaan
bangsa, dari sinilah seorang pemimpin harus berani berkorban, berpikir keras,
bekerja keras, dan berdo’a keras”.
Tepat
adzan dhuhur berkumandang, para santri dengan pakaian rapi bergegas memenuhi
panggilan Ilahi. Kupandang bangunan
kokoh di depanku, muara pandangan yang takkan pernah lekang, akhirnya mimpi itu
menjadi kenyataan, mimpi yang tempo hari Allah berikan sebagai jawaban atas
do’aku di sepertiga malam.
Perlahan
kakiku melangkah, mendekati bangunan megah dengan susunan anak tangga tepat di
bagian tengahnya. Hatiku bergetar hebat, butiran bening tertahan di pelupuk
mata, inilah awal masa depan yang dahulu pernah aku cita-citakan, masa depan
gemilang. “Bismillah...”, lirihku
sembari memijaki satu persatu anak tangga menuju satu tempat bernuansa surga.
***
Jam tanganku menunjukkan pukul 11
malam, angin semakin berembus kencang. Kerikan jangkrik memecah keheningan, tak
ada percakapan, aku dan Fatih masih terdiam menatap langit malam.
“Ini janji kita sepuluh tahun lalu”,
aku mengeluarkan bingkisan dari balik jas hitam yang aku kenakan. Janji sepuluh
tahun itu adalah saling bertukar karya karena hobi yang sama. Sebuah buku bersampul
coklat muda dengan judul Segenggam Amanah
kusodorkan kepada Fatih.
“Sudah kuduga, kau memang hebat
kawan”, ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku tanda rasa bangga. Wajah tampannya
kembali cerah setelah beberapa saat merasa sangat bersalah.
“Where
is yours??”, tagihku seraya memincingkan alis.
“In
your mind”, Fatih tertawa lepas.
“Hahahaha...
aku hanya bercanda Lif. Tenang, sahabatmu ini bukan orang ingkar”.
“Allahumma ba’id bainaa minar riyaa’ ”,
ucapku dengan ekspresi sok datar. Fatih tak henti tergelak, membuatku terpaksa
meninju bahunya dengan sedikit kasar hingga ia mengaduh dan berhenti tertawa.
Akhirnya ia mengeluarkan sebuah buku tebal dari ranselnya. Sepenggal Cerita Di Lorong Pesantren, buku itu bersampul biru
dengan gambar masjid jami’ Darussalam terpampang di depannya, sebuah nama
terukir di sisi kiri bawah, Al-Fatih.
Aku tersenyum
bangga menerimanya.
Malam
ini telah menjadi saksi sebuah perjalanan, perjalanan penuh perjuangan. Banyak
gelombang yang harus kami terjang, lika liku kehidupan terus menghadang, namun
dengan niat dan tekad, akhirnya kami diberikan jalan sehingga dapat melewatinya
dengan lapang.
-TAMAT-
Minggu, 11 September 2016
LABUHAN CINTA PANGERAN SURGA
(Februari
2015)
“Apa kau ingin bukti?” tanya lelaki
berjaket hitam tebal itu meminta kepastian.
Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo, Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi ranting pohon yang gugur tak berdaun.
Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo, Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi ranting pohon yang gugur tak berdaun.
Lelaki berumur 22 tahun itu
mengehentikan langkah, sorot matanya nampak tajam dari balik bingkai kacamata. Kini
Anna berada beberapa langkah di depannya, pria keturunan Jepang- Indonesia itu
untuk beberapa saat memejamkan mata. Gadis bermata bulat, hidung mancung, dan
bentuk wajah oval khas penduduk Jepang itu membalikkan badan seraya menatap
pria yang berjarak beberapa depa darinya. Tak ada kata, hanya desiran angin
malam seakan menyampaikan gulana, putih salju menjadi saksi bisu.
***
(Flash
Back)
Mendung menggelantung, di luar jendela
kaca besar itu, butiran putih mulai turun dari langit Hokkaido setelah beberapa
bulan sebelumnya mengalami musim gugur. Di luar sana, beberapa anak kecil
berjaket tebal serta hat wool yang
menutup kepala menyambut datangnya musim salju. Seorang gadis berusia 25-an
kembali menatap kosong ke arah taman, nampak memperhatikan setiap gerik
anak-anak kecil yang sedang asyik berlarian di tengah rintik salju. Mata bulat
berlensa coklat menerawang ke arah langit, buku besar di hadapannya terbuka,
menggamblangkan sub judul yang mungkin sedang bergelayut memenuhi isi
pikirannya.
“Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.
“Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.
Filsafat dan Ilmu Budaya adalah
jurusan yang dipilih Nakagawa Anna, mahasiswi pascasarjana di Universitas
Hokkaido karena rasa ingin tahunya terhadap anutan manusia. Lahir di tengah
keluarga tak beragama membuat Anna tabu dengan hal-hal yang berbau kepercayaan.
Hujan salju mulai lebat, jam dinding terus berdetik, waktu menunjukkan pukul 8
pagi.
Tok..tok..tok
Terdengar
suara pintu kamar diketuk dari luar, Anna tak beranjak, geser sedikit dari
tempat duduknya pun tidak. Mata indahnya tetap asyik menatap suasana taman yang
mulai tampak putih terbalut salju.
***
Senyuman mengembang dari balik jas
hitam yang dikenakan. Winter coat
tebal berwarna coklat tua yang sedari tadi membungkus setengah tubuhnya telah
tersampir di sandaran kursi. Ruangan itu nampak sepi, tempat khusus para
pembicara untuk mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan para pendengar
dalam forum khusus seperti seminar dan bedah buku. Lelaki berkulit sawo matang
itu sedikit gugup, beberapa kali ia mondar-mandir di depan kaca sembari
membolak balikan secarik kertas di tangannya. Namun untuk beberapa saat ia
kembali terdiam, menatap kaca setinggi tubuhnya sembari menghela nafas panjang,
bayangan perempuan itu kembali muncul, tersenyum tulus seolah mengirimkan
semangat dari negeri seberang.
“Bismillah,”
lirihnya sebelum meninggalkan ruangan.
Pamflet-pamflet terpampang di depan
balai pertemuan Universitas Hokkaido. Di sana tertulis pengumuman
diselenggarakannya acara bedah buku karangan Fujisaki Hamada. Hamada, begitulah
panggilan akrab mahasiswa jurusan Sastra tahun kedua asal Indonesia. Di usia
yang masih muda bahkan terbilang belia itu, karya pertamanya telah mengundang
banyak perhatian dikarenakan alur cerita menarik yang memaparkan konsep
ketuhanan dalam Islam, hal tabu bagi sebagian besar penduduk Jepang kala itu.
Balai pertemuan kampus nampak ramai oleh
peserta bedah buku, Hamada melirik jam tangannya, pukul 8 tepat, segera ia
menyibak tirai merah yang menyekat panggung aula. Moderator berjas biru tua
menyambut gembira, disusul dengan gemuruh tepuk tangan dari para peserta.
***
“Apa kamu masih marah dengan Papamu
nak?” suara itu mengalun lembut di telinga Anna.
Diam, gadis itu masih diam menatap
ke luar jendela kaca, sepatah katapun tak keluar dari mulut mungilnya.
Perempuan setengah baya dengan pakaian kerja mendekati putri tercintanya,
mengelus pelan pundak yang masih terbalut piama.
“Sudahlah, lebih baik kamu siap-siap
berangkat ke kampus. Bukankah jadwalmu padat hari ini?” ucap Mamanya sembari
melangkah pergi.
Rasa kesal masih menyelimuti hati
yang rapuh, hati yang tak memiliki pendirian teguh, terdobrak oleh makian
angkuh. Gadis itu mulai beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan suasana
taman di balik kaca jendela. Beberapa orang berjaket tebal nampak berlalu
lalang, menerobos lebatnya salju demi memenuhi aktivitas yang tidak dapat
ditinggalkan, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.
Anna berjalan menyusuri jalan yang
mulai tertutup salju, sesekali tangannya membenarkan posisi ear muffs. Rambut hitam lurus tergerai
lebat dengan poni yang menyambangi dahi, overcoat
coklat membalut tubuh semampainya. Anna mempercepat langkah, hawa dingin
seakan menembus pakaian yang ia kenakan. Stasiun kereta cepat bawah tanah
menjadi tujuan utama, Anna harus mengejar kedatangan kereta jika ingin sampai
di kampus tepat waktu. Hari ini adalah hari menegangkan kedua baginya setelah
sidang skripsi, yaitu ujian Tesis Pascasarjana.
***
Wajah tampan blasteran Indonesia – Jepang
memancarkan keceriaan. Tutur kata Fujisaki Hamada benar-benar lembut dan sopan.
Pembawaan yang ramah khas penduduk Indonesia begitu kental ia praktekan dalam pengulasan
buku pertamanya yang berjudul, “Labuhan
Cinta Pangeran Surga”. Novel tersebut mengisahkan tentang pertemuan tak
terduga antara dua anak manusia yang berbeda etnis serta agama. Perpaduan kisah
cinta serta penjabaran tentang Islam di dalamnya, hampir saja menggoyahkan hati
Hamada. Ia sempat takut bila karyanya tidak dapat diterima karena unsur
keagamaan yang menonjol. Jepang memang terkenal dengan tingkat toleransi
beragama yang tinggi, namun pada akhirnya ia mampu menapik kecemasan pada
dirinya sendiri. Sebuah janji telah menjadi tameng rasa takut yang sempat
menghantui, janji yang hingga kini pun belum ia yakini telah terlunasi.
Waktu begitu cepat berlalu, tak
terasa satu setengah jam yang diberikan hampir tiba pada titik penghabisan, hanya
beberapa menit tersisa untuk sesi pertanyaan. Penataan tempat duduk di Balai pertemuan berbanjar
setengah lingkaran. Tak lama berselang, peserta yang duduk di barisan depan
mengangkat tangan.
“Apa motivasi terbesar dalam hidup
anda?” tanya lelaki itu kepada pembicara.
“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara. Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia..” Hamada menjeda, setiap wajah terlihat bingung dibuatnya.
“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara. Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia..” Hamada menjeda, setiap wajah terlihat bingung dibuatnya.
“Ingin tahu caranya? Simple saja, yaitu dengan menjadi
seorang PENULIS” kata pemuda itu sembari menekankan kata terakhir pada
kalimatnya.
“Berkaryalah sebanyak-banyaknya, ciptakan
karya yang bermanfaat bila dibaca, sehingga nama si penulis akan tetap ada, dan
tetap hidup melalui tulisannya walaupun sejatinya ia tak lagi bernyawa. Guru
saya di Indonesia pernah berpesan, ‘Jika
kamu ingin mengenal dunia.. maka MEMBACALAH! Jika kamu ingin dikenal dunia..
maka MENULISLAH!’” perkataan Hamada diikuti gemuruh tepuk tangan yang
saling bersahutan, menggema hingga keluar aula, terbawa angin mengudara.
***
Bias hitam awan mendung membayang di langit
Jepang, menjatuhkan butiran putih nan menawan, namun dinginnya teramat menusuk
tulang. Es serut itu membuat licin jalanan. Gundah hati bukan karena ujian
Tesisnya, namun karena ada kekuatan luar biasa bergejolak kuat di hati Anna. Ia
terus menerobos butiran es yang turun dari gumpalan awan mendung. Wajahnya
pucat menahan kedinginan, hembusan nafas menguap, membentuk seperti gumpalan
asap.
“A’udzubillahi
minas syaithaanir rajim..”
Anna sontak menghentikan langkah, sayup suara
dalam bahasa yang tak dimengertinya tiba-tiba bertandang dalam sistem
pendengaran. Tak lantang, namun berhasil mencuri perhatian seserpih hati yang
tengah gusar. Anna mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Matanya bertumpu pada bangunan
kecil di seberang jalan, bangunan yang sekilas nampak seperti pertokoan.
“Tapi..
sebentar,” gumamnya pelan sembari memincingkan kelopak mata untuk
memperjelas pandangan. Nampak beberapa orang dengan pakaian yang menutupi
seluruh tubuh mereka mulai dari bagian kepala hingga ke bagian kaki masuk ke
dalam, Anna semakin penasaran. Ia pun memutuskan untuk segera menyeberang
jalan, melupakan ujian yang seharusnya ia kejar untuk mendapatkan gelar
Magister, impian sang Papa sekaligus hal yang menjadi pemicu ditabuhnya
genderang pertikaian dengan dirinya semalam.
***
Hamada kembali ke ruangan khusus
dengan lega. Ryuzuki, temannya membuntut di belakang, menepuk bangga pundak
sahabat karibnya. Beda agama tak menjadi masalah persahabatan yang telah
berlangsung semenjak semester awal perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas
Hokkaido, Jepang. Dari papan pengumuman penerimaan mahasiswa baru, terjalinlah
sebuah persahabatan. Ryu yang saat itu terlampau senang, tak sengaja merangkul
Hamada yang masih belum menemukan namanya dalam bahasa Jepang. Awkward, sejenak mereka berdua terdiam
sebelum akhirnya Ryu membungkukan badan, meminta maaf karena sembarangan
merangkul orang. Sungguh jalinan persahabatan yang teramat kebetulan.
“Selamat Hamada san, akhirnya mimpimu jadi kenyataan,” kata Ryuzuki bangga.
“Tidak Ryu kun, masih belum seberapa,” timpalnya sembari menyuguhkan senyuman
khas yang selama ini telah banyak memikat hati perempuan.
“Ah kau ini, selalu saja merendah.
Membuatku iri saja,” ucap Ryu sembari meninju pelan lengan Hamada.
Tiga tahun bersama, membuat Ryu tahu
segala sifat sahabatnya. Tak jarang ia menemani Hamada ke salah satu masjid di
dekat kampus mereka, dengan setia ia menunggu meskipun hanya di depan bangunan
peribadatan umat Islam itu. Terkadang, ia juga penasaran dengan Islam, Hamada
pun dengan sabar menjelaskan. Ryu sempat tertarik untuk masuk Islam, namun hidayah
hanya datang dari Tuhan Semesta Alam, Hamada juga tidak pernah memaksa karena
itulah yang diajarkan, masuk Islam bukanlah sebuah paksaan.
***
Anna telah sampai di seberang jalan,
kini tubuhnya tepat berada di pelataran bangunan yang tadi sempat mencuri fokus
pandangan. Suara itu semakin jelas terdengar, mengalun merdu, mendayu syahdu
melebihi alunan musik klasik dalam bahasa yang tak ia tahu.
Fa
biayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan...
Hati Anna berdebar kencang, terisak
ia mendengar lantunan syahdu dari dalam masjid yang diberi nama “Hikari Mosque”. Bangunannya bercat putih, tanpa
kubah, tulisan dalam bahasa Jepang yang disandingkan dengan ejaan bahasa
Indonesia menandakan bahwa bangunan tersebut adalah masjid, masjid yang
didirikan oleh kumpulan imigran Indonesia di Jepang. Entah kekuatan apa yang
membuat Anna ingin sekali masuk ke dalamnya. Perlahan ia melepas boots dan menaiki tiga anak tangga
menuju pintu geser dari kayu.
Halakah mingguan sedang berlangsung,
beberapa akhwat berjilbab lebar
berkumpul membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka dengan khidmat
melantunkan tilawah, suaranya begitu indah, menenangkan hati yang sedari tadi
gundah serta gelisah. Anna termangu di depan pintu, salah seorang akhwat menghampirinya seraya tersenyum
menyambut kedatangan Anna.
“Kyō
wa. Watashi wa anata ga tasukete tasukeru koto ga dekimasu ka? (Selamat
siang. Ada yang bisa dibantu?)” ucap Fatimah, seorang imigran Indonesia
menyapa.
Anna membalas senyum tulus perempuan
berjilbab merah muda dengan overcoat coklat
tua yang membalut tubuhnya, kain bermotif bunga-bunga terjuntai hingga
menyentuh lantai.
“Sore
wa watashi ga kōkishin tsukuranode, watashi wa, chōdo ima, hijō ni utsukushī
merodiasuna koe no kabu ni kyōmi o sosora remashita. Watashi wa anata ni sanka
suru koto ga dekimasu ka? (Saya tertarik dengan alunan suara merdu barusan,
sangat indah, sehingga membuat saya penasaran. Dapatkah saya bergabung dengan
kalian?)” timpal Anna dengan mimik wajah penuh harap.
***
Jepang, negara yang kaya akan
kebudayaan. Mayoritas penduduk Jepang percaya dengan ajaran nenek moyang,
Shinto dan Budha mendominasi unsur kepercayaan. Namun disamping itu, toleransi
beragama yang kuat membuat masyarakat negeri sakura tetap tentram meskipun
bertetangga dengan etnis beda agama sekalipun. Hal ini dikarenakan salah satu
pilar utama nilai-nilai budaya Jepang adalah wa (harmoni), selain kao
(reputasi), dan omoiyari (loyalitas).
Konsep wa mengandung makna menjaga
hubungan baik, dan menghindari ego individu.
Islam berkembang di Jepang sekitar
tahun 1877 ketika perang dunia kedua melalui hubungan diplomatik antara Jepang
dan Turki. Pada masa itu, tersebarlah kisah tentang Nabi Muhammad SAW dan agama
Islam yang telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Inilah yang membantu Islam
mendapatkan tempat tersendiri di kalangan penduduk negeri sakura meski hanya
sebagai sejarah kebudayaan dunia. Salah satu pemicu pesatnya perkembangan Islam
di Jepang adalah kelemahan hati masyarakatnya terhadap unsur-unsur kepercayaan.
Kebanyakan penduduk Jepang modern tidak lagi mementingkan unsur agama dan lebih
memilih untuk memikirkan kehidupan dunia. Meskipun kebanyakan penduduk Jepang
hanya hidup untuk dunia, namun sejatinya, kekosongan masih tetap ada dalam hati
mereka. Islampun hadir membawa cahaya sebagai pelita dalam ruang hati yang
semula gelap gulita.
Ponsel Hamada bergetar, satu pesan
diterima, tulisan “Ustadz Amran” tertera di layar telepon gengnggam. Ia segera
beranjak setelah memakai coat yang
tersampir pada sandaran kursi, Hamada lupa jika hari ini ia ada janji. Ryuzuki
terperanjat melihat sahabatnya meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa,
“Hamada san! Matte kudasai! (Tunggu!)”
***
Plakkk...
Sebuah telapak tangan besar mendarat di wajah Anna,
limbung tubuhnya menerima tamparan dari seorang laki-laki yang ia panggil
“Papa”. Anna tersungkur di depan sang Papa yang tengah murka dengan wajah merah
padam, kini tak hanya makian yang ia dapatkan namun juga dalam bentuk
kekerasan.
“Terlalu sempitkah jalan pikiranmu Anna??!!”
bentak tuan Nakagawa garang.
Pipi kanan Anna memerah, darah segar mengalir
dari ujung bibirnya. Diam, Anna hanya diam, tak menyangkal seperti malam
sebelumnya, hanya isak tangis dan bulir air mata membasahi selendang ungu yang
menutup seluruh helai rambutnya. Siang tadi, Anna mengambil keputusan terbesar
dengan bersyahadat di depan para jama’ah masjid tempat ia bertandang,
melabuhkan keyakinan pada Islam tanpa ragu dan unsur paksaan. Sebenarnya baik
Papa maupun Mamanya tak pernah mempermasalahkan perihal keyakinan, namun yang
membuat Papanya murka adalah kenyataan bahwa Anna meninggalkan ujian Tesis
Magisternya demi menjalankan sebuah ritual masuk Islam. Biaya perkuliahan di
Jepang terlampau mahal, sekali tidak mengikuti ujian, maka dapat dinyatakan
telah gagal dan harus mengulang.
Rasa kecewa terlanjur menyelimuti hati kedua
orangtua Anna, mereka merasa usaha banting tulang yang mereka lakukan sia-sia,
tak berguna. Puncak dari kemarahan tuan Nakagawa adalah pengusiran anak semata
wayangnya malam itu juga, tak peduli amukan badai salju di luar sana.
***
“Ibu selalu bilang, ‘Berjanjilah nak, kamu akan mewujudkan
cita-cita Ayahmu. Cita-cita yang kini hanya menjadi angan semata, karena sampai
kapanpun tak akan pernah menjadi nyata, kecuali jika seseorang mewujudkannya. Sebarkanlah agama Islam di
Jepang Ham, tanah kelahirannya..’.” Hamada mulai bercerita. Ayahnya adalah
seorang mu’alaf Jepang, Islam telah menerangi nurani yang semula kelam tanpa
sedikitpun cahaya iman. Tak disangka, perdebatan tentang penciptaan alam dengan
mitra kerja yang tak lain adalah Ibu Hamada menjadi perantara keislamannya.
Cita-cita terbesar tuan Fujisaki adalah mendakwahkan Islam di Jepang, namun
belum sempat mimpi itu terealisasi, sebuah kecelakaan menyisakan tangisan sang
istri yang tengah mengandung si buah hati.
Ruangan dengan lantai kayu itu
sejenak lenggang, tungku perapian di pojok ruangan berkobar, menjaga kehangatan
suhu di rumah kecil Ustadz Amran. Beberapa bingkai foto tergantung menghiasi
dinding ruang tamu. Hamada duduk beralaskan bantal khusus, tak ada kursi,
secangkir teh hangat tersaji. Perbincangan yang seharusnya siang tadi
terlaksana sempat tertunda karena Ustadz Amran diminta untuk menuntun syahadat
seorang perempuan Jepang yang ingin memeluk Islam.
“Tapi Ustadz, saya tidak tahu apakah
saya telah menepati janji itu, sedangkan pendalaman saya mengenai Islam pun
masih sangat kurang. Selama saya tinggal disini, hanya tulisan yang dapat saya
gunakan sebagai perantara dalam mendakwahkan Islam.” Sambung Hamada kemudian.
Lelaki berjanggut hitam itu menghela nafas panjang, “Nak
Ham, dakwah itu tidak hanya melalui lisan, namun juga bisa dengan tulisan.
Masalah kamu itu masih kurang dalam mendalami agamamu sendiri, bukankah
Rasululllah SAW telah bersabda : ‘Sampaikanlah
dariku (ilmu) walau hanya satu ayat’? Sampaikanlah nak, Bapak tahu kamu
mampu.” Pernyataan Ustadz Amran membuat Hamada mengangguk pelan, kegelisahan
dalam hatinya perlahan menghilang, bak menemukan setitik cahaya dalam gulita.
Ia lega, bahwa tulisan yang kini telah bibaca oleh sekian banyak orang juga
dapat menjadi perantara dakwah Islam. Tak terasa perbincangan selesai hampir larut
malam. Hamada pun segera pamit untuk pulang.
***
Angin bergemuruh riuh, butiran salju turun
dengan derasnya, langit malam menyuguhkan gulita. Suhu udara mencapai -5O
C, pakaian yang Anna kenakan tak mampu menangkal kedinginan yang hampir membekukan
seluruh persendian. Malam semakin larut, gadis bermata bulat dengan kulit yang
semula berwarna putih kekuningan berubah menjadi putih pucat bak mayat. Seketika
tubuhnya ambruk di atas hamparan salju, langit tak berbintang menjadi titik
tumpu pandangan sebelum akhirnya kelopak mata Anna terpejam, segalanya menjadi
gelap kemudian.
Sebuah sedan hitam melaju dengan
kecepatan standar menembus derasnya hujan es di kota Sapporo, musim dingin di
kota ini memang terkenal sangat extreme karena
kisaran titik bekunya dapat mencapai -5O C. Selajur kemudian mobil
itu berhenti, bunyi derit ban bergesek dengan licinnya jalanan. Dua orang
pemuda keluar tergesa setelah mendapati tubuh kaku yang hampir tertimbun
butiran salju. Salah satu dari mereka memegang tangan gadis malang itu, mencoba
memastikan pembuluh nadinya berdenyut pertanda bahwa ia masih hidup.
“Bagaimana??” tanya salah satunya
cemas.
“Dia masih hidup. Cepat kita
tolong!” ucap temannya memberi tahu.
Dengan segera mereka mengangkat tubuh beku
yang hampir kehilangan nyawa itu ke dalam mobil. Mobil pun kembali melaju,
namun kali ini dengan kecepatan hampir maksimal. Cahaya dari lampu rem
menghilang setelah mobil Ryuzuki melewati tikungan.
***
Hari masih sangat pagi, gulita pun
masih menyelimuti jiwa-jiwa yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap
sudut dunia mimpi.
“Allahu akbar!”
Sayup suara itu membuat Anna membuka kelopak
mata. Jarum infus tertancap di pergelangan tangan kanannya. Ia melihat seorang
pemuda tengah berdiri menjalankan sebuah ritus keagamaan beberapa meter dari bed tempat Anna terbaring. Gadis itu
mencoba menegakkan punggungnya, namun pening di kepala membuat ia tak dapat
menyeimbangkan posisi tubuh yang kini terbalut piama rumah sakit.
“Assalamu’alaikum
warahmatullah.. Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Pemuda itu menengadahkan kedua telapak tangan
seraya memejamkan mata, memanjatkan do’a - do’a kepada Sang Kuasa, Allah SWT.
Hati kecil Anna kembali bergetar, air mata berderai membasahi kedua pipinya.
“Apakah itu sebuah peribadatan dalam agama
Islam?” dengan suara pelan gadis itu menanyakan. Hamada yang telah selesai
menunaikan sholat subuhnya pun menoleh ke asal suara. Matanya seketika berbinar
mendapati gadis yang ditolongnya semalam telah sadar. Hamada tersenyum
meng-iyakan.
“Saya ingin menjalankan keyakinan yang telah
saya ikuti secara keseluruhan. Dapatkah anda menuntun saya untuk melakukan
ibadah itu?”
“Dengan senang hati,” senyuman mengembang di
bibir Hamada.
Pemuda tampan itu menuntun Anna untuk
menjalankan ibadah sholat subuh dengan posisi berbaring di atas tempat tidur.
Perlahan tangan lemas itu diangkatnya dan disejajarkan dengan telinga, Hamada
terus menuntun gerakan sholat Anna tanpa sedikitpun saling bersentuhan antara
keduanya. Nurani gadis itu benar-benar menemukan sebuah ketengangan yang tiada
tara, ketenangan yang baru kali pertama ia rasakan, menguraikan seluruh
pintalan benang kesedihan.
***
Dua minggu berlalu semenjak kejadian
malam itu. Ustadz Amran dan istrinya yang tak memiliki keturunan memutuskan
untuk mengangkat Nakagawa Anna sebagai putri mereka. Meski harus letih bekerja
dan berusaha, ia memutuskan untuk mengulang kembali program Magister yang
sempat dilewatkannya. Maklum saja karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh
Mama-Papanya.
“Tak apa,
aku pasti bisa tanpa mereka,” gumamnya sebelum melangkah meninggalkan rumah
sederhana milik orangtua angkatnya. Ia senang berada di rumah itu, rumah yang
seluruh kasih sayang tercurah, baik dari Ayah dan Ibu angkatnya dan juga..
seorang pemuda berdarah Jepang-Indonesia bernama Fujisaki Hamada selalu ada
untuk menjaganya, demikianlah kiranya petuah dari sang Ayah “Jaga Anna nak Ham”.
Kebetulan
mereka berdua berada di kampus yang sama, ya, Universitas Hokkaido. Mungkin
bedanya, Nakagawa Anna adalah mahasiswi pascasarjana, sedangkan Fujisaki Hamada
adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan jenjang sarjana.
***
(Februari
2015)
“Bukti apa?” Anna kembali bertanya.
“Bukti bahwa selain Ustadz Amran dan
Ustadzah Rahma, masih ada seseorang yang akan menyayangimu dengan penuh cinta
serta ketulusan.” Ucap lelaki itu mantap.
“Oh ya?? Apa kau sedang membicarakan
diri sendiri??” ucap Anna meledek laki-laki yang secara usia lebih muda
dibanding dirinya, namun sifat dan perkataan Hamada jauh lebih dewasa dari
Anna.
Hamada tertawa menaggapi kelakuan
gadis berkerudung biru muda di depannya, “Kau ini, selalu saja merusak
suasana”.
“Maukah kau menjadi bidadari surgaku,
Nakagawa Anna? Membangun sebuah mahligai bersama, mahligai yang akan membawa
kita hingga ke surga-Nya..” pertanyaan lelaki itu membuat Anna seketika
tersipu.
Desir angin seakan menyampaikan
sebuah jawaban, hamparan langit malam menjadi saksi terucapnya sebuah niatan
suci, niatan yang nantinya akan diucapkan sebagai ikrar di depan wali sang
gadis pujaan.
-TAMAT-
Langganan:
Postingan (Atom)