Rabu, 21 Desember 2016

AYAH ^_^


Aku, punya mimpi.
Suatu hari, kutorehkan mimpi-mimpi itu di atas secarik kertas yang kemudian kulipat menjadi empat.
Ternyata memang benar, satu persatu mimpiku menjadi kenyataan, bukan lagi sekedar bayangan, sekedar angan yang nantinya hanya akan lapuk dalam pikiran, jika tidak ada usaha untuk merealisasikan.

Dulu, sewaktu pahlawanku, ayahku masih setia mengarahkan, "jadilah seorang dokter.." katanya sembari menemaniku bermain boneka, "biar bisa nyuntik?" timpalku dengan polosnya, dan beliau hanya tertawa. Di lain waktu, saat ayah mengajariku cara menarik pelatuk, dorr!! "jadilah seorang polisi.." katanya sembari mengelus rambutku, dan mengambil tembakan dari tanganku, "aku mau nembak orang jahat", timpalku dengan seringai lebar.

Kini, tak ada lagi cerita tentang kami, karena ayah telah jauh pergi.
Kini, aku harus menentukan langkahku sendiri, berdiri, dan berniat dalam hati.
Ayah, maaf jika aku tidak menjadi seorang polisi, karena aku sudah dapat menentukan jalanku sendiri.
Terimakasih, dulu telah mengajariku banyak hal dan tidak memanjakanku, dan terimakasih, telah menjadi ayahku. ^_^
Ayah, aku rindu.

Jumat, 18 November 2016

RENUNGAN DI KALA PETANG



Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa motivasi terbesar anda?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab seadanya, “Jangan pernah meratapi kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.”
Keheningan malam adalah suasana paling menenangkan, karena di saat itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan jangkrik di luar sana menjadi teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku memilih untuk terjaga hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya yang telah kukerjakan sejak lama.
           Jam dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala, jemariku dengan lihai menari di atas keyboard, sesekali ia terhenti, dan di situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan beberapa tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak sedikitpun lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di layar komputer kembali kubaca dengan seksama, menelaah setiap kata untuk sekedar mendalami makna dari karya yang telah kucipta.
         Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, dari sanalah bermula seluruh kisahku.
***
         Semilir angin menyibakkan kerudung panjang yang kukenakan, awan mendung menggelantung, menampung beban yang tak lama lagi akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu jejeran bangunan di bawah sana, sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak berwarna kekuningan pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran hangat mengalir di pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar merekah yang tiba-tiba saja layu.  
       Kelebat bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku terpuruk ke dalam lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku merasa segala usaha telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.
         Air mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersenggal menahan isak tangis agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan mendung yang terus menerus berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti suara guntur yang mulai bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit, beberapa saat kemudian hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja yang menjadi penghalang. Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang.
            Sore itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta tujuan. Bersama derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan. Namun tak lama berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku terseret seolah melayang.  
***
      Bingkai piagam bertuliskan Siswa Teladan terpampang di dinding ruang tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh penghuni rumah itu. Jajaran piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah lomba, membuat suasana ruangan kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama yang tertera di seluruh bingkai piagam perlombaan, perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi seorang penulis adalah cita-citaku dari dulu.
“Najma, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa ndak sayang sama tawaran masuk ke  Universitas besar?” Suara parau Ayah memecah keheningan di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku yang sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas berbasis pesantren.
Televisi di ruang keluarga menyala, salah satu kanal tengah menyiarkan sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota Aleppo, Suriah. Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari menyebabkan ribuan orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami luka-luka.
       “Najma punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah satu Universitas berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat” lanjutku dengan nada mantap.
          Ayah menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke arahku. Entah sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku untuk masuk ke Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah, untuk itu beberapa hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan keluargaku. Pamanku yang juga alumni dari Universitas itu ikut membujuk Ayah, bahkan paman sampai bilang, jika Ayah tetap tidak mengizinkan, maka beliaulah yang akan membiayai kuliahku di Universitas Darussalam.
        “Pergilah nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari mengelus pelan kepalaku. Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu pula denganku.
***
           Pintu gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya nampak jelas kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan menuju kesuksesan, jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan sejajar dengan bintang-bintang di angkasa luar.
       “Bismillah”, ucapku sembari melangkah memasuki pintu gerbang yang di desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi, sinarnya terpancar menerangi seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran 1 x 2 m bertuliskan Kawasan Wajib Berbusana Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang, dalam benak aku bergumam penuh keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah Najma tidak salah jalan.”
Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas Darussalam.
***
          Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hariku terlewati dengan mudah, dan yang terpenting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku kewalahan, namun sebisa mungkin aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang seharusnya menjadi prioritas. Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
            “Najma!” seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku pun menoleh dan mencari asal suara, nampak Ida, sahabat karibku tengah tergopoh berlari ke arahku.
Congratulations Najma! Your article was published in the megazine of campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA, singkatan dari Majalah Lintas Kampus. Aku tertawa melihat ekspresi seseorang yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersenggal dan wajah nampak kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar kembali seperti sedia kala.
 “Limaa tajriina? While I can know about it later (Lagian kamu ngapain sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),” ucapku sembari menyeringai lebar.
That's you. Not change, same as previous, never know how to say thanx (Gitu tuh, kamu. Tetep aja kaya dua tahun sebelumnya, gak pernah tau caranya berterimakasih),” ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
Pentingnya mempelajari dan menguasai dua bahasa ini pernah dibahas dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one knows, about the future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being visited Jerman or USA for example, you can communicate  with German and American people with english language if you don’t know about the local language they have, because english is the international language and both of them understand about it, except, u talk english language to mute people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah Arab, we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”
Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan di Universitas Darussalam, konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari keseharian mahasiswa, mulai dari makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap mengusung istilah “ukhuwah”.
Na’am, syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah” dan seketika kami berdua tertawa.
***
           Announcement! To our beloved sister, she is Najma Annisa, hope to come to BEM’s office after this announcement, exactly! Suara bagian penerangan nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di laptop, pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi kukerjakan. Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran. “Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”
        Kuterjang panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan mengayuh pedal sepeda semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan jauh dari kantor BEM.
      “Najma, besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar Jerman untuk Indonesia di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan banggakan kampus putri kita tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi gemilang yang telah kamu persembahkan beberapa tahun terakhir untuk Universitas, jangan berpuas hati, apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa selaku ketua BEM di kampus UNIDA putri.
Aku hanya mengangguk pelan tanda meng-iyakan. Menjadi satu-satunya delegasi merupakan kesempatan langka, untuk itu aku harus menyiapkan segalanya dengan seksama.
***
        Pamflet besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar Jerman untuk Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura. Hamparan sawah di sisi kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat terkena sinar mentari yang baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan menghilang seiring dengan posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra dan kampus putri diperkirakan mencapai 100 km atau membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dengan kendaraan darat. Mobil yang membawa delegasi dari kampus putri mulai berjalan memasuki pintu gerbang.
            Suasana aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang sebentar lagi akan dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya sedikit delegasi dari kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa, sehingga tidak membaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat kemudian, rombongan orang berwajah kebarat-baratan memasuki ruang perkumpulan. Pembawa acara mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.
Pukul 11 siang, acara berjalan dengan lancar. Kesan pertama yang disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada UNIDA adalah rasa kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas Pesantren yang memiliki sistem pendidikan full time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan dalam perkuliahan yang diberikan, namun kegiatan sosial di luar perkuliahan juga diajarkan. Semua serba terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi semboyan dalam kehidupan, peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan antara anak menteri dan anak petani, jika melanggar, maka sama-sama akan diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama terhadap orang yang lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan sekedar teori yang hanya mengendap dalam pikiran.
At least, I wanna make a student exchange betwen UNIDA and Freie Universität Berlin for one month. I need two student to being the delegation for this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di aula.
            Pergi ke negara jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk menyusuri jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan dan pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh bangsa Barat. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada sangkut pautnya dengan agama, sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan sesuatu untuk menghancurkan demi perebutan kekuasaan. Lihat saja teror bom di Palestina dan Suriah yang terus menerus menumpahkan darah, menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah.
            Dengan tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah satu mimpiku dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai dengan kenyataan, pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar akan diadakan secepatnya, dan paspor menjadi syarat yang paling utama. Aku menghela nafas panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
        Hujan turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar mengerikan. Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik lenganku dengan kencang mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk menahan kedinginan, tak ada percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan meratapi kegagalan?” ucapnya sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar berusaha untuk menyadarkan.
“Masih banyak kesempatan Najma, dan kesempatan itu takkan pernah ada jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!” Teriak Ida diiringi suara guntur dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan yang telah aku lakukan. Ya, tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele adalah sifat yang harus kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang kulakukan selama ini selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan yang selama ini aku berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan angin yang berembus menenangkan, “Gagal menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena paspor???? Hmmm.. Ida benar, masih banyak kesempatan.”
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan renunganku. Api semangat yang hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun tersenyum menatap Ida seraya berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu ada di kala suka maupun duka J”.
***
         Aula kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan serta eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan di hari itulah seolah semua terbayar.
       Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda dibuka. Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman pemberian beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara cuma-cuma dari Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.
“Bukan karena kepandaian, namun karena kegigihannya untuk meraih impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim tulisan berupa artikel, opini, ke Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit heran, kenapa harus Jerman? Ternyata setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai cita-cita mulia yang juga menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah, langsung saja kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju kedepan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Aku terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran hangat tertahan di pelupuk mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan menuju podium. Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata Ida, “Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti akan ada kemudahan.”
***
         Malam semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan sejak lama akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di atas meja, besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya, sekarang aku adalah dosen tetap di Freie Universität Berlin. Ternyata benar kata dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe, seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach Berlin, so scheint es Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di jalan. Cepat kembali ke Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, satu pesan terpampang pada nyala layar.
Aku mengurungkan niat sejenak untuk beranjak, rasa rindu membuncah dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang saat ini berada di Berlin. Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed, seorang muslim Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami berdomisili di Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat foto Fahma yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan mereka berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan kisah perjalananku “terdampar” sampai ke Jerman.
Najma : Oh, so einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed entging ihr nicht ??? Gut, morgen sehen, keinen lieblings rendang gericht auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine, lihat saja besok, tidak ada sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed : Haha..  I really,, really miss you my honey
Ahmed : Love you so much
Ahmed : Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali cinta, aku ingin makan rendang) \(^_^)/
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa membaca pesan ketiga yang dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak mata memilih untuk terpejam daripada mengambil air wudhu dan terbalut kedinginan. Di atas sajadah panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air mataku bercucuran saat mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan. Betapa angkuhnya manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia beserta seluruh isinya. Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-






             





 

           : -
 


Senin, 07 November 2016

SEGENGGAM AMANAH



“Apa yang membawamu kembali ke tempat ini?”, Fatih membuka percakapan.
Dalam gelap malam tanpa penerangan lampu pijar, kami duduk bersebelahan sembari menjuntaikan kaki, mata kami menatap suasana bumi Darussalam yang dihiasi lampu-lampu pada setiap sudut bangunan.
“Segenggam amanah”, jawabku sembari menerawang langit malam bertabur bintang. Sesekali angin berembus kencang, menyibakkan sorban putih bercorak hitam putih yang aku kenakan.
“Tidakkah kau ingin pulang Lif?”, tanya Fatih kembali dengan nada sumbang.
Aku hanya menyunggingkan senyuman. Fatih menatapku heran dan untuk beberapa saat kami berdua terdiam, kedinginan menembus hingga ke tulang.
Sepuluh tahun berlalu semenjak aku dan Fatih mematri sebuah janji, ya, janji untuk kembali ke tempat ini. Dari atap gedung Saudi inilah, bermulanya sebuah kisah.
***
            Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, hari masih sangat pagi, gulita pun menyelimuti jiwa-jiwa yang tengah berpetualang mengitari setiap sudut dunia mimpi.
Allahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Adzan subuh berkumandang, mencoba membangunkan setiap jiwa yang merasa tenang, dalam balutan selimut penuh kehangatan. Di ruangan berukuran 7 x 8 m, dua puluh lima santri masih terlelap di atas kasur busa setebal 5 cm. Sayup-sayup terdengar suara gebrakan kasar, berurutan mulai dari kamar yang paling dekat dengan tangga asrama lantai dua.
Semakin lama, suara itu semakin mendekat, brak..brak..brak.. tongkat bagian keamanan mendarat di pintu kamar, berulang-ulang, membuat mimpiku buyar dan seketika terduduk dalam keadaan setengah sadar.
            “Qum!! Qum!! Idzhab ilal masjid!! (Bangun!! Bangun!! Pergilah ke masjid!!), dan segera aku menyambar sarung yang tergantung di depan almari. Gerakan kami di pondok ini harus extra cekatan, sekali susah dibangunkan, sudah pasti akan dimandikan oleh bagian keamanan, langsung di atas kasur yang jauh dari kata tebal.
            Tak ada yang lebih menentramkan kecuali suasana masjid Darussalam saat fajar menjelang. Di sanalah aku menemukan sesuatu yang lain, sesuatu yang mebuatku bertahan hingga sekarang. Masih jelas tergambar dalam memori ingatan, aku merasa telah dibuang. Tak sayang lagikah Ayah dan Ibu kepadaku? Dalam balutan gulita aku mengadukan segalanya, kepada Dzat Yang Maha Mendengar setelah sholat fajar.
***
            “Ibu.. aku mau pulang, gak betah..”, aku terisak dalam bilik telepon, butiran hangat terus menganak sungai di pipiku. Antrean di wartel sangatlah panjang, namun sama sekali tak kuhiraukan. Saat itu, tak ada lagi yang aku pikirkan selain pulang, pulang dan pulang.
            “Coba dulu seminggu, nanti kalau masih belum betah bisa pulang”, kata Ibu berusaha meyakinkanku.
Satu minggu berlalu, aku menagih janji Ibu tempo hari, namun sama sekali tak kudapati. Hanya jawaban sama yang kudapat pada minggu-minggu setelahnya, sampai aku bosan dan pada akhirnya memilih untuk bertahan.
            Langit siang nampak begitu cerah, terlihat di bawah sana, para santri berlari-lari kecil sembari membawa alat makan menuju dapur umum. Antrean yang sangat panjang terkadang membuatku memilih untuk tidak makan dan pergi ke tempat ini, ya, atap gedung Saudi. Tempat yang menjadi saksi sebuah perjuangan, perjuangan yang teramat berat aku rasakan, bak merangkak mencari mata air di tengah gurun yang gersang, nanar mata ini tuk menatap ke depan, hilang arah serta tujuan.
            “Sedang apa?”
            Suara itu membuyarkan lamunanku, tak biasanya ada orang lain disini, selain hanya aku seorang diri, termenung dan kadang mengabadikan pengalaman sehari-hari dalam bentuk tulisan.
            “Sedang menulis”, jawabku singkat.
            Itulah kali pertama aku bertemu dengannya, Muhammad Al-Fatih, seseorang yang kuanggap sahabat hingga sekarang. Pondasi persahabatan kami sederhana saja, ya, hobi yang sama. Dulu, setiap selesai belajar kami selalu duduk menatap wajah malam, terkadang purnama nampak bersinar terang diantara kemerlip ribuan bintang, tempat kami menggantungkan mimpi-mimpi serta harapan.
***
Teng...teng...teng...
            Suara lonceng besar menggema ke seluruh penjuru pesantren, pukul tujuh tepat. Gedung-gedung asrama nampak sepi seperti tak berpenghuni, hanya beberapa santri yang memang sedang piket terlihat sibuk menyapu dedaunan di halaman. Gedung asrama terletak berjajar seperti kompleks perumahan, masing-masing mempunyai halaman dengan pepohonan rindang. Jalan lebar di tengah jajaran gedung asrama tak beraspal, hanya tanah yang pada musim hujan akan berubah menjadi genangan. Sudah tak terhitung berapa kali aku harus membeli alas kaki saat musim hujan, dan yang aku heran, hanya tersisa satu bagian, entah itu kiri maupun kanan. Mungkin terselip di selokan.
Hahaha, sungguh nostalgia yang menyenangkan.
            “Man saaro ‘alaa darbi washola”
            Samar-samar suara teriakan terdengar serentak dari sudut lain pesantren Darussalam, dengan semangat berkobar kata-kata tersebut kembali diulang. Suasana kelas hening kala Ustadz menjabarkan maksud dari kata mutiara yang mereka teriakan sebelumnya. Aku menyimak dengan seksama, pesan yang terkandung di dalamnya sungguh membuatku terkesima, “Barang siapa yang berjalan pada jalannya, sampailah ia”.
Energi positif mengalir tiba-tiba, rasa tidak betah yang menyelimutiku hilang seketika. Aku menghela nafas panjang, seulas senyuman kutunjukkan demi menyambut masa depan gemilang.
            “Alif sehat???” ledek Fatih yang sedari tadi memperhatikan, matanya memerah dan hampir terpenjam, kebiasaannya adalah mengantuk saat jam pelajaran pertama, dan aku tahu betul alasannya.
Aku tertawa dan sedikit meninju bahu Fatih sembari berkata, “Tumben gak tidur Pak Ustadz..” dan tawa kami pun bergelak.
            “Al-waraa’, lima tadzhakumaa? (Yang belakang, kenapa kalian berdua tertawa?)”, Ustadz Ramli mengacungkan telunjuknya ke arah kami, disusul dengan perintah, “Ukhrujaa wa kumaa tahta dhiyai syams, al’an!! (Keluar kalian berdua dan berdiri dibawah terik matahari, sekarang!!)” tergopoh kami berdua keluar untuk mengerjakan hukuman, berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.
            Hahaha, lagi-lagi nostalgia yang mengundang tawa.
***
            “Apa kau ingat Lif?”
      “Apa?” kataku sembari mengalungkan sorban hingga menutup setengah wajahku karena kedinginan.
            “Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu, sahabat yang selalu ada bukan hanya di saat suka, namun saat duka pun kau selalu ada, meskipun harus ikut memikul hukuman untuk kesalahan yang sama sekali tidak kau lakukan”, suara Fatih parau.
            Aku tersenyum di balik balutan sorban seraya menepuk bahu Fatih untuk menyemangati, “Lupakan Fat! Jangan ungkit masa lalu yang tidak menyenangkan, masa depan kita masih panjang, cukup kamu jaga dan bimbing dek Isma dalam keistiqomahan. Masa lalu jangan dijadikan ratapan, namun jadikanlah pelajaran. Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.”
Kala itu, sebuah peristiwa terpaksa membuat jeda, persahabatan yang kami jalin bersama hampir saja tiba di penghujung masa. Peristiwa yang hingga kini menjadi bayang-bayang dalam pikiran, namun demi menjaga perasaan Fatih, aku selalu menyimpannya dalam diam, walaupun hati ini begitu perih menahan kekecewaan.
***
         Matahari mulai menyongsong pagi, perlahan gulita tersibak pancaran cahaya yang menyemburat di ufuk timur. Kemuning padi memperindah pemandangan sisi belakang bumi Darussalam. Dari atas bukit buatan aku termenung sendirian, di bawah gazebo bambu pena hitam mulai kuayunkan, mengisi lembaran demi lembaran buku tulis yang semula putih tanpa adanya coretan.
            Burung-burung berkicauan riang, terbang bergerombol saling mengejar, sesekali hinggap di dahan pohon yang rindang. Pikiran dan tanganku bergerak seirama menciptakan sebuah karya, aku menghela nafas panjang, sesak dada ini mengenang kejadian tempo hari. Aku merasa telah gagal, amanah yang Ayah berikan tak dapat sepenuhnya aku emban. Amanah untuk menjaga adikku Isma dalam keistiqomahan, seperti yang beliau katakan sebelum meninggal. Usia kami berdua terpaut dua tahun, Isma berada di pesantren yang sama, hanya saja berbeda lokasinya. Jarak pesantren Darussalam putra dan putri adalah 100 km, seperti syarat yang dikemukakan oleh Trimurti pendiri pesantren Darussalam. Peristiwa tak menyenangkan itu bermula saat aku mengajak Fatih untuk menjenguk dek Isma di pondok putri.
Andaikata, adalah suatu keputus asaan yang nyata. Namun apalah daya, nasi yang telah menjadi bubur tidak dapat kembali dalam bentuk aslinya.
***
            Ustadz Mustaqim terdiam setelah beberapa saat naik pitam, tak henti mengintrogasi, memarahi, dan menasehati dua orang santri yang telah melanggar peraturan sekaligus melakukan kesalahan terbesar. Aku dan Fatih hanya tertunduk diam, tak ada pembelaan yang kami lontarkan jika Ustadz bagian pengasuhan itu tak memperkenankan kami untuk menjawab, karena semua itu adalah bagian dari nilai adab dan kesopanan.
            “Alif, apa kamu tahu kalau ternyata temanmu ini secara diam-diam menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan ADIKMU yang saat ini berada di pondok putri?” Ustadz Mustaqim menekankan satu kata yang membuat mataku terbelalak mendengarnya. Bagaikan disambar halilintar di tengah siang tanpa adanya mendung ataupun hujan. Aku terdiam, hanya mengisyaratkan gelengan sebagai jawaban.
            Hari itu, kira-kira empat tahun yang lalu, tepat seminggu setelah kami melalui ujian niha’iy atau ujian akhir KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah). Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi, seharusnya kami sedang tak sabar untuk menanti hari kelulusan, hari dimana air mata kebahagiaan bercucuran. Sungguh bukan akhir seperti itu yang aku harapkan, menangis dalam kepedihan karena harus pulang dengan tidak terhormat, diusir karena telah melakukan maksiat. Pacaran dalam Islam adalah haram, begitu pula di pondok ini, konsekuensi bagi si pelanggar adalah DIKELUARKAN.
***
            Empat tahun sudah diri ini kuabdikan, kepada pondok yang sudah mendidikku hingga menjadi seperti sekarang. Tak cukup rasanya bila hanya melakukan pengabdian dan setelah itu pulang. Tiga hari tiga malam aku meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mendengar, bersimpuh di sepertiga malam hingga adzan subuh berkumandang.
            Ramadhan tahun ini aku pulang, senang rasanya dapat berkumpul kembali bersama mereka, keluargaku tercinta. Ibu sedang sibuk dengan Alia, buah hati Fatih dan Isma. Dua tahun setelah peristiwa pengusiran itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Aku menghargai pertanggung jawaban yang Fatih berikan untuk menebus kekhilafan sekaligus mengeratkan kembali tali persahabatan yang telah renggang semenjak kejadian.
Ibu melambaikan tangannya kepadaku yang sedari tadi termangu di balik kelambu pintu ruang tengah. Aku tersenyum sembari berjalan ke arah Ibu, gurat wajahnya semakin menua, aku tak tega untuk mengutarakan niat yang telah membulat menjadi tekad.
“Ibu..”, ucapku sedikit ragu.
Iya nak, ada apa?”, jawab Ibu sembari memegang kedua tanganku.
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Ibu sedikit penasaran.
Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan, “Alif punya cita-cita bu, cita-cita yang in syaAllah sangat mulia. Alif merasa apa yang pondok berikan kepada Alif teramat besar, tak cukup jika hanya bentuk pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah saja yang Alif lakukan, Alif ingin mengabdi secara keseluruhan. Jika Ibu berkenan, bolehkah Alif mewakafkan diri kepada pondok?”
Kulihat mata ibu berkaca-kaca, dielusnya kepalaku dengan penuh cinta. “Lif, Ibu bahagia sekali kamu punya cita-cita yang sangat mulia. Ayahmu pasti bangga di alam sana. Pergilah nak, Ibu tidak akan menyergah.”
Kubenamkan wajah dalam pelukan Ibu, tangis bahagia pecah diantara kami berdua. Keesokan harinya akupun kembali ke pondok setelah satu minggu lamanya menghabiskan waktu bersama keluarga.
***
Aku mematung di depan gerbang pesantren. Ke Darussalam Apa Yang Kau Cari, itulah kalimat sambutan yang terpampang di pintu gerbang, kalimat ini akan terus terpampang agar santrinya tahu, untuk apa mereka datang ke Darussalam.
Pak Kyai pernah berpesan dalam sebuah forum, “Ke Darussalam adalah untuk mencari pendidikan dan pengajaran, karena Darussalam adalah tempat pendidikan mental dan karakter. Di sinilah para santri akan dididik untuk menjadi seorang ulama’ yang intelek, bukan intelek yang tahu agama. Karena pemimpin harus mempunyai kriteria pemimpin. Darussalam mencetak kader-kader pemimpin umat untuk kejayaan bangsa, dari sinilah seorang pemimpin harus berani berkorban, berpikir keras, bekerja keras, dan berdo’a keras”.
Tepat adzan dhuhur berkumandang, para santri dengan pakaian rapi bergegas memenuhi panggilan Ilahi. Kupandang bangunan kokoh di depanku, muara pandangan yang takkan pernah lekang, akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan, mimpi yang tempo hari Allah berikan sebagai jawaban atas do’aku di sepertiga malam.
Perlahan kakiku melangkah, mendekati bangunan megah dengan susunan anak tangga tepat di bagian tengahnya. Hatiku bergetar hebat, butiran bening tertahan di pelupuk mata, inilah awal masa depan yang dahulu pernah aku cita-citakan, masa depan gemilang. “Bismillah...”, lirihku sembari memijaki satu persatu anak tangga menuju satu tempat bernuansa surga.
***
            Jam tanganku menunjukkan pukul 11 malam, angin semakin berembus kencang. Kerikan jangkrik memecah keheningan, tak ada percakapan, aku dan Fatih masih terdiam menatap langit malam.
            “Ini janji kita sepuluh tahun lalu”, aku mengeluarkan bingkisan dari balik jas hitam yang aku kenakan. Janji sepuluh tahun itu adalah saling bertukar karya karena hobi yang sama. Sebuah buku bersampul coklat muda dengan judul Segenggam Amanah kusodorkan kepada Fatih.
            “Sudah kuduga, kau memang hebat kawan”, ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku tanda rasa bangga. Wajah tampannya kembali cerah setelah beberapa saat merasa sangat bersalah.
            “Where is yours??”, tagihku seraya memincingkan alis.
            “In your mind”, Fatih tertawa lepas.
“Hahahaha... aku hanya bercanda Lif. Tenang, sahabatmu ini bukan orang ingkar”.
Allahumma ba’id bainaa minar riyaa’ ”, ucapku dengan ekspresi sok datar. Fatih tak henti tergelak, membuatku terpaksa meninju bahunya dengan sedikit kasar hingga ia mengaduh dan berhenti tertawa. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah buku tebal dari ranselnya. Sepenggal Cerita Di Lorong Pesantren, buku itu bersampul biru dengan gambar masjid jami’ Darussalam terpampang di depannya, sebuah nama terukir di sisi kiri bawah, Al-Fatih.
Aku tersenyum bangga menerimanya. 
Malam ini telah menjadi saksi sebuah perjalanan, perjalanan penuh perjuangan. Banyak gelombang yang harus kami terjang, lika liku kehidupan terus menghadang, namun dengan niat dan tekad, akhirnya kami diberikan jalan sehingga dapat melewatinya dengan lapang.
-TAMAT-




















           











Minggu, 11 September 2016

LABUHAN CINTA PANGERAN SURGA

(Februari 2015)
     “Apa kau ingin bukti?” tanya lelaki berjaket hitam tebal itu meminta kepastian.
Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo, Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi ranting pohon yang gugur tak berdaun.
     Lelaki berumur 22 tahun itu mengehentikan langkah, sorot matanya nampak tajam dari balik bingkai kacamata. Kini Anna berada beberapa langkah di depannya, pria keturunan Jepang- Indonesia itu untuk beberapa saat memejamkan mata. Gadis bermata bulat, hidung mancung, dan bentuk wajah oval khas penduduk Jepang itu membalikkan badan seraya menatap pria yang berjarak beberapa depa darinya. Tak ada kata, hanya desiran angin malam seakan menyampaikan gulana, putih salju menjadi saksi bisu.
***
(Flash Back)
      Mendung menggelantung, di luar jendela kaca besar itu, butiran putih mulai turun dari langit Hokkaido setelah beberapa bulan sebelumnya mengalami musim gugur. Di luar sana, beberapa anak kecil berjaket tebal serta hat wool yang menutup kepala menyambut datangnya musim salju. Seorang gadis berusia 25-an kembali menatap kosong ke arah taman, nampak memperhatikan setiap gerik anak-anak kecil yang sedang asyik berlarian di tengah rintik salju. Mata bulat berlensa coklat menerawang ke arah langit, buku besar di hadapannya terbuka, menggamblangkan sub judul yang mungkin sedang bergelayut memenuhi isi pikirannya.
     “Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.
     Filsafat dan Ilmu Budaya adalah jurusan yang dipilih Nakagawa Anna, mahasiswi pascasarjana di Universitas Hokkaido karena rasa ingin tahunya terhadap anutan manusia. Lahir di tengah keluarga tak beragama membuat Anna tabu dengan hal-hal yang berbau kepercayaan. Hujan salju mulai lebat, jam dinding terus berdetik, waktu menunjukkan pukul 8 pagi.
        Tok..tok..tok
Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar, Anna tak beranjak, geser sedikit dari tempat duduknya pun tidak. Mata indahnya tetap asyik menatap suasana taman yang mulai tampak putih terbalut salju.
***
       Senyuman mengembang dari balik jas hitam yang dikenakan. Winter coat tebal berwarna coklat tua yang sedari tadi membungkus setengah tubuhnya telah tersampir di sandaran kursi. Ruangan itu nampak sepi, tempat khusus para pembicara untuk mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan para pendengar dalam forum khusus seperti seminar dan bedah buku. Lelaki berkulit sawo matang itu sedikit gugup, beberapa kali ia mondar-mandir di depan kaca sembari membolak balikan secarik kertas di tangannya. Namun untuk beberapa saat ia kembali terdiam, menatap kaca setinggi tubuhnya sembari menghela nafas panjang, bayangan perempuan itu kembali muncul, tersenyum tulus seolah mengirimkan semangat dari negeri seberang.
          “Bismillah,” lirihnya sebelum meninggalkan ruangan.  
   Pamflet-pamflet terpampang di depan balai pertemuan Universitas Hokkaido. Di sana tertulis pengumuman diselenggarakannya acara bedah buku karangan Fujisaki Hamada. Hamada, begitulah panggilan akrab mahasiswa jurusan Sastra tahun kedua asal Indonesia. Di usia yang masih muda bahkan terbilang belia itu, karya pertamanya telah mengundang banyak perhatian dikarenakan alur cerita menarik yang memaparkan konsep ketuhanan dalam Islam, hal tabu bagi sebagian besar penduduk Jepang kala itu.
        Balai pertemuan kampus nampak ramai oleh peserta bedah buku, Hamada melirik jam tangannya, pukul 8 tepat, segera ia menyibak tirai merah yang menyekat panggung aula. Moderator berjas biru tua menyambut gembira, disusul dengan gemuruh tepuk tangan dari para peserta.
***
        “Apa kamu masih marah dengan Papamu nak?” suara itu mengalun lembut di telinga Anna.
          Diam, gadis itu masih diam menatap ke luar jendela kaca, sepatah katapun tak keluar dari mulut mungilnya. Perempuan setengah baya dengan pakaian kerja mendekati putri tercintanya, mengelus pelan pundak yang masih terbalut piama. 
            “Sudahlah, lebih baik kamu siap-siap berangkat ke kampus. Bukankah jadwalmu padat hari ini?” ucap Mamanya sembari melangkah pergi.
           Rasa kesal masih menyelimuti hati yang rapuh, hati yang tak memiliki pendirian teguh, terdobrak oleh makian angkuh. Gadis itu mulai beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan suasana taman di balik kaca jendela. Beberapa orang berjaket tebal nampak berlalu lalang, menerobos lebatnya salju demi memenuhi aktivitas yang tidak dapat ditinggalkan, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.
      Anna berjalan menyusuri jalan yang mulai tertutup salju, sesekali tangannya membenarkan posisi ear muffs. Rambut hitam lurus tergerai lebat dengan poni yang menyambangi dahi, overcoat coklat membalut tubuh semampainya. Anna mempercepat langkah, hawa dingin seakan menembus pakaian yang ia kenakan. Stasiun kereta cepat bawah tanah menjadi tujuan utama, Anna harus mengejar kedatangan kereta jika ingin sampai di kampus tepat waktu. Hari ini adalah hari menegangkan kedua baginya setelah sidang skripsi, yaitu ujian Tesis Pascasarjana.     
***
         Wajah tampan blasteran Indonesia – Jepang memancarkan keceriaan. Tutur kata Fujisaki Hamada benar-benar lembut dan sopan. Pembawaan yang ramah khas penduduk Indonesia begitu kental ia praktekan dalam pengulasan buku pertamanya yang berjudul, “Labuhan Cinta Pangeran Surga”. Novel tersebut mengisahkan tentang pertemuan tak terduga antara dua anak manusia yang berbeda etnis serta agama. Perpaduan kisah cinta serta penjabaran tentang Islam di dalamnya, hampir saja menggoyahkan hati Hamada. Ia sempat takut bila karyanya tidak dapat diterima karena unsur keagamaan yang menonjol. Jepang memang terkenal dengan tingkat toleransi beragama yang tinggi, namun pada akhirnya ia mampu menapik kecemasan pada dirinya sendiri. Sebuah janji telah menjadi tameng rasa takut yang sempat menghantui, janji yang hingga kini pun belum ia yakini telah terlunasi.
        Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa satu setengah jam yang diberikan hampir tiba pada titik penghabisan, hanya beberapa menit tersisa untuk sesi pertanyaan. Penataan  tempat duduk di Balai pertemuan berbanjar setengah lingkaran. Tak lama berselang, peserta yang duduk di barisan depan mengangkat tangan.
         “Apa motivasi terbesar dalam hidup anda?” tanya lelaki itu kepada pembicara.
“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara. Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia..” Hamada menjeda, setiap wajah terlihat bingung dibuatnya.
       “Ingin tahu caranya? Simple saja, yaitu dengan menjadi seorang PENULIS” kata pemuda itu sembari menekankan kata terakhir pada kalimatnya.
  “Berkaryalah sebanyak-banyaknya, ciptakan karya yang bermanfaat bila dibaca, sehingga nama si penulis akan tetap ada, dan tetap hidup melalui tulisannya walaupun sejatinya ia tak lagi bernyawa. Guru saya di Indonesia pernah berpesan, ‘Jika kamu ingin mengenal dunia.. maka MEMBACALAH! Jika kamu ingin dikenal dunia.. maka MENULISLAH!’” perkataan Hamada diikuti gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan, menggema hingga keluar aula, terbawa angin mengudara.
***
 Bias hitam awan mendung membayang di langit Jepang, menjatuhkan butiran putih nan menawan, namun dinginnya teramat menusuk tulang. Es serut itu membuat licin jalanan. Gundah hati bukan karena ujian Tesisnya, namun karena ada kekuatan luar biasa bergejolak kuat di hati Anna. Ia terus menerobos butiran es yang turun dari gumpalan awan mendung. Wajahnya pucat menahan kedinginan, hembusan nafas menguap, membentuk seperti gumpalan asap.
  “A’udzubillahi minas syaithaanir rajim..”
 Anna sontak menghentikan langkah, sayup suara dalam bahasa yang tak dimengertinya tiba-tiba bertandang dalam sistem pendengaran. Tak lantang, namun berhasil mencuri perhatian seserpih hati yang tengah gusar. Anna mengedarkan pandangan, mencari  sumber suara. Matanya bertumpu pada bangunan kecil di seberang jalan, bangunan yang sekilas nampak seperti pertokoan.
  “Tapi.. sebentar,” gumamnya pelan sembari memincingkan kelopak mata untuk memperjelas pandangan. Nampak beberapa orang dengan pakaian yang menutupi seluruh tubuh mereka mulai dari bagian kepala hingga ke bagian kaki masuk ke dalam, Anna semakin penasaran. Ia pun memutuskan untuk segera menyeberang jalan, melupakan ujian yang seharusnya ia kejar untuk mendapatkan gelar Magister, impian sang Papa sekaligus hal yang menjadi pemicu ditabuhnya genderang pertikaian dengan dirinya semalam.
***
            Hamada kembali ke ruangan khusus dengan lega. Ryuzuki, temannya membuntut di belakang, menepuk bangga pundak sahabat karibnya. Beda agama tak menjadi masalah persahabatan yang telah berlangsung semenjak semester awal perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas Hokkaido, Jepang. Dari papan pengumuman penerimaan mahasiswa baru, terjalinlah sebuah persahabatan. Ryu yang saat itu terlampau senang, tak sengaja merangkul Hamada yang masih belum menemukan namanya dalam bahasa Jepang. Awkward, sejenak mereka berdua terdiam sebelum akhirnya Ryu membungkukan badan, meminta maaf karena sembarangan merangkul orang. Sungguh jalinan persahabatan yang teramat kebetulan.
       “Selamat Hamada san, akhirnya mimpimu jadi kenyataan,” kata Ryuzuki bangga.
         “Tidak Ryu kun, masih belum seberapa,” timpalnya sembari menyuguhkan senyuman khas yang selama ini telah banyak memikat hati perempuan.
         “Ah kau ini, selalu saja merendah. Membuatku iri saja,” ucap Ryu sembari meninju pelan lengan Hamada.
      Tiga tahun bersama, membuat Ryu tahu segala sifat sahabatnya. Tak jarang ia menemani Hamada ke salah satu masjid di dekat kampus mereka, dengan setia ia menunggu meskipun hanya di depan bangunan peribadatan umat Islam itu. Terkadang, ia juga penasaran dengan Islam, Hamada pun dengan sabar menjelaskan. Ryu sempat tertarik untuk masuk Islam, namun hidayah hanya datang dari Tuhan Semesta Alam, Hamada juga tidak pernah memaksa karena itulah yang diajarkan, masuk Islam bukanlah sebuah paksaan.
***
       Anna telah sampai di seberang jalan, kini tubuhnya tepat berada di pelataran bangunan yang tadi sempat mencuri fokus pandangan. Suara itu semakin jelas terdengar, mengalun merdu, mendayu syahdu melebihi alunan musik klasik dalam bahasa yang tak ia tahu.
            Fa biayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan...
            Hati Anna berdebar kencang, terisak ia mendengar lantunan syahdu dari dalam masjid yang diberi nama “Hikari Mosque”. Bangunannya bercat putih, tanpa kubah, tulisan dalam bahasa Jepang yang disandingkan dengan ejaan bahasa Indonesia menandakan bahwa bangunan tersebut adalah masjid, masjid yang didirikan oleh kumpulan imigran Indonesia di Jepang. Entah kekuatan apa yang membuat Anna ingin sekali masuk ke dalamnya. Perlahan ia melepas boots dan menaiki tiga anak tangga menuju pintu geser dari kayu.
        Halakah mingguan sedang berlangsung, beberapa akhwat berjilbab lebar berkumpul membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka dengan khidmat melantunkan tilawah, suaranya begitu indah, menenangkan hati yang sedari tadi gundah serta gelisah. Anna termangu di depan pintu, salah seorang akhwat menghampirinya seraya tersenyum menyambut kedatangan Anna.
           “Kyō wa. Watashi wa anata ga tasukete tasukeru koto ga dekimasu ka? (Selamat siang. Ada yang bisa dibantu?)” ucap Fatimah, seorang imigran Indonesia menyapa.
            Anna membalas senyum tulus perempuan berjilbab merah muda dengan overcoat coklat tua yang membalut tubuhnya, kain bermotif bunga-bunga terjuntai hingga menyentuh lantai.
         “Sore wa watashi ga kōkishin tsukuranode, watashi wa, chōdo ima, hijō ni utsukushī merodiasuna koe no kabu ni kyōmi o sosora remashita. Watashi wa anata ni sanka suru koto ga dekimasu ka? (Saya tertarik dengan alunan suara merdu barusan, sangat indah, sehingga membuat saya penasaran. Dapatkah saya bergabung dengan kalian?)” timpal Anna dengan mimik wajah penuh harap.
***
         Jepang, negara yang kaya akan kebudayaan. Mayoritas penduduk Jepang percaya dengan ajaran nenek moyang, Shinto dan Budha mendominasi unsur kepercayaan. Namun disamping itu, toleransi beragama yang kuat membuat masyarakat negeri sakura tetap tentram meskipun bertetangga dengan etnis beda agama sekalipun. Hal ini dikarenakan salah satu pilar utama nilai-nilai budaya Jepang adalah wa (harmoni), selain kao (reputasi), dan omoiyari (loyalitas). Konsep wa mengandung makna menjaga hubungan baik, dan menghindari ego individu.
          Islam berkembang di Jepang sekitar tahun 1877 ketika perang dunia kedua melalui hubungan diplomatik antara Jepang dan Turki. Pada masa itu, tersebarlah kisah tentang Nabi Muhammad SAW dan agama Islam yang telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Inilah yang membantu Islam mendapatkan tempat tersendiri di kalangan penduduk negeri sakura meski hanya sebagai sejarah kebudayaan dunia. Salah satu pemicu pesatnya perkembangan Islam di Jepang adalah kelemahan hati masyarakatnya terhadap unsur-unsur kepercayaan. Kebanyakan penduduk Jepang modern tidak lagi mementingkan unsur agama dan lebih memilih untuk memikirkan kehidupan dunia. Meskipun kebanyakan penduduk Jepang hanya hidup untuk dunia, namun sejatinya, kekosongan masih tetap ada dalam hati mereka. Islampun hadir membawa cahaya sebagai pelita dalam ruang hati yang semula gelap gulita.
          Ponsel Hamada bergetar, satu pesan diterima, tulisan “Ustadz Amran” tertera di layar telepon gengnggam. Ia segera beranjak setelah memakai coat yang tersampir pada sandaran kursi, Hamada lupa jika hari ini ia ada janji. Ryuzuki terperanjat melihat sahabatnya meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa, “Hamada san! Matte kudasai! (Tunggu!)”
***
           Plakkk...
 Sebuah telapak tangan besar mendarat di wajah Anna, limbung tubuhnya menerima tamparan dari seorang laki-laki yang ia panggil “Papa”. Anna tersungkur di depan sang Papa yang tengah murka dengan wajah merah padam, kini tak hanya makian yang ia dapatkan namun juga dalam bentuk kekerasan.
         “Terlalu sempitkah jalan pikiranmu Anna??!!” bentak tuan Nakagawa garang.
   Pipi kanan Anna memerah, darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Diam, Anna hanya diam, tak menyangkal seperti malam sebelumnya, hanya isak tangis dan bulir air mata membasahi selendang ungu yang menutup seluruh helai rambutnya. Siang tadi, Anna mengambil keputusan terbesar dengan bersyahadat di depan para jama’ah masjid tempat ia bertandang, melabuhkan keyakinan pada Islam tanpa ragu dan unsur paksaan. Sebenarnya baik Papa maupun Mamanya tak pernah mempermasalahkan perihal keyakinan, namun yang membuat Papanya murka adalah kenyataan bahwa Anna meninggalkan ujian Tesis Magisternya demi menjalankan sebuah ritual masuk Islam. Biaya perkuliahan di Jepang terlampau mahal, sekali tidak mengikuti ujian, maka dapat dinyatakan telah gagal dan harus mengulang.
  Rasa kecewa terlanjur menyelimuti hati kedua orangtua Anna, mereka merasa usaha banting tulang yang mereka lakukan sia-sia, tak berguna. Puncak dari kemarahan tuan Nakagawa adalah pengusiran anak semata wayangnya malam itu juga, tak peduli amukan badai salju di luar sana.
***
          “Ibu selalu bilang, ‘Berjanjilah nak, kamu akan mewujudkan cita-cita Ayahmu. Cita-cita yang kini hanya menjadi angan semata, karena sampai kapanpun tak akan pernah menjadi nyata, kecuali jika seseorang  mewujudkannya. Sebarkanlah agama Islam di Jepang Ham, tanah kelahirannya..’.” Hamada mulai bercerita. Ayahnya adalah seorang mu’alaf Jepang, Islam telah menerangi nurani yang semula kelam tanpa sedikitpun cahaya iman. Tak disangka, perdebatan tentang penciptaan alam dengan mitra kerja yang tak lain adalah Ibu Hamada menjadi perantara keislamannya. Cita-cita terbesar tuan Fujisaki adalah mendakwahkan Islam di Jepang, namun belum sempat mimpi itu terealisasi, sebuah kecelakaan menyisakan tangisan sang istri yang tengah mengandung si buah hati.
       Ruangan dengan lantai kayu itu sejenak lenggang, tungku perapian di pojok ruangan berkobar, menjaga kehangatan suhu di rumah kecil Ustadz Amran. Beberapa bingkai foto tergantung menghiasi dinding ruang tamu. Hamada duduk beralaskan bantal khusus, tak ada kursi, secangkir teh hangat tersaji. Perbincangan yang seharusnya siang tadi terlaksana sempat tertunda karena Ustadz Amran diminta untuk menuntun syahadat seorang perempuan Jepang yang ingin memeluk Islam.
         “Tapi Ustadz, saya tidak tahu apakah saya telah menepati janji itu, sedangkan pendalaman saya mengenai Islam pun masih sangat kurang. Selama saya tinggal disini, hanya tulisan yang dapat saya gunakan sebagai perantara dalam mendakwahkan Islam.” Sambung Hamada kemudian.
          Lelaki berjanggut hitam itu menghela nafas panjang, “Nak Ham, dakwah itu tidak hanya melalui lisan, namun juga bisa dengan tulisan. Masalah kamu itu masih kurang dalam mendalami agamamu sendiri, bukankah Rasululllah SAW telah bersabda : ‘Sampaikanlah dariku (ilmu) walau hanya satu ayat’? Sampaikanlah nak, Bapak tahu kamu mampu.” Pernyataan Ustadz Amran membuat Hamada mengangguk pelan, kegelisahan dalam hatinya perlahan menghilang, bak menemukan setitik cahaya dalam gulita. Ia lega, bahwa tulisan yang kini telah bibaca oleh sekian banyak orang juga dapat menjadi perantara dakwah Islam. Tak terasa perbincangan selesai hampir larut malam. Hamada pun segera pamit untuk pulang.  
***
   Angin bergemuruh riuh, butiran salju turun dengan derasnya, langit malam menyuguhkan gulita. Suhu udara mencapai -5O C, pakaian yang Anna kenakan tak mampu  menangkal kedinginan yang hampir membekukan seluruh persendian. Malam semakin larut, gadis bermata bulat dengan kulit yang semula berwarna putih kekuningan berubah menjadi putih pucat bak mayat. Seketika tubuhnya ambruk di atas hamparan salju, langit tak berbintang menjadi titik tumpu pandangan sebelum akhirnya kelopak mata Anna terpejam, segalanya menjadi gelap kemudian.
     Sebuah sedan hitam melaju dengan kecepatan standar menembus derasnya hujan es di kota Sapporo, musim dingin di kota ini memang terkenal sangat extreme karena kisaran titik bekunya dapat mencapai -5O C. Selajur kemudian mobil itu berhenti, bunyi derit ban bergesek dengan licinnya jalanan. Dua orang pemuda keluar tergesa setelah mendapati tubuh kaku yang hampir tertimbun butiran salju. Salah satu dari mereka memegang tangan gadis malang itu, mencoba memastikan pembuluh nadinya berdenyut pertanda bahwa ia masih hidup.
        “Bagaimana??” tanya salah satunya cemas.
       “Dia masih hidup. Cepat kita tolong!” ucap temannya memberi tahu.
Dengan segera mereka mengangkat tubuh beku yang hampir kehilangan nyawa itu ke dalam mobil. Mobil pun kembali melaju, namun kali ini dengan kecepatan hampir maksimal. Cahaya dari lampu rem menghilang setelah mobil Ryuzuki melewati tikungan.
***
       Hari masih sangat pagi, gulita pun masih menyelimuti jiwa-jiwa yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap sudut dunia mimpi.
“Allahu akbar!”
Sayup suara itu membuat Anna membuka kelopak mata. Jarum infus tertancap di pergelangan tangan kanannya. Ia melihat seorang pemuda tengah berdiri menjalankan sebuah ritus keagamaan beberapa meter dari bed tempat Anna terbaring. Gadis itu mencoba menegakkan punggungnya, namun pening di kepala membuat ia tak dapat menyeimbangkan posisi tubuh yang kini terbalut piama rumah sakit.
“Assalamu’alaikum warahmatullah.. Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Pemuda itu menengadahkan kedua telapak tangan seraya memejamkan mata, memanjatkan do’a - do’a kepada Sang Kuasa, Allah SWT. Hati kecil Anna kembali bergetar, air mata berderai membasahi kedua pipinya.
“Apakah itu sebuah peribadatan dalam agama Islam?” dengan suara pelan gadis itu menanyakan. Hamada yang telah selesai menunaikan sholat subuhnya pun menoleh ke asal suara. Matanya seketika berbinar mendapati gadis yang ditolongnya semalam telah sadar. Hamada tersenyum meng-iyakan.
“Saya ingin menjalankan keyakinan yang telah saya ikuti secara keseluruhan. Dapatkah anda menuntun saya untuk melakukan ibadah itu?”
“Dengan senang hati,” senyuman mengembang di bibir Hamada.
Pemuda tampan itu menuntun Anna untuk menjalankan ibadah sholat subuh dengan posisi berbaring di atas tempat tidur. Perlahan tangan lemas itu diangkatnya dan disejajarkan dengan telinga, Hamada terus menuntun gerakan sholat Anna tanpa sedikitpun saling bersentuhan antara keduanya. Nurani gadis itu benar-benar menemukan sebuah ketengangan yang tiada tara, ketenangan yang baru kali pertama ia rasakan, menguraikan seluruh pintalan benang kesedihan.
***
      Dua minggu berlalu semenjak kejadian malam itu. Ustadz Amran dan istrinya yang tak memiliki keturunan memutuskan untuk mengangkat Nakagawa Anna sebagai putri mereka. Meski harus letih bekerja dan berusaha, ia memutuskan untuk mengulang kembali program Magister yang sempat dilewatkannya. Maklum saja karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh Mama-Papanya.
“Tak apa, aku pasti bisa tanpa mereka,” gumamnya sebelum melangkah meninggalkan rumah sederhana milik orangtua angkatnya. Ia senang berada di rumah itu, rumah yang seluruh kasih sayang tercurah, baik dari Ayah dan Ibu angkatnya dan juga.. seorang pemuda berdarah Jepang-Indonesia bernama Fujisaki Hamada selalu ada untuk menjaganya, demikianlah kiranya petuah dari sang Ayah “Jaga Anna nak Ham”.
Kebetulan mereka berdua berada di kampus yang sama, ya, Universitas Hokkaido. Mungkin bedanya, Nakagawa Anna adalah mahasiswi pascasarjana, sedangkan Fujisaki Hamada adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan jenjang sarjana.
***
(Februari 2015)
               “Bukti apa?” Anna kembali bertanya.
            “Bukti bahwa selain Ustadz Amran dan Ustadzah Rahma, masih ada seseorang yang akan menyayangimu dengan penuh cinta serta ketulusan.” Ucap lelaki itu mantap.
            “Oh ya?? Apa kau sedang membicarakan diri sendiri??” ucap Anna meledek laki-laki yang secara usia lebih muda dibanding dirinya, namun sifat dan perkataan Hamada jauh lebih dewasa dari Anna.
            Hamada tertawa menaggapi kelakuan gadis berkerudung biru muda di depannya, “Kau ini, selalu saja merusak suasana”.
            “Maukah kau menjadi bidadari surgaku, Nakagawa Anna? Membangun sebuah mahligai bersama, mahligai yang akan membawa kita hingga ke surga-Nya..” pertanyaan lelaki itu membuat Anna seketika tersipu.
        Desir angin seakan menyampaikan sebuah jawaban, hamparan langit malam menjadi saksi terucapnya sebuah niatan suci, niatan yang nantinya akan diucapkan sebagai ikrar di depan wali sang gadis pujaan.
-TAMAT-