Jumat, 18 November 2016

RENUNGAN DI KALA PETANG



Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa motivasi terbesar anda?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab seadanya, “Jangan pernah meratapi kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.”
Keheningan malam adalah suasana paling menenangkan, karena di saat itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan jangkrik di luar sana menjadi teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku memilih untuk terjaga hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya yang telah kukerjakan sejak lama.
           Jam dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala, jemariku dengan lihai menari di atas keyboard, sesekali ia terhenti, dan di situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan beberapa tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak sedikitpun lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di layar komputer kembali kubaca dengan seksama, menelaah setiap kata untuk sekedar mendalami makna dari karya yang telah kucipta.
         Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, dari sanalah bermula seluruh kisahku.
***
         Semilir angin menyibakkan kerudung panjang yang kukenakan, awan mendung menggelantung, menampung beban yang tak lama lagi akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu jejeran bangunan di bawah sana, sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak berwarna kekuningan pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran hangat mengalir di pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar merekah yang tiba-tiba saja layu.  
       Kelebat bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku terpuruk ke dalam lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku merasa segala usaha telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.
         Air mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersenggal menahan isak tangis agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan mendung yang terus menerus berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti suara guntur yang mulai bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit, beberapa saat kemudian hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja yang menjadi penghalang. Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang.
            Sore itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta tujuan. Bersama derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan. Namun tak lama berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku terseret seolah melayang.  
***
      Bingkai piagam bertuliskan Siswa Teladan terpampang di dinding ruang tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh penghuni rumah itu. Jajaran piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah lomba, membuat suasana ruangan kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama yang tertera di seluruh bingkai piagam perlombaan, perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi seorang penulis adalah cita-citaku dari dulu.
“Najma, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa ndak sayang sama tawaran masuk ke  Universitas besar?” Suara parau Ayah memecah keheningan di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku yang sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas berbasis pesantren.
Televisi di ruang keluarga menyala, salah satu kanal tengah menyiarkan sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota Aleppo, Suriah. Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari menyebabkan ribuan orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami luka-luka.
       “Najma punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah satu Universitas berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat” lanjutku dengan nada mantap.
          Ayah menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke arahku. Entah sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku untuk masuk ke Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah, untuk itu beberapa hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan keluargaku. Pamanku yang juga alumni dari Universitas itu ikut membujuk Ayah, bahkan paman sampai bilang, jika Ayah tetap tidak mengizinkan, maka beliaulah yang akan membiayai kuliahku di Universitas Darussalam.
        “Pergilah nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari mengelus pelan kepalaku. Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu pula denganku.
***
           Pintu gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya nampak jelas kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan menuju kesuksesan, jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan sejajar dengan bintang-bintang di angkasa luar.
       “Bismillah”, ucapku sembari melangkah memasuki pintu gerbang yang di desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi, sinarnya terpancar menerangi seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran 1 x 2 m bertuliskan Kawasan Wajib Berbusana Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang, dalam benak aku bergumam penuh keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah Najma tidak salah jalan.”
Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas Darussalam.
***
          Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hariku terlewati dengan mudah, dan yang terpenting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku kewalahan, namun sebisa mungkin aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang seharusnya menjadi prioritas. Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
            “Najma!” seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku pun menoleh dan mencari asal suara, nampak Ida, sahabat karibku tengah tergopoh berlari ke arahku.
Congratulations Najma! Your article was published in the megazine of campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA, singkatan dari Majalah Lintas Kampus. Aku tertawa melihat ekspresi seseorang yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersenggal dan wajah nampak kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar kembali seperti sedia kala.
 “Limaa tajriina? While I can know about it later (Lagian kamu ngapain sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),” ucapku sembari menyeringai lebar.
That's you. Not change, same as previous, never know how to say thanx (Gitu tuh, kamu. Tetep aja kaya dua tahun sebelumnya, gak pernah tau caranya berterimakasih),” ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
Pentingnya mempelajari dan menguasai dua bahasa ini pernah dibahas dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one knows, about the future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being visited Jerman or USA for example, you can communicate  with German and American people with english language if you don’t know about the local language they have, because english is the international language and both of them understand about it, except, u talk english language to mute people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah Arab, we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”
Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan di Universitas Darussalam, konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari keseharian mahasiswa, mulai dari makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap mengusung istilah “ukhuwah”.
Na’am, syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah” dan seketika kami berdua tertawa.
***
           Announcement! To our beloved sister, she is Najma Annisa, hope to come to BEM’s office after this announcement, exactly! Suara bagian penerangan nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di laptop, pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi kukerjakan. Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran. “Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”
        Kuterjang panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan mengayuh pedal sepeda semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan jauh dari kantor BEM.
      “Najma, besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar Jerman untuk Indonesia di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan banggakan kampus putri kita tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi gemilang yang telah kamu persembahkan beberapa tahun terakhir untuk Universitas, jangan berpuas hati, apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa selaku ketua BEM di kampus UNIDA putri.
Aku hanya mengangguk pelan tanda meng-iyakan. Menjadi satu-satunya delegasi merupakan kesempatan langka, untuk itu aku harus menyiapkan segalanya dengan seksama.
***
        Pamflet besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar Jerman untuk Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura. Hamparan sawah di sisi kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat terkena sinar mentari yang baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan menghilang seiring dengan posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra dan kampus putri diperkirakan mencapai 100 km atau membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dengan kendaraan darat. Mobil yang membawa delegasi dari kampus putri mulai berjalan memasuki pintu gerbang.
            Suasana aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang sebentar lagi akan dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya sedikit delegasi dari kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa, sehingga tidak membaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat kemudian, rombongan orang berwajah kebarat-baratan memasuki ruang perkumpulan. Pembawa acara mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.
Pukul 11 siang, acara berjalan dengan lancar. Kesan pertama yang disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada UNIDA adalah rasa kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas Pesantren yang memiliki sistem pendidikan full time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan dalam perkuliahan yang diberikan, namun kegiatan sosial di luar perkuliahan juga diajarkan. Semua serba terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi semboyan dalam kehidupan, peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan antara anak menteri dan anak petani, jika melanggar, maka sama-sama akan diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama terhadap orang yang lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan sekedar teori yang hanya mengendap dalam pikiran.
At least, I wanna make a student exchange betwen UNIDA and Freie Universität Berlin for one month. I need two student to being the delegation for this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di aula.
            Pergi ke negara jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk menyusuri jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan dan pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh bangsa Barat. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada sangkut pautnya dengan agama, sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan sesuatu untuk menghancurkan demi perebutan kekuasaan. Lihat saja teror bom di Palestina dan Suriah yang terus menerus menumpahkan darah, menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah.
            Dengan tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah satu mimpiku dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai dengan kenyataan, pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar akan diadakan secepatnya, dan paspor menjadi syarat yang paling utama. Aku menghela nafas panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
        Hujan turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar mengerikan. Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik lenganku dengan kencang mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk menahan kedinginan, tak ada percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan meratapi kegagalan?” ucapnya sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar berusaha untuk menyadarkan.
“Masih banyak kesempatan Najma, dan kesempatan itu takkan pernah ada jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!” Teriak Ida diiringi suara guntur dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan yang telah aku lakukan. Ya, tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele adalah sifat yang harus kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang kulakukan selama ini selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan yang selama ini aku berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan angin yang berembus menenangkan, “Gagal menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena paspor???? Hmmm.. Ida benar, masih banyak kesempatan.”
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan renunganku. Api semangat yang hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun tersenyum menatap Ida seraya berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu ada di kala suka maupun duka J”.
***
         Aula kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan serta eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan di hari itulah seolah semua terbayar.
       Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda dibuka. Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman pemberian beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara cuma-cuma dari Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.
“Bukan karena kepandaian, namun karena kegigihannya untuk meraih impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim tulisan berupa artikel, opini, ke Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit heran, kenapa harus Jerman? Ternyata setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai cita-cita mulia yang juga menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah, langsung saja kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju kedepan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Aku terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran hangat tertahan di pelupuk mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan menuju podium. Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata Ida, “Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti akan ada kemudahan.”
***
         Malam semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan sejak lama akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di atas meja, besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya, sekarang aku adalah dosen tetap di Freie Universität Berlin. Ternyata benar kata dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe, seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach Berlin, so scheint es Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di jalan. Cepat kembali ke Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, satu pesan terpampang pada nyala layar.
Aku mengurungkan niat sejenak untuk beranjak, rasa rindu membuncah dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang saat ini berada di Berlin. Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed, seorang muslim Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami berdomisili di Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat foto Fahma yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan mereka berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan kisah perjalananku “terdampar” sampai ke Jerman.
Najma : Oh, so einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed entging ihr nicht ??? Gut, morgen sehen, keinen lieblings rendang gericht auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine, lihat saja besok, tidak ada sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed : Haha..  I really,, really miss you my honey
Ahmed : Love you so much
Ahmed : Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali cinta, aku ingin makan rendang) \(^_^)/
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa membaca pesan ketiga yang dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak mata memilih untuk terpejam daripada mengambil air wudhu dan terbalut kedinginan. Di atas sajadah panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air mataku bercucuran saat mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan. Betapa angkuhnya manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia beserta seluruh isinya. Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-






             





 

           : -
 


Senin, 07 November 2016

SEGENGGAM AMANAH



“Apa yang membawamu kembali ke tempat ini?”, Fatih membuka percakapan.
Dalam gelap malam tanpa penerangan lampu pijar, kami duduk bersebelahan sembari menjuntaikan kaki, mata kami menatap suasana bumi Darussalam yang dihiasi lampu-lampu pada setiap sudut bangunan.
“Segenggam amanah”, jawabku sembari menerawang langit malam bertabur bintang. Sesekali angin berembus kencang, menyibakkan sorban putih bercorak hitam putih yang aku kenakan.
“Tidakkah kau ingin pulang Lif?”, tanya Fatih kembali dengan nada sumbang.
Aku hanya menyunggingkan senyuman. Fatih menatapku heran dan untuk beberapa saat kami berdua terdiam, kedinginan menembus hingga ke tulang.
Sepuluh tahun berlalu semenjak aku dan Fatih mematri sebuah janji, ya, janji untuk kembali ke tempat ini. Dari atap gedung Saudi inilah, bermulanya sebuah kisah.
***
            Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, hari masih sangat pagi, gulita pun menyelimuti jiwa-jiwa yang tengah berpetualang mengitari setiap sudut dunia mimpi.
Allahu Akbar.. Allaahu Akbar..
Adzan subuh berkumandang, mencoba membangunkan setiap jiwa yang merasa tenang, dalam balutan selimut penuh kehangatan. Di ruangan berukuran 7 x 8 m, dua puluh lima santri masih terlelap di atas kasur busa setebal 5 cm. Sayup-sayup terdengar suara gebrakan kasar, berurutan mulai dari kamar yang paling dekat dengan tangga asrama lantai dua.
Semakin lama, suara itu semakin mendekat, brak..brak..brak.. tongkat bagian keamanan mendarat di pintu kamar, berulang-ulang, membuat mimpiku buyar dan seketika terduduk dalam keadaan setengah sadar.
            “Qum!! Qum!! Idzhab ilal masjid!! (Bangun!! Bangun!! Pergilah ke masjid!!), dan segera aku menyambar sarung yang tergantung di depan almari. Gerakan kami di pondok ini harus extra cekatan, sekali susah dibangunkan, sudah pasti akan dimandikan oleh bagian keamanan, langsung di atas kasur yang jauh dari kata tebal.
            Tak ada yang lebih menentramkan kecuali suasana masjid Darussalam saat fajar menjelang. Di sanalah aku menemukan sesuatu yang lain, sesuatu yang mebuatku bertahan hingga sekarang. Masih jelas tergambar dalam memori ingatan, aku merasa telah dibuang. Tak sayang lagikah Ayah dan Ibu kepadaku? Dalam balutan gulita aku mengadukan segalanya, kepada Dzat Yang Maha Mendengar setelah sholat fajar.
***
            “Ibu.. aku mau pulang, gak betah..”, aku terisak dalam bilik telepon, butiran hangat terus menganak sungai di pipiku. Antrean di wartel sangatlah panjang, namun sama sekali tak kuhiraukan. Saat itu, tak ada lagi yang aku pikirkan selain pulang, pulang dan pulang.
            “Coba dulu seminggu, nanti kalau masih belum betah bisa pulang”, kata Ibu berusaha meyakinkanku.
Satu minggu berlalu, aku menagih janji Ibu tempo hari, namun sama sekali tak kudapati. Hanya jawaban sama yang kudapat pada minggu-minggu setelahnya, sampai aku bosan dan pada akhirnya memilih untuk bertahan.
            Langit siang nampak begitu cerah, terlihat di bawah sana, para santri berlari-lari kecil sembari membawa alat makan menuju dapur umum. Antrean yang sangat panjang terkadang membuatku memilih untuk tidak makan dan pergi ke tempat ini, ya, atap gedung Saudi. Tempat yang menjadi saksi sebuah perjuangan, perjuangan yang teramat berat aku rasakan, bak merangkak mencari mata air di tengah gurun yang gersang, nanar mata ini tuk menatap ke depan, hilang arah serta tujuan.
            “Sedang apa?”
            Suara itu membuyarkan lamunanku, tak biasanya ada orang lain disini, selain hanya aku seorang diri, termenung dan kadang mengabadikan pengalaman sehari-hari dalam bentuk tulisan.
            “Sedang menulis”, jawabku singkat.
            Itulah kali pertama aku bertemu dengannya, Muhammad Al-Fatih, seseorang yang kuanggap sahabat hingga sekarang. Pondasi persahabatan kami sederhana saja, ya, hobi yang sama. Dulu, setiap selesai belajar kami selalu duduk menatap wajah malam, terkadang purnama nampak bersinar terang diantara kemerlip ribuan bintang, tempat kami menggantungkan mimpi-mimpi serta harapan.
***
Teng...teng...teng...
            Suara lonceng besar menggema ke seluruh penjuru pesantren, pukul tujuh tepat. Gedung-gedung asrama nampak sepi seperti tak berpenghuni, hanya beberapa santri yang memang sedang piket terlihat sibuk menyapu dedaunan di halaman. Gedung asrama terletak berjajar seperti kompleks perumahan, masing-masing mempunyai halaman dengan pepohonan rindang. Jalan lebar di tengah jajaran gedung asrama tak beraspal, hanya tanah yang pada musim hujan akan berubah menjadi genangan. Sudah tak terhitung berapa kali aku harus membeli alas kaki saat musim hujan, dan yang aku heran, hanya tersisa satu bagian, entah itu kiri maupun kanan. Mungkin terselip di selokan.
Hahaha, sungguh nostalgia yang menyenangkan.
            “Man saaro ‘alaa darbi washola”
            Samar-samar suara teriakan terdengar serentak dari sudut lain pesantren Darussalam, dengan semangat berkobar kata-kata tersebut kembali diulang. Suasana kelas hening kala Ustadz menjabarkan maksud dari kata mutiara yang mereka teriakan sebelumnya. Aku menyimak dengan seksama, pesan yang terkandung di dalamnya sungguh membuatku terkesima, “Barang siapa yang berjalan pada jalannya, sampailah ia”.
Energi positif mengalir tiba-tiba, rasa tidak betah yang menyelimutiku hilang seketika. Aku menghela nafas panjang, seulas senyuman kutunjukkan demi menyambut masa depan gemilang.
            “Alif sehat???” ledek Fatih yang sedari tadi memperhatikan, matanya memerah dan hampir terpenjam, kebiasaannya adalah mengantuk saat jam pelajaran pertama, dan aku tahu betul alasannya.
Aku tertawa dan sedikit meninju bahu Fatih sembari berkata, “Tumben gak tidur Pak Ustadz..” dan tawa kami pun bergelak.
            “Al-waraa’, lima tadzhakumaa? (Yang belakang, kenapa kalian berdua tertawa?)”, Ustadz Ramli mengacungkan telunjuknya ke arah kami, disusul dengan perintah, “Ukhrujaa wa kumaa tahta dhiyai syams, al’an!! (Keluar kalian berdua dan berdiri dibawah terik matahari, sekarang!!)” tergopoh kami berdua keluar untuk mengerjakan hukuman, berani berbuat, harus berani bertanggung jawab.
            Hahaha, lagi-lagi nostalgia yang mengundang tawa.
***
            “Apa kau ingat Lif?”
      “Apa?” kataku sembari mengalungkan sorban hingga menutup setengah wajahku karena kedinginan.
            “Aku sangat bersyukur memiliki sahabat sepertimu, sahabat yang selalu ada bukan hanya di saat suka, namun saat duka pun kau selalu ada, meskipun harus ikut memikul hukuman untuk kesalahan yang sama sekali tidak kau lakukan”, suara Fatih parau.
            Aku tersenyum di balik balutan sorban seraya menepuk bahu Fatih untuk menyemangati, “Lupakan Fat! Jangan ungkit masa lalu yang tidak menyenangkan, masa depan kita masih panjang, cukup kamu jaga dan bimbing dek Isma dalam keistiqomahan. Masa lalu jangan dijadikan ratapan, namun jadikanlah pelajaran. Jangan pernah mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.”
Kala itu, sebuah peristiwa terpaksa membuat jeda, persahabatan yang kami jalin bersama hampir saja tiba di penghujung masa. Peristiwa yang hingga kini menjadi bayang-bayang dalam pikiran, namun demi menjaga perasaan Fatih, aku selalu menyimpannya dalam diam, walaupun hati ini begitu perih menahan kekecewaan.
***
         Matahari mulai menyongsong pagi, perlahan gulita tersibak pancaran cahaya yang menyemburat di ufuk timur. Kemuning padi memperindah pemandangan sisi belakang bumi Darussalam. Dari atas bukit buatan aku termenung sendirian, di bawah gazebo bambu pena hitam mulai kuayunkan, mengisi lembaran demi lembaran buku tulis yang semula putih tanpa adanya coretan.
            Burung-burung berkicauan riang, terbang bergerombol saling mengejar, sesekali hinggap di dahan pohon yang rindang. Pikiran dan tanganku bergerak seirama menciptakan sebuah karya, aku menghela nafas panjang, sesak dada ini mengenang kejadian tempo hari. Aku merasa telah gagal, amanah yang Ayah berikan tak dapat sepenuhnya aku emban. Amanah untuk menjaga adikku Isma dalam keistiqomahan, seperti yang beliau katakan sebelum meninggal. Usia kami berdua terpaut dua tahun, Isma berada di pesantren yang sama, hanya saja berbeda lokasinya. Jarak pesantren Darussalam putra dan putri adalah 100 km, seperti syarat yang dikemukakan oleh Trimurti pendiri pesantren Darussalam. Peristiwa tak menyenangkan itu bermula saat aku mengajak Fatih untuk menjenguk dek Isma di pondok putri.
Andaikata, adalah suatu keputus asaan yang nyata. Namun apalah daya, nasi yang telah menjadi bubur tidak dapat kembali dalam bentuk aslinya.
***
            Ustadz Mustaqim terdiam setelah beberapa saat naik pitam, tak henti mengintrogasi, memarahi, dan menasehati dua orang santri yang telah melanggar peraturan sekaligus melakukan kesalahan terbesar. Aku dan Fatih hanya tertunduk diam, tak ada pembelaan yang kami lontarkan jika Ustadz bagian pengasuhan itu tak memperkenankan kami untuk menjawab, karena semua itu adalah bagian dari nilai adab dan kesopanan.
            “Alif, apa kamu tahu kalau ternyata temanmu ini secara diam-diam menjalin hubungan di luar batas kewajaran dengan ADIKMU yang saat ini berada di pondok putri?” Ustadz Mustaqim menekankan satu kata yang membuat mataku terbelalak mendengarnya. Bagaikan disambar halilintar di tengah siang tanpa adanya mendung ataupun hujan. Aku terdiam, hanya mengisyaratkan gelengan sebagai jawaban.
            Hari itu, kira-kira empat tahun yang lalu, tepat seminggu setelah kami melalui ujian niha’iy atau ujian akhir KMI (Kulliyatul Mu’allimin Al-Islamiyah). Seharusnya hal seperti itu tidak terjadi, seharusnya kami sedang tak sabar untuk menanti hari kelulusan, hari dimana air mata kebahagiaan bercucuran. Sungguh bukan akhir seperti itu yang aku harapkan, menangis dalam kepedihan karena harus pulang dengan tidak terhormat, diusir karena telah melakukan maksiat. Pacaran dalam Islam adalah haram, begitu pula di pondok ini, konsekuensi bagi si pelanggar adalah DIKELUARKAN.
***
            Empat tahun sudah diri ini kuabdikan, kepada pondok yang sudah mendidikku hingga menjadi seperti sekarang. Tak cukup rasanya bila hanya melakukan pengabdian dan setelah itu pulang. Tiga hari tiga malam aku meminta petunjuk kepada Dzat Yang Maha Mendengar, bersimpuh di sepertiga malam hingga adzan subuh berkumandang.
            Ramadhan tahun ini aku pulang, senang rasanya dapat berkumpul kembali bersama mereka, keluargaku tercinta. Ibu sedang sibuk dengan Alia, buah hati Fatih dan Isma. Dua tahun setelah peristiwa pengusiran itu, mereka berdua memutuskan untuk menikah. Aku menghargai pertanggung jawaban yang Fatih berikan untuk menebus kekhilafan sekaligus mengeratkan kembali tali persahabatan yang telah renggang semenjak kejadian.
Ibu melambaikan tangannya kepadaku yang sedari tadi termangu di balik kelambu pintu ruang tengah. Aku tersenyum sembari berjalan ke arah Ibu, gurat wajahnya semakin menua, aku tak tega untuk mengutarakan niat yang telah membulat menjadi tekad.
“Ibu..”, ucapku sedikit ragu.
Iya nak, ada apa?”, jawab Ibu sembari memegang kedua tanganku.
“Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Ibu sedikit penasaran.
Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan, “Alif punya cita-cita bu, cita-cita yang in syaAllah sangat mulia. Alif merasa apa yang pondok berikan kepada Alif teramat besar, tak cukup jika hanya bentuk pengabdian sebagai syarat pengambilan ijazah saja yang Alif lakukan, Alif ingin mengabdi secara keseluruhan. Jika Ibu berkenan, bolehkah Alif mewakafkan diri kepada pondok?”
Kulihat mata ibu berkaca-kaca, dielusnya kepalaku dengan penuh cinta. “Lif, Ibu bahagia sekali kamu punya cita-cita yang sangat mulia. Ayahmu pasti bangga di alam sana. Pergilah nak, Ibu tidak akan menyergah.”
Kubenamkan wajah dalam pelukan Ibu, tangis bahagia pecah diantara kami berdua. Keesokan harinya akupun kembali ke pondok setelah satu minggu lamanya menghabiskan waktu bersama keluarga.
***
Aku mematung di depan gerbang pesantren. Ke Darussalam Apa Yang Kau Cari, itulah kalimat sambutan yang terpampang di pintu gerbang, kalimat ini akan terus terpampang agar santrinya tahu, untuk apa mereka datang ke Darussalam.
Pak Kyai pernah berpesan dalam sebuah forum, “Ke Darussalam adalah untuk mencari pendidikan dan pengajaran, karena Darussalam adalah tempat pendidikan mental dan karakter. Di sinilah para santri akan dididik untuk menjadi seorang ulama’ yang intelek, bukan intelek yang tahu agama. Karena pemimpin harus mempunyai kriteria pemimpin. Darussalam mencetak kader-kader pemimpin umat untuk kejayaan bangsa, dari sinilah seorang pemimpin harus berani berkorban, berpikir keras, bekerja keras, dan berdo’a keras”.
Tepat adzan dhuhur berkumandang, para santri dengan pakaian rapi bergegas memenuhi panggilan Ilahi. Kupandang bangunan kokoh di depanku, muara pandangan yang takkan pernah lekang, akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan, mimpi yang tempo hari Allah berikan sebagai jawaban atas do’aku di sepertiga malam.
Perlahan kakiku melangkah, mendekati bangunan megah dengan susunan anak tangga tepat di bagian tengahnya. Hatiku bergetar hebat, butiran bening tertahan di pelupuk mata, inilah awal masa depan yang dahulu pernah aku cita-citakan, masa depan gemilang. “Bismillah...”, lirihku sembari memijaki satu persatu anak tangga menuju satu tempat bernuansa surga.
***
            Jam tanganku menunjukkan pukul 11 malam, angin semakin berembus kencang. Kerikan jangkrik memecah keheningan, tak ada percakapan, aku dan Fatih masih terdiam menatap langit malam.
            “Ini janji kita sepuluh tahun lalu”, aku mengeluarkan bingkisan dari balik jas hitam yang aku kenakan. Janji sepuluh tahun itu adalah saling bertukar karya karena hobi yang sama. Sebuah buku bersampul coklat muda dengan judul Segenggam Amanah kusodorkan kepada Fatih.
            “Sudah kuduga, kau memang hebat kawan”, ucapnya seraya menepuk-nepuk bahuku tanda rasa bangga. Wajah tampannya kembali cerah setelah beberapa saat merasa sangat bersalah.
            “Where is yours??”, tagihku seraya memincingkan alis.
            “In your mind”, Fatih tertawa lepas.
“Hahahaha... aku hanya bercanda Lif. Tenang, sahabatmu ini bukan orang ingkar”.
Allahumma ba’id bainaa minar riyaa’ ”, ucapku dengan ekspresi sok datar. Fatih tak henti tergelak, membuatku terpaksa meninju bahunya dengan sedikit kasar hingga ia mengaduh dan berhenti tertawa. Akhirnya ia mengeluarkan sebuah buku tebal dari ranselnya. Sepenggal Cerita Di Lorong Pesantren, buku itu bersampul biru dengan gambar masjid jami’ Darussalam terpampang di depannya, sebuah nama terukir di sisi kiri bawah, Al-Fatih.
Aku tersenyum bangga menerimanya. 
Malam ini telah menjadi saksi sebuah perjalanan, perjalanan penuh perjuangan. Banyak gelombang yang harus kami terjang, lika liku kehidupan terus menghadang, namun dengan niat dan tekad, akhirnya kami diberikan jalan sehingga dapat melewatinya dengan lapang.
-TAMAT-