Embun pagi menyejukkan suasana,
membasahi padang rumput yang berselimut kabut. Perlahan semburat mega merubah
suasana, kegelapan mulai pudar dan padang rumput hijau remang-remang mulai
kelihatan. Kubentangkan tangan seraya menghirup dalam-dalam udara pagi yang
menyejukkan.
Lima tahun sudah, namun tiada yang
berubah. Suasananya tetap sama seperti sedia kala, dimana air mata meleleh
mengiringi kepergianku untuk meraih cita-cita. Berat sekali rasanya harus
berpisah dengan keluarga, namun apa daya aku adalah tulang punggung keluarga,
tak patut rasanya bila hanya menghidupi mereka ala kadarnya. Untuk itu, ku
wujudkan angan yang selama ini aku pendam.
***
"Dek,,,," tak kuasa ku
lanjutkan kata-kata setelah mendengar isak tangisnya. Wajahnya yang teduh seketika
berubah setelah air mata jatuh berlinang membasahi pipi merahnya. Aku hanya
bisa larut dalam diam. "Pergilah mas, Insyaallah aku ikhlas" suara
lembutnya mencairkan suasana. "Hanya satu pesanku dan jangan sampai engkau
lupakan itu. Jagalah hubungan baikmu dengan Allah SWT, niscaya Ia akan
memudahkan jalan atas segala yang engkau cita-citakan. Aku akan selalu berdo'a
untukmu, kekasihku" lanjutnya dengan berlinang air mata.
Betapa beruntungnya aku memilikinya. Ia
rela meninggalkan kemewahan demi mengikuti suaminya yang hidup terlampau
sederhana. Aku memang tidak dapat menjamin suatu kebahagian untuknya, tetapi
Allah lah yang menjamin kebahagiaan bagi hambaNya. Aku selalu berdo'a agar kami
dapat hidup bersama tidak hanya di dunia, tetapi hingga ke surgaNya. Akan ku
bangun bahtera rumah tangga di atas ridho-Nya, karena hanya itulah kunci
bahagia.
***
Rasa rindu membuncah di kalbu, wajahnya
selalu terbayang, suara lembutnya selalu terngiang. Butuh perjuangan untuk
menahan kerinduan dalam jangka waktu panjang. “Apa kabar cinta? Aku pulang,,”
lirihku saat melihat sebuah pedesaan di penghujung jalan. Aku tersenyum sambil
membayangkan wajah manisnya menyiratkan senyuman penuh makna menyambut
kedatangan kekasih yang dicintainya karena Allah semata.
Hamparan padi membentang menghiasi
persawahan yang aku lewati. Warnanya kekuningan, memancar bak emas yang
bersinar. Musim panen akan segera datang. “Assalamu’alaikum! Mas Irwan ya?”
tegur petani yang sedang sibuk dengan aktivitas hariannya. “Wa’alaikum salam
warahmatullah,,iya pak, saya Irwan. Pak Kasim ya?” tanyaku sambil
mengerutkan dahi berusaha mengingat kembali. “Alhamdulillah wan, akhirnya kamu
pulang juga” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku. Raut wajahnya yang tak lagi
muda menyiratkan rasa iba, entah mengapa. Tak ada jawaban yang keluar dari
mulutnya ketika aku bertanya “ada apa?”. Hanya isyarat yang beliau berikan agar
aku segera pulang.
Suasana pagi sudah tidak dapat lagi
kunikmati. Nafasku tersenggal-senggal tak beraturan, sesekali aku berhenti untuk
mengatur nafas, kemudian kembali berlari hampir tanpa henti. Peluh mengalir
membanjiri dahi, namun dzikir selalu terucap dalam hati. Aku optimis bahwa
tidak ada hal buruk yang terjadi, tidak ada.
Aku berhenti, tidak kuat lagi rasanya
untuk berlari. Kuletakkan tas besar disisi jembatan yang menghubungkan antara
dua pedesaan. Tatapanku nanar, sejenak kuistirahatkan tubuh ini yang sejak tadi
tak henti-hentinya berlari. Pikiranku melayang mengingat peristiwa-peristiwa
tak terlupakan beberapa tahun silam.
***
“Ustad Irwan!” tegur salah seorang
santri yang membuatku menghentikan langkah kaki. “Ada apa Aziz?” sahutku
menimpali panggilannya yang setengah berteriak. “Assalamu’alaikum ustad, maaf
sebelumnya, antum diminta datang ke rumah Kyai Latif setelah sholat ashar”.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah, iya insyaaAllah saya nanti datang, terimakasih
ya ziz” timpalku mengiyakan.
Ku tadahkan tangan untuk berdo'a, di
hadapanNya aku begitu hina, tak pantas rasanya untuk meminta, namun Allah Maha
Bijaksana, Ia mengabulkan seluruh do'a yang dipanjatkan hamba-hambaNya,
walaupun acap kali mereka melupakan kewajiban untuk beribadah kepadaNya. Tak
terasa butiran hangat menetes, mengalir di pipi.
***
Enam tahun sudah aku mengenyam
pendidikan di pesantren, susah senang telah aku rasakan, hingga tak terasa
waktu begitu cepat berlalu. Enggan rasanya untuk meninggalkan pondok ini karena
hati sudah terpatri dan sulit untuk menariknya kembali. “Ada apa gerangan Kyai
Latif memanggil? Tak biasanya” gumamku dalam hati. Kupercepat langkah agar
segera sampai di kediaman bapak Kyai yang sudah aku anggap seperti Ayah
sendiri, begitu pula sebaliknya.
Aku berhenti sejenak di depan rumah yang
jauh dari kata mewah namun selalu dialiri berkah. “Bismillah,,,” ucapku lirih
seraya memasuki halaman rumah Pak Kyai. Sepoi angin menyapu dedaunan yang
berguguran di halaman. Perlahan namun pasti, ku ucapkan salam sambil menunggu
tuan rumah membukakan pintu. "Wa'alaikumussalam, eh nak Irwan, mari masuk
nak" ucap perempuan berjilbab panjang mempersilahkan.
Suasana ruang tamu kala itu sangat kaku,
wajah Pak Kyai berbeda dari biasanya, raut wajahnya nampak muram, mungkin
karena banyak hal yang beliau pikirkan. "Begini wan.." kata beliau
memulai percakapan. "Saya minta tolong sama kamu, besok datanglah ke rumah
Pak Burhan untuk membimbing keluarganya mendalami ajaran Islam yang benar, kamu
adalah orang pilihan wan, jadi Bapak harap kamu jangan sampai mengecewakan.
"Deg! Mulutku bungkam setelah mendengar nama Pak Burhan disebutkan. Hatiku
sempat ragu, mampukah diriku mengemban amanah yang telah Pak Kyai percayakan?
***
Dinginnya malam menusuk hingga ke
tulang, ku langkahkan kaki menuju kamar mandi dengan badan sempoyongan dan mata
masih setengah terpejam. Berat memang bila sholat malam belum menjadi sebuah
rutinitas harian layaknya makanan. Sangat disayangkan apabila tidur menjadi
penghalang mendapatkan ganjaran besar yang telah Allah janjikan.
Jam dinding menunjukkan angka tiga,
keheningan selalu aku rasakan di sepertiga malam, sangat tenang. Ku terlarut
dalam do'a, hatiku gelisah tak menentu, amanah yang Pak Kyai berikan tadi siang
selalu terngiang dan kata “mampukah..” selalu memenuhi pikiran. Tak terasa
adzan subuh berkumandang, saling bersahutan, membangunkan orang-orang pilihan.
***
Pagi ini begitu indah, burung-burung
berterbangan dengan riang. Ku kayuh pedal sepeda perlahan untuk menikmati udara
pagi yang baik bagi kesehatan. Jalan raya masih sepi kendaraan, hanya delman
lah satu-satunya kendaraan yang telah berjajar. Sebuah delman melaju tepat di
depanku. Tidak banyak penumpang, hanya dua orang perempuan yang duduk di kursi
belakang. Untuk pertama kalinya mataku berani memandang seorang perempuan,
senyumnya begitu menawan, wajahnya begitu rupawan tertutup jilbab panjang
berwarna terang. Aku segera tersadar dan lekas membaca istighfar. Hatiku
berkecamuk, bercampur menjadi satu antara kebahagiaan dan penyesalan. Ku
percepat laju sepedaku melewati delman itu.
Baju koko biru dan celana hitam panjang
aku kenakan, setidaknya dari segi penampilan sudah mendapat nilai tambahan dari
seorang Pak Burhan, orang terpandang di Kecamatan. Pesan Pak Kyai selalu
terngiang, aku bukanlah seorang pecundang, untuk itu aku tidak boleh gagal dan
mengecewakan. Aku dilahirkan untuk menjadi seorang pejuang, pejuang sejati
tidak akan gentar dengan ribuan permasalahan yang akan dihadapi. Berani mati
demi menegakkan panji Islam. “Bismillah” ucapku optimis sambil mengayuh sepeda
menuju rumah Pak Burhan.
Peluh mengalir membasahi dahi, sesekali
aku berhenti untuk sekedar mengusapnya dengan sapu tangan. Perjalanan panjang
aku lakukan demi menyebarkan syiar Islam, dua jam sudah aku mengayuh sepeda,
lelah pun mulai kurasa. "Bismillah,,sebentar lagi sampai" lirihku
sambil mempercepat laju sepeda. Tak berselang lama, ku hentikan sepeda tepat di
depan pagar rumah yang termasuk mewah. Rasa takut sempat tersirat dalam
pikiran, namun sesaat dapat hilang ditepis keyakinan dari lubuk hati yang
paling dalam.
***
"Maaf sebelumnya Pak, saya Irwan
dari Pesantren Al-Barokah. Maksud kedatangan saya kemari demi menjalankan
amanah dari Pak Kyai untuk membimbing keluarga Bapak mendalami seluruh ajaran
Islam yang benar" ucapku memulai percakapan dengan Pak Burhan. "Ooh,
kamu ternyata murid kebanggaan Kyai Latif?" sahut Pak Burhan dengan senyum
yang mengembang. Aku tercengang, "murid kebanggaan?" bisikku dalam hati
tak mengerti. Sore itu menjadi saksi penyesalanku menuduh orang sembarangan
tanpa bukti. Ternyata Pak Burhan tidak seperti yang orang lain katakan, beliau
begitu ramah dalam menyambut tamu siapapun itu, tidak pandang bulu. Tidak
banyak yang kami bincangkan, karena maksud kedatanganku bukan untuk itu. Pak
Burhan lekas membawaku ke ruang tengah dimana pengajian akan dilangsungkan.
Istri dan dua putri Pak Burhan tengah
duduk rapi di atas kursi menungguku sedari tadi. Betapa tekejutnya aku saat
melihat kembali wajah rupawan pagi tadi. Ternyata perempuan itu putri Pak
Burhan, entah suatu kebetulan atau memang sudah ditakdirkan, aku merasa sangat
bahagia karena dapat bertemu kembali dengannya.
Pandangan pertama masih dapat dimaafkan
karena unsur ketidak sengajaan. Aku bimbang, sukar dan berpikir amat dalam,
“bagaimana aku dapat menjaga pandangan? Ya Allah,,berikan aku jalan agar
pandanganku ini tidak terus menjadi sesuatu yang Engkau haramkan. Amin” bisikku
dalam hati seraya meneguk secangkir teh yang telah Bu Burhan sediakan.
“Mas Irwan.” Secangkir kopi diteguknya
sebelum melanjutkan kata-kata yang belum Pak Burhan selesaikan. “Jadi, sudah
berapa lama mondok di Al-Barokah?” lanjut beliau penuh introgasi. Dengan raut
wajah datar dan nada bicara sopan aku menjawab “Alhamdulillah Pak, saya sudah
enam tahun mondok, dan sekarang sedang menjalani masa pengabdian mengajar di
Al-Barokah sebagai guru”. “Oo..begitu” sahut bapak dua orang anak ini sambil
menganggukkan kepala pelan tanda mengerti. Diambilnya kembali secangkir
secangkir kopi yang masih mengepul dihadapannya. “Apa mas Irwan ada rencana
untuk menikah?” celetuk Pak Burhan tanpa basa-basi. Spontan aku tersedak
minuman yang baru saja masuk ke tenggorokan mendengar pertanyaan yang mungkin
orang lain anggap normal. Aku berusaha tenang seakan tidak ada yang terjadi.
Hanya senyuman yang dapat aku berikan sebelum menjawab pertanyaan itu, “ belum
bertemu jodoh Pak ” sahutku sekenanya. Beliau hanya tertawa melihatku salah
tingkah menjawab pertanyaannya.
Tak terasa obrolan kami berlangsung
cukup lama. Jarum jam menunjukkan angka delapan, waktunya untuk berpamitan
pulang. “Ran, tolong antar mas Irwan ke depan sebentar nduk” pinta Pak
Burhan setengah berteriak agar putri sulungnya keluar kamar. Aku sangat gugup,
jantungku semakin kencang berdegup. “Saya pulang dulu Pak, semoga ilmu yang
kita pelajari hari ini bermanfaat” ucapku seraya menjabat tangan beliau lalu
beranjak keluar rumah diikuti Rani.
Aku dan Rani tidak jalan berdampingan,
tetapi ia mengikuti lankahku dari belakang. Sesampainya di depan gerbang aku
menoleh ke belakang untuk sekedar mengucapkan perpisahan, “sampai sini saja mba’,
terimakasih sudah mengantar saya” ucapku dengan sedikit menyunggingkan
senyuman. “Sama-sama mas, terimakasih banyak atas bimbingannya. Hati-hati di
jalan” jawabnya sambil menundukkan pandangan.
“Astaghfirullah, ini ketiga
kalinya aku memandang wajahnya. Ya Allah, maafkan hamba..” penyesalan penuh
harapan berbisik dalam hati, mengalir hangat dalam nadi. Bintang-bintang
bertaburan menghiasi langit malam, kukayuh pedal sepeda meninggalkan Rani yang
masih berdiri menungguku pergi.
"Ya Rabb, tak sepantasnya
hamba berlebihan dalam meminta sedangkan ibadah yang hamba jalankan belum
setimpal dengan segala hal yang telah Engkau berikan. Tak sepatutnya hamba
tergesa-gesa dalam menentukan pilihan karena bisa jadi dibalik ketergesa-gesaan
terdapat sesuatu yang pada akhirnya akan menjerumuskan. Ya Allah, hanya
kepadaMu lah segala sesuatu yang telah tercatat di lauh mahfud hamba serahkan."
Kedua telapak tangan ku telungkupkan ke wajah seraya mengaminkan do'a yang ku
panjatkan. Sepertiga malam ini begitu berarti, menjadi saksi kemesraanku
bersama Illahi Rabbi, karena aku takut cinta dalam hati akan terbagi
hanya karena sesuatu yang belum pasti.
***
Kemeja merah kecoklatan aku kenakan,
kusambut pagi dengan senyuman agar setiap hari dapat terlewati dengan penuh
keceriaan. Hal paling menyenangkan bagiku adalah ketika dapat berbagi ilmu,
untuk itu cita-citaku sejak dulu ingin sekali menjadi guru.
"Baiklah anak-anak, sekarang
kumpulkan tugas yang Ustadz berikan minggu lalu, bagi yang belum mengerjakan
silahkan keluar dan berdiri di tengah lapangan" aku berjalan perlahan
menuju bangku paling depan, "tolong ambilkan tugas teman-teman kamu"
pintaku kepada salah seorang santri dengan nada datar. Kedisiplinan selalu aku
terapkan agar anak didikku tidak malas belajar. Tugas dalam setiap pertemuan
selalu aku berikan, dan bagi mereka yang tidak mengerjakan, maka harus siap
menerima hukuman. Bukannya kejam, namun diberikannya hukuman bertujuan agar
kedisiplinan yang telah ditetapkan tidak dilanggar.
Suasana kelas tenang, para santri
mendengarkan penjelasanku tentang sebuah Hadits dengan seksama, beberapa dari
mereka menulis apa yang sedang aku katakan. "Baik, 10 menit tersisa. Ada
yang ingin ditanyakan?" tanyaku sambil mengambil buku absen yang
tergeletak di meja. Belum sempat membacanya, salah seorang guru masuk ke
kelasku dan membisikkan sesuatu. "Disuruh cepat ustadz Irwan" katanya
sambil berlalu.
"Maaf anak-anak, Ustadz ada
keperluan mendadak. Jangan ada yang keluar kelas sebelum bel istirahat
berbunyi. Wassalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh" ku
percepat langkah keluar kelas diiringi jawaban salam anak-anak serempak.
Langkah kakiku beradu kecepatan, saling
bersalipan. Kabar apa gerangan yang ingin Pak Kyai sampaikan kembali.
"Mari Ustadz, sudah ditunggu" kata utusan yang tadi memanggilku
mempersilahkan. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman yang dipenuhi rasa
keingin tahuan. Segera aku melepas alas kaki dan mengikuti langkah Mizan masuk
ke dalam. Perasaanku berdebam, “apa aku melakukan suatu kesalahan sehingga
dipanggil dadakan seperti ini?” Tanyaku pada diri sendiri di dalam hati.
Sepertinya aku memang melakukan suatu
kesalahan, pikirku setelah melihat Pak Burhan di ruang tamu bersama Pak Kyai.
Tangan Pak Kyai melambai, mengisyaratkan kepadaku untuk duduk. Aku duduk disisi
Pak Kyai, kepalaku menunduk, mataku tak berani menatap para tamu, disini seakan
aku adalah narapidana yang tengah pasrah untuk menerima hukuman setimpal dengan
kesalahan yang aku lakukan, meskipun aku belum tahu, jenis kesalahan apakah
itu.
“Irwan!” Pak Kyai menatapku dengan
santai. “Tegang sekali wajahmu nak” ledek beliau dengan senyum menyeringai,
menghiasi wajah teduh penuh keindahan cahaya iman. Aku menoleh, masih dengan
ekspresi wajah datar yang kupasang sejak pertama kali datang. Aku hanya
tersenyum simpul, mulut ini kaku untuk menyatakan rasa ingin tahuku yang masih
terpendam.
“Wan..” Pak Kyai menepuk bahuku. “Kalau
saya menyuruh kamu mengerjakan suatu hal yang mungkin kamu belum siap untuk
menjalankan, belum punya modal, belum ada persiapan matang, apa kamu akan tetap
melaksanakan hal yang saya perintahkan?” mimik wajah Pak Kyai berubah. Aku
kembali menundukkan pandangan, mencoba mencerna kata-kata yang beliau
sampaikan. Keyakinan menjalar dari lubuk hati terdalam, menggerakkan bibir yang
bungkam, aku menghela nafas panjang dan mulai memberikan jawaban, “Pak Kyai,,”
kataku sambil memandang wajah Kyai Latif dalam-dalam. “InsyaAllah saya
siap melaksanakan perintah itu, karena saya tahu Bapak tidak akan menjerumuskan
saya ke dalam jurang kenistaan atas perintah yang antum berikan.” Jawabku
dengan penuh keyakinan.
Pak Burhan tersenyum lebar, begitu pula
dengan dua orang disebelahnya. Sekarang giliran pak Burhan untuk angkat bicara,
“Irwan, maukah kamu menjagakan anak saya, Rani? Tentunya dalam sebuah ikatan
tali pernikahan”. Aku menelan ludah mendengar tawaran yang sangat mengejutkan.
Ku cubit lenganku untuk memastikan bahwa ini bukanlah mimpi, “Aw, sakit”
lirihku dalam hati tanpa ekspresi. Aku tidak dapat menafikan bahwa inilah yang
sangat aku inginkan, namun aku harus tetap melibatkan Allah dalam setiap urusan
termasuk mengambil keputusan menerima tawaran Pak Burhan. Untungnya beliau
tidak keberatan setelah aku meminta sedikit waktu untuk memikirkannya
matang-matang agar tidak timbul sebuah penyesalan kelak di kemudian hari.
Aku bersimpuh kembali di sepertiga
malam, dua, empat, enam, delapan rakaat tahajud telah aku selesaikan. Dinginnya
malam begitu menusuk tulang, badanku menggigil kedinginan, namun itu semua tidak
menjadi penghalang bagiku untuk segera menyudahi munajat cinta ini.
***
Embun pagi menggelantung di pucuk
dedaunan yang meliuk-liuk tertiup hembusan angin menenangkan, jatuh perlahan,
menetes di atas rerumputan. Kedinginan malam masih tersisa, menemani langkahku
menuju pemakaman umum tak jauh dari desa. Ku lipat tangan di depan dada,
berusaha mempertahankan kehangatan badan. Jaket putih tebal aku kenakan.
Ku tatap lekat-lekat dua makam yang
berdampingan, seribu kenangan telah terpendam. Air mataku jatuh berlinang, aku
terisak sambil memegang batu nisan. Penyesalanku saat ini sudah tiada arti,
hanya do'alah satu-satunya cara menebus segala kesalahanku kepada kedua
orangtua. Aku berdo'a agar Allah menerima arwah mereka berdua disisiNya.
"Bapak, Ibu, Irwan sudah
dewasa" aku terisak, terbata-bata dalam mengungkapkan kata "Irwan
akan menikah Pak, Bu, Irwan hanya meminta restu" dadaku kembang kempis,
tak kuasa menahan tangis. Sholat istikhoroh sudah tiga hari ini kujalani, dan
hatiku semakin mantap untuk melamar Rani.
Rambutku berkelibat tertiup angin yang
berhembus cukup kencang, kutinggalkan makam dengan hati lapang.
Sorban putih melingkar di leher Pak
Kyai, menjadi ciri khas tersendiri dan mudah untuk dikenali. "Sudah siap
wan?" tanya beliau kepadaku yang sejak tadi terpaku menunggu. Segera aku
tersadar dari lamunanku mendengar pertanyataan itu, "insyaAllah Pak
saya siap" jawabku mantap, mata kami saling bertatap. "Alhamdulillah,
kalo begitu mari disegerakan saja kebaikan yang telah kita niatkan."
Beliau menepuk pundakku.
Hari ini akan menjadi salah satu hari
bersejarah yang tak dapat ku lupakan. Hari dimana aku akan melamar langsung
gadis yang baru saja aku kenal dalam kurun waktu tidak lebih dari satu minggu.
Maharani Putri, gadis berparas menawan
dengan balutan hijab longgar yang telah meluluh latahkan hati seorang Irwan.
Usianya 25 dan aku 22, namun wajahnya terlihat begitu muda. Untungnya aku tidak
memanggilnya "dek" saat pertama kalinya kami bicara. Aku sama sekali
tidak keberatan dengan perbedaan usia, toh selisihnya juga tidak sebanyak
Baginda Nabi dan istri pertamanya, Khadijah. Jantungku berdebar semakin kencang
ketika kendaraan yang kami tumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah Pak
Burhan.
Sambutan Pak Burhan begitu hangat aku
rasakan, pakaian beliau rapi disertai peci hitam menutupi rambutnya yang mulai
berubah keperakan. Senyumnya lebar, begitu pula perempuan berjilbab coklat
disisinya yang tak lain adalah Bu Burhan. Rasa-rasanya begitu singkat proses
ta'aruf yang aku jalani, tetapi jika hati sudah dapat diajak kompromi, untuk
apa berlama-lama menanti sesuatu yang sudah pasti? Suatu kebaikan harus
disegerakan, tukasku dalam hati. Percakapan berlangsung lama, inti dari
kedatangan kami bersilaturahmi kesini belum juga disampaikan oleh Pak Kyai. Aku
hanya menyimak percakapan, seketika wajahku menegang setelah paras rupawan tiba
membawakan hidangan. Allahu akbar,, wajahnya memancarkan cahaya iman. Aku
begitu terpesona melihat keanggunannya, sampai lupa kalau aku belum halal untuk
memandangnya. Aku segera mengalihkan pandangan kepada Pak Burhan.
Wajahnya tertunduk malu, tangannya sibuk
memindahkan hidangan dari atas nampan. Sesaat kemudian meja di depanku dipenuhi
hidangan berupa gorengan dan kue yang bermacam-macam. "Pak Kyai, Mas
Irwan, silahkan dicicipi jajanan buatan Rani" senyum beliau mengembang.
"Dari pagi dia sibuk sendiri di dapur,mau latihan masak katanya"
ungkapan Pak Burhan sukses membuat wajah Rani yang duduk disebelah ibunya
berwarna kemerahan, aku tersenyum lebar, seakan gelak tawa akan keluar apabila
aku tidak dapat mengendalikan.
Akhirnya perbincangan kami sore ini
sampai ke inti, tanggal pernikahan ditentukan satu bulan dari sekarang, terlalu
cepat memang, tetapi bukankah suatu kebaikan harus disegerakan?
Islam memang melarang keras hubungan
pacaran, namun solusi yang diberikan jauh lebih indah dari yang dibayangkan,
yaitu dengan jalan ta’aruf. Suasana taman kala itu sangat kaku. Untuk pertama
kalinya aku duduk bersebelahan dengannya, dia yang akan aku sebut namanya kala
tanganku menjabat tangan Ayahnya untuk mengatakan "Saya terima
nikahnya....", dia yang nantinya akan menjadi ibu dari anak-anakku, ya,
Rani. Walaupun kami duduk bersebelahan, namun jarak masih terbentang. Tidak
terlalu jauh dari tempat duduk kami, Anggita duduk sendiri dengan sedikit
mengawasi. Jantungku semakin berdegup tak menentu, aku masih kikuk untuk
memulai sebuah percakapan, ia pun hanya terdiam. Hanya keheningan yang beradu
pada saat itu.
"Mas Irwan." Suara lembutnya
mencairkan suasana, "boleh aku bertanya sesuatu?" "Iya,
silahkan" sahutku seraya menyerongkan posisi badan. Ia masih menunduk dan
terdiam, diserongkannya perlahan posisi duduknya sehingga kami berdua bertatap
muka. "Apa yang menjadi jaminan antum untuk membahagiakan aku
nantinya?" nada bicaranya datar, pertanyaan yang ia lontarkan bak sebuah
tamparan, itulah yang aku rasakan. Mata beningnya menatap tajam, Rani masih
menunggu jawaban dariku, pandangan kami saling bertemu. "Sejujurnya, aku
tidak bisa memberikan jaminan apa-apa" aku terdiam sejenak, ia kembali
meluruskan posisi duduknya seperti sedia kala, raut wajahnya seperti kecewa.
"Tapi Allah bisa, Allah yang bisa memberikan jaminan kebahagiaan bagi
hambaNya atas kehendakNya" lanjutku menyambung kata-kata. Wajah yang
semula terlihat kecewa, kini mengembang sebuah senyuman penuh makna di bibir
tipisnya.
"Bolehkah sekarang aku yang
bertanya?" pintaku. Ia menganggukkan kepalanya pelan tanda mengiyakan.
"Sebesar apa cinta yang akan kamu berikan kepadaku?" Tanpa ragu Rani
menjawab "Jujur mas, belum ada cinta yang dapat aku berikan untukmu saat
ini, cintaku belum dapat kubagi karena antum masih belum hahal untuk ku
cintai." Ia diam sejenak sebelum melanjutkan jawabannya kembali,
"Meskipun nantinya antum sudah halal untuk ku cinta, tapi tetap saja
cintaku kepada Sang Pencipta akan lebih besar dibandingkan kecintaanku pada
seorang hamba" tukasnya mengakhiri kata-kata.
Ku tatap wajah cantiknya, jawabannya
sangat mengena, dan inilah yang bisa ku sebut obat pelipur lara. Memang Allah
telah memisahkanku dari kedua orang tua, namun kini Ia mengganti mereka berdua
dengan seorang wanita yang begitu mempesona. Subhanallah, Fabiayyi
alaai robbikuma tukadzibaan.
Adzan maghrib berkumandang, langit biru
berubah menjadi kemerahan, tanda bahwa malam akan segera datang. Prosesi
lamaran berjalan dengan lancar, harapanku kala itu hanya satu, diberikan
kemudahan atas segala sesuatu yang telah aku niatkan, tentunya dalam hal
kebaikan.
***
Perasaan bahagia membuncah di dada,
segala keperluan pernikahan telah disiapkan dengan matang. H-7 pernikahan, aku
semakin luruh dalam angan-angan yang membahagiakan.
Sore ini aku pergi bersama Gita dan
Rani, berjalan menikmati indahnya pemandangan taman kota di sore hari. Sesaat
kemudian hal memalukan terjadi, perut yang sedari pagi belum kuuisi berbunyi.
Anggita yang berjalan didepanku membalikkan badan, "Mas Irwan lapar? Makan
yuk kak Ran, Gita lapar" rengeknya kepada Rani yang juga ikut berhenti.
Kami bertiga saling berpandangan sebelum akhirnya Rani mengiyakan permintaan
adiknya tersayang.
Masakan padang menjadi tujuan utama.
Aku, Rani dan Gita duduk satu meja. Sambil menunggu pesanan tiba, kami bertiga
asyik bercanda. Saat itu Anggita yang masih duduk di bangku SMA menceritakan
perihal pengalaman uniknya dan berhasil mencairkan suasana dengan membuat kami
berdua tertawa. Kepribadian Rani dan Gita memang sedikit berbeda. Sang kakak
cenderung menghemat kata yang keluar dari mulutnya, sedangkan Gita justru
sebaliknya, banyak bicara.
Aku berandai-andai di tengah candaan
riang mereka berdua. Bagaimana rasanya memiliki saudara, mengingat diriku yang
hidup sebatang kara. Terkadang kesepian yang amat dalam aku rasakan, dan itulah
penyebab utamaku terlalu larut dalam kesedihan. Ku pandang wajah mereka secara
bergantian, senyum bahagia begitu jelas kurasa. Tidak ada lagi kata sepi yang
merasup ke dalam sanubari, karena aku akan memilikinya sebentar lagi, akan kami
bangun sebuah bahtera rumah tangga yang bahagia di bawah naungan Ridho-Nya.
***
Sore ini begitu tenang, ku ambil buku
bertuliskan "KUNCI BAHAGIA" yang tergeletak di atas meja.
Burung-burung berkicauan, berbondong-bondong untuk kembali ke sarang. Pak Kyai
memberiku cuti panjang menjelang hari H pernikahan. Agak bosan memang, tetapi
waktu dalam kehidupan begitu mahal, sehingga merugilah orang-orang yang
membiarkan waktunya berlalu begitu saja dan terbuang sia-sia. Untuk itu aku
harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya, salah satunya adalah mengenal dunia
dengan cara membaca. Dengan membaca, aku tahu tentang Amerika dan negara-negara
lain di seluruh penjuru dunia tanpa harus datang langsung ke tempatnya.
"Bila kamu ingin mengenal dunia, maka membacalah! Bila kamu ingin dikenal
dunia, maka menulislah! Bila kamu ingin memimpin dunia, maka berilmulah!"
kata-kata ini selalu menjadi motivasi yang tertanam dalam diri, dan inilah
kata-kata Pak Kyai. Subhanallah.
Cahaya sore mulai terlihat remang-remang
sebelum akhirnya berubah menjadi gelap gulita. Mataku terfokus menatap bayangan
seseorang yang mendekat perlahan. "Assalamu'alaikum Ustadz
Irwan" ucap seorang laki-laki yang ternyata santri dengan nafas
terengah-engah, mungkin karena ia datang kemari berlari. "Wa'alaikumussalam,
ada apa nak?" aku segera datang menghampirinya. "Dipanggil Pak Kyai
Ustadz, katanya penting sekali". Aku mengernyitkan dahi tak mengerti,
dengan segera kuambil sepeda dan langsung mempercepat lajunya dengan
tergesa-gesa.
Aku sudah tak berdaya, tubuhku gemetar
setelah mendengar sebuah kabar. Lidah ini kelu, tatapanku kosong,
"mimpikah ini?" gumamku dalam hati. Kejadian sore tadi membuat bulu
kudukku berdiri, tabrak lari telah membuat Rani sudah tak bernyawa lagi. Ya,
Rani telah pergi, pergi dan tidak akan pernah kembali lagi ke dunia ini.
Pelupuk mataku basah oleh air mata, Pak Kyai mengusap-usap pundakku dan tidak
berhenti menasehati, "Istighfar wan, sebut Asma Allah. Percayakan semuanya
kepada Allah, yakinlah bahwa Ia telah mengatur segala alur skenario kehidupan
setiap manusia di dunia. Yang sabar nak.." Isak tangisku semakin
menjadi-jadi, nafasku tersenggal-senggal tak beraturan, aku tidak percaya bahwa
kejadian seperti ini terulang kembali dalam hidupku untuk kedua kali. "Ya
Allah, apa salah hambaMu ini? Tak pantaskah hamba untuk mencintai?" ucapku
sambil terisak-isak sehingga tidak seorangpun mengetahui pertanyaan tak
pantasku ini termasuk Pak Kyai. Hatiku terasa sakit sekali, aku sangat berharap
semua ini hanyalah sebuah mimpi.
***
Langkahku gontai, halaman rumah Pak Burhan
terlihat sangat ramai dipenuhi puluhan orang yang berlalu lalang. Aku berjalan
perlahan melewati gerbang dan masuk ke halaman, kakiku gemetar memasuki pintu
rumah Pak Burhan. Suara tangisan dan bacaan surat Yasin berpadu, menggema di
telingaku. Aku terduduk di samping jenazah Rani, perempuan yang sebenarnya akan
ku sebut sebagai istri tidak lama lagi. Ku buka perlahan kain yang menutupi
wajah Rani, kulitnya sudah pucat, hanya pelipisnya yang sedikit kemerahan
akibat luka memar sebuah benturan. Pak Kyai setia menemani, beliau merangkulku,
begitu juga Pak Burhan setelah melihatku datang. Suara tangisan dan Yasinan
sudah tidak terdengar, tatapanku tiba-tiba nanar, aku melihat sekelilingku
berbinar-binar bak lampu pijar yang dinyalakan secara bergantian, dan seketika
aku pun jatuh pingsan.
Tiga hari berlalu, aku masih larut dalam
kesedihan yang teramat dalam, luka di dada tak kunjung reda. Seketika aku
teringat pada sebuah hadits yang menerangkan tentang hukum meratapi orang mati.
Hadits itu berbunyi:
Dari
Abu Hurairoh radhiallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wasalam bersabda, “Dua hal yang ada pada manusia dan keduanya menyebabkan
mereka kafir: mengingkari keturunan dan meratapi kematian” (HR. Muslim). "Astaghfirullahal'adzim,
astaghfirullahal'adzim" ku ulang-ulang bacaan istighfar agar aku tidak
terjerumus dalam kesedihan terus-terusan. Aku harus ikhlas atas kepergiannya,
karena kematian merupakan sebuah awal kehidupan abadi bagi orang yang meninggal
dan ujian bagi orang-orang yang ditinggalkan. Tidak ada gunanya juga aku terus
meratap, lebih baik ku panjatkan banyak do'a agar ia disana bahagia dan di
lapangkan kuburnya.
***
Takdir berkata lain, pernikahanku tetap
dilangsungkan sesuai jadwal yang telah ditentukan. Jas hitam menutupi kemeja
putih yang ku kenakan. Aku melangkah keluar kamar menghampiri Pak Kyai yang
menungguku sedari tadi. Aku tersenyum penuh rasa syukur, Pak Kyai berdiri dan
membalas senyumanku dengan penuh haru. Pagi ini akad nikah akan segera
dilangsungkan di masjid Pondok Pesantren Al-Barokah. Kini aku hanya bisa
tawakal kepada Allah, aku menyesal karena sempat menyalahkan keadaan, tak ingin
ku ulangi lagi perbuatanku tempo hari yang pada akhirnya malah menjadi bumerang
bagi diri sendiri. "Terimakasih Ya Allah,,," ucapku dalam hati.
Telapak tanganku semakin erat menjabat
sembari menyimak lafad akad. "Saya terima nikahnya Anggita Putri binti
Burhanuddin dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Penghulu yang duduk berhadapan denganku mengedarkan pandangan kepada
orang-orang yang menyaksikan. "Bagaimana? Sah?" sebuah pertanyaan
dilontarkan, dan diikuti ucapan "Sah" yang terdengar saling
bersahutan. Ku lepas telapak tangan yang sedari tadi berjabatan dengan Pak
Burhan, do'a pun dipanjatkan, ku telungkupkan kedua tangan ke wajah untuk
mengaminkan. Perasaanku bercampur menjadi satu, berpadu antara bahagia dan
haru. Pandanganku mengarah kepada wanita berkebaya yang kini ku sebut sebagai
istri, wajahnya basah oleh air mata, ia menangis tanpa suara. Entah perasaan seperti
apa yang dirasakannya, jika bukan karena wasiat Almarhumah kakaknya, mungkin
akad nikah ini tak akan pernah terlaksana. Aku salut dengan keteguhan hatinya,
sampai-sampai ia rela mengorbankan perasaannya dan menikah dengan laki-laki
yang sudah jelas bukan pilihannya sendiri bahkan tidak terprediksi.
***
Matanya masih sembab, namun senyuman
diwajahnya tetap tersirat. Diraihnya tangan kananku dan menyalaminya penuh
khidmat, ku usap kepalanya yang dibalut kerudung berwarna biru muda. Anggita
belum mau bercerita tentang detik-detik menjelang kepergian kakaknya, air
matanya akan luruh seketika mendengar nama kakak tercintanya, untuk itu aku
tidak boleh terlalu memaksa karena mungkin ia masih trauma.
Jarum jam menunjuk angka 3, kami berdua
larut dalam do'a. Seperti biasa, udara malam menusuk hingga ke tulang, namun
keheningan sudah tidak begitu aku rasakan karena kini aku tak sendiri lagi.
Pernikahan kami memang diawali dengan masalah yang datang bertubi-tubi, namun
ini tidak menjadi suatu penghalang bagi kami untuk terus merajut mimpi dan
memperkokoh pondasi rumah tangga kedepannya. Langkah awal yang harus kami
tempuh adalah dengan banyak bersabar dan bertawakal agar Allah senantiasa
memberikan jalan sekaligus kemudahan dalam melalui segala cobaan. Aku percaya bahwa
Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Pagi ini ku mulai kembali aktivitas
sehari-hari yang sudah lama terhenti. Gita sibuk berkutat dengan peralatan
dapurnya, menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Seperti biasa, ku kenakan
kemeja dan celana panjang yang telah distandarkan oleh Pesantren tempatku
mengaplikasikan ilmu.
Tak berselang lama, sarapan sudah
tersusun rapi di atas meja. Kami duduk berhadapan. "Mas Irwan,,"
panggilnya sembari mengisikan piringku dengan nasi. "Iya dek, ada
apa?" sahutku menatap wajahnya, sembab di matanya sudah tak tersisa. Sifat
periangnya perlahan mulai kembali, senyuman di wajahnya membuatku lega.
"Terimakasih.. atas kesabaran antum dalam membimbing Gita." Matanya
berkaca-kaca, tangisnya pecah seketika sebelum sempat melanjutkan kata-katanya.
***
"Kak Ran, bagaimana rasanya
menjelang hari pernikahan?" Gita memulai percakapan di tengah perjalanan
mencari kendaraan untuk pulang karena hari sudah menjelang malam. Rani
tersenyum, dielusnya kepala Gita, "Kakak bahagia dek. Mendapatkan Mas
Irwan adalah suatu kebahagiaan, untuk itu kakak tidak ingin mengecewakannya
apabila saat itu tiba." Gita mengernyitkan dahi tak mengerti, "Maksud
kak Ran mengecewakan bagaimana?" ditatapnya wajah teduh Rani mengharap
jawaban pasti. Rani masih belum memberikan jawaban, pandangannya lurus menatap
jalan. "Dek, Mas Irwan itu laki-laki sholeh. Kakak banyak belajar darinya,
belajar tentang memaknai kehidupan serta agama tentunya. Untuk itu kakak
berharap kamu juga belajar seperti kakak kepada Mas Irwan, dan jangan sampai
kamu mengecewakan." Gita hanya mengangguk pelan, ia tak sadar bahwa itu
adalah kata-kata terakhir yang diucapkan kakaknya.
Ku raih tubuhnya yang gemetar, berusaha
untuk menenangkan. Ku hapus perlahan air mata di pipinya, aku lega Gita sudah
dapat mencurahkan segala perasaan yang membebani pikirannya.
***
Dua bulan sudah kami hidup bersama,
berbagai rintangan telah kami lewati berdua. Gita sama sekali tidak mengeluhkan
kehidupan barunya yang terlampau sederhana, ia begitu khidmat dan bersemangat
dalam belajar ilmu agama.
Aku menghela nafas panjang, kali pertama
aku membuka kotak simpanan berisi uang yang ku kumpulkan tiap awal bulan. Aku
mulai sadar, sadar bahwa aku butuh uang tambahan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Pendapatanku tiap bulannya tidak seberapa dan kini aku hidup
berdua. Siang itu aku terlalu larut dalam pikiran, sampai-sampai tak sadar Gita
sedari tadi memperhatikan. “Mas Irwan mikirin apa?” Aku segera tersadar dan
mencari asal suara. “Tidak dek” jawabku lesu. Kini Gita duduk disampingku,
memegang lembut pipiku, “Katakan mas, jangan antum pendam sendiri.” Ku tatap
matanya penuh ketulusan, lidahku kelu, tak satupun kata yang keluar dari
mulutku.
***
Keheningan malam mulai kurasa, aku duduk
berdua dengan Gita. Ku curahkan segala kegundahan dalam dada kepadanya.
"Dek,,,," tak kuasa ku
lanjutkan kata-kata setelah mendengar isak tangisnya. Wajahnya yang teduh
seketika berubah setelah air matanya jatuh berlinang membasahi pipi merahnya.
Aku hanya bisa larut dalam diam.
"Pergilah mas, InsyaaAllah aku
ikhlas" suara lembutnya mencairkan suasana. "Hanya satu pesanku dan
jangan sampai engkau lupakan itu. Jagalah hubungan baikmu dengan Allah SWT,
niscaya Ia akan memudahkan jalan atas segala yang engkau cita-citakan. Aku akan
selalu berdo'a untukmu, kekasihku" lanjutnya dengan berlinang air mata. Aku
terperanjat mendengar kata-katanya, lagi-lagi aku terkagum-kagum dibuatnya.
***
Adzan subuh berkumandang, beberapa
pejuang mulai terlihat memasuki pelataran masjid. Ku bulatkan tekad, ku
mantapkan niat, ku tunaikan sholat dua rokaat. Ketenangan mengalir hangat,
menjalar ke seluruh nadi, menentramkan hati.
Belajar memaknai sebuah Hadits Nabi yang
berbunyi, Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “Dua raka’at Shalat Fajr lebih baik dari pada dunia dan
seisinya.” [HR. Muslim] Hadits ini telah menjadi motivasi pembangun optimisme
diri.
Mentari pagi masih belum menampakkan
diri, hari ini aku akan pergi bekerja ke luar negeri, Malaysia menjadi tujuan
utama karena banyak teman yang tinggal disana baik untuk bekerja maupun untuk
melanjutkan jenjang pendidikan mereka. Alhamdulillah mertuaku tidak keberatan
atas keputusan yang telah kami sepakati, untuk sementara waktu Gita ditemani
oleh ibu. Hari itu adalah terakhir kalinya aku melihat wajahnya, tak tega
rasanya meninggalkan Gita yang sedang hamil muda, namun apa daya karena ini
juga untuk masa depan kami bersama nantinya, ku serahkan segalanya kepada Sang
Pencipta, sebagai seorang Hamba aku hanya dapat berusaha mewujudkan apa yang
telah aku cita-citakan.
***
Bertahun-tahun kami hidup berjauhan,
bertahan dengan hanya berkomunikasi lewat lembaran kertas yang berisi curahan
hati masing-masing dari kami. Rasa rinduku sudah tak tertahankan lagi,
kuputuskan untuk pulang ke Indonesia walaupun sebenarnya masih ada ikatan
kontrak kerja.
Dan disinilah sekarang aku berada, di
desa tempatku pertama kali melihat dunia, desa yang menyimpan banyak kenangan
dengan orang-orang yang ku sayang. Nafas ini telah normal kembali, ku lanjutkan
kembali perjalanan untuk menemui istri dan anakku tersayang. "Nak, Ayah
pulang".
Sinar matahari mulai menyengat hingga
lapisan kulit ari, kakiku terus melangkah menelusuri jalanan yang membelah desa
menjadi dua bagian. Orang-orang mulai berlalu lalang, sibuk menekuni kegiatan
individual. Sukar rasanya untuk menyapa, beribu kata tak dapat terucap,
berbagai pertanyaan tak dapat terjawab. Hanya
ada satu hal yang sedang aku pikirkan, keluarga kecilku. Sepanjang perjalanan
pikiranku melayang, berusaha mereka-reka air muka Pak Kasim.
Aku tersadar setelah mendengar suara
benturan. "Aduh.." lirih anak perempuan yang terjatuh dari sepeda
mininya. Dengan segera aku menghampiri dan menolongnya. Lututnya terluka, namun
tak keluar setetes pun air mata. "Sakit?" tanyaku sambil mengusap
lututnya yang terluka, ia hanya nyengir menahan sakit. "Adek dari mana?
Kok sendirian?" aku kembali bertanya. "Habis beli obat om, buat
ibu" jawabnya polos. Aku terdiam, terharu menatap wajah mungil di
pangkuanku, umurnya sekitar empat tahunan namun rasa sayang dan pengabdiannya
kepada orang tua tidak seperti anak-anak pada umumnya. "Om, Ata pamit
pulang dulu ya, ibu sudah menunggu" tegurnya membuyarkan lamuanan.
"Oh, biar om antar ya dek?" tak tega aku membiarkannya pulang
sendirian, langkahnya sedikit pincang dikarenakan luka pada kedua lututnya, ia
hanya mengangguk pelan.
"Itu rumah Ata om", tunjuk
jari mungilnya kearah sebuah rumah. Aku berhenti, berdiri mematung. Mulutku
bungkam, tak mampu mengucap perkataan. Tanganku gemetar melihat sebuah
pemandangan yang mencampur adukkan perasaanku. Tas besar dan sepeda mini ku
geletakkan begitu saja, tubuh kecil Ata naik turun diatas punggungku seirama
dengan derap langkah yang kecepatannya semakin lama semakin bertambah.
"Assalamu'alaikum", aku
segera menerobos masuk tanpa menunggu seseorang membukakan pintu terlebih
dahulu. Ku lihat seorang wanita tergolek lemah di atas dipan, ku turunkan Ata
dari gendongan. Matanya masih terpejam, sesekali wajahnya mengernyit menahan
rasa sakit. "Ibu, bangun.." pinta Ata sembari menggoncangkan lembut
tubuh wanita yang ia sebut sebagai ibunya. Perlahan matanya terbuka, ia
tersenyum melihatku yang berdiri di samping tempat tidurnya. "Mas Irwan!
Aku pasti sedang bermimpi" lirihnya sambil memejamkan matanya kembali.
Ku peluk erat-erat tubuh mereka, aku tak
dapat lagi menahan air mata. Kami bertiga diam seribu bahasa, terlarut dalam
tangisan yang berlangsung lama, menumpahkan segala kerinduan yang telah
terpendam teramat dalam.
-TAMAT-