(Februari
2015)
“Apa kau ingin bukti?” tanya lelaki
berjaket hitam tebal itu meminta kepastian.
Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo, Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi ranting pohon yang gugur tak berdaun.
Anna masih terdiam, tak langsung memberikan jawaban. Menara TV Sapporo yang berhiaskan cahaya lampu menjadi pusat tumpu pandangan. Wajah putihnya pucat menahan perpaduan antara angin malam dan musim dingin kota Sapporo, Hokkaido. Sepanjang jalan menuju taman Odori, kemerlip lampu menghiasi ranting pohon yang gugur tak berdaun.
Lelaki berumur 22 tahun itu
mengehentikan langkah, sorot matanya nampak tajam dari balik bingkai kacamata. Kini
Anna berada beberapa langkah di depannya, pria keturunan Jepang- Indonesia itu
untuk beberapa saat memejamkan mata. Gadis bermata bulat, hidung mancung, dan
bentuk wajah oval khas penduduk Jepang itu membalikkan badan seraya menatap
pria yang berjarak beberapa depa darinya. Tak ada kata, hanya desiran angin
malam seakan menyampaikan gulana, putih salju menjadi saksi bisu.
***
(Flash
Back)
Mendung menggelantung, di luar jendela
kaca besar itu, butiran putih mulai turun dari langit Hokkaido setelah beberapa
bulan sebelumnya mengalami musim gugur. Di luar sana, beberapa anak kecil
berjaket tebal serta hat wool yang
menutup kepala menyambut datangnya musim salju. Seorang gadis berusia 25-an
kembali menatap kosong ke arah taman, nampak memperhatikan setiap gerik
anak-anak kecil yang sedang asyik berlarian di tengah rintik salju. Mata bulat
berlensa coklat menerawang ke arah langit, buku besar di hadapannya terbuka,
menggamblangkan sub judul yang mungkin sedang bergelayut memenuhi isi
pikirannya.
“Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.
“Siapa sebenarnya yang menciptakan alam semesta? Tidak mungkin jika semua ini terjadi secara tiba-tiba,” gumamnya setelah beberapa saat mendalami kata per kata sub judul dari buku panduan kuliahnya.
Filsafat dan Ilmu Budaya adalah
jurusan yang dipilih Nakagawa Anna, mahasiswi pascasarjana di Universitas
Hokkaido karena rasa ingin tahunya terhadap anutan manusia. Lahir di tengah
keluarga tak beragama membuat Anna tabu dengan hal-hal yang berbau kepercayaan.
Hujan salju mulai lebat, jam dinding terus berdetik, waktu menunjukkan pukul 8
pagi.
Tok..tok..tok
Terdengar
suara pintu kamar diketuk dari luar, Anna tak beranjak, geser sedikit dari
tempat duduknya pun tidak. Mata indahnya tetap asyik menatap suasana taman yang
mulai tampak putih terbalut salju.
***
Senyuman mengembang dari balik jas
hitam yang dikenakan. Winter coat
tebal berwarna coklat tua yang sedari tadi membungkus setengah tubuhnya telah
tersampir di sandaran kursi. Ruangan itu nampak sepi, tempat khusus para
pembicara untuk mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan para pendengar
dalam forum khusus seperti seminar dan bedah buku. Lelaki berkulit sawo matang
itu sedikit gugup, beberapa kali ia mondar-mandir di depan kaca sembari
membolak balikan secarik kertas di tangannya. Namun untuk beberapa saat ia
kembali terdiam, menatap kaca setinggi tubuhnya sembari menghela nafas panjang,
bayangan perempuan itu kembali muncul, tersenyum tulus seolah mengirimkan
semangat dari negeri seberang.
“Bismillah,”
lirihnya sebelum meninggalkan ruangan.
Pamflet-pamflet terpampang di depan
balai pertemuan Universitas Hokkaido. Di sana tertulis pengumuman
diselenggarakannya acara bedah buku karangan Fujisaki Hamada. Hamada, begitulah
panggilan akrab mahasiswa jurusan Sastra tahun kedua asal Indonesia. Di usia
yang masih muda bahkan terbilang belia itu, karya pertamanya telah mengundang
banyak perhatian dikarenakan alur cerita menarik yang memaparkan konsep
ketuhanan dalam Islam, hal tabu bagi sebagian besar penduduk Jepang kala itu.
Balai pertemuan kampus nampak ramai oleh
peserta bedah buku, Hamada melirik jam tangannya, pukul 8 tepat, segera ia
menyibak tirai merah yang menyekat panggung aula. Moderator berjas biru tua
menyambut gembira, disusul dengan gemuruh tepuk tangan dari para peserta.
***
“Apa kamu masih marah dengan Papamu
nak?” suara itu mengalun lembut di telinga Anna.
Diam, gadis itu masih diam menatap
ke luar jendela kaca, sepatah katapun tak keluar dari mulut mungilnya.
Perempuan setengah baya dengan pakaian kerja mendekati putri tercintanya,
mengelus pelan pundak yang masih terbalut piama.
“Sudahlah, lebih baik kamu siap-siap
berangkat ke kampus. Bukankah jadwalmu padat hari ini?” ucap Mamanya sembari
melangkah pergi.
Rasa kesal masih menyelimuti hati
yang rapuh, hati yang tak memiliki pendirian teguh, terdobrak oleh makian
angkuh. Gadis itu mulai beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan suasana
taman di balik kaca jendela. Beberapa orang berjaket tebal nampak berlalu
lalang, menerobos lebatnya salju demi memenuhi aktivitas yang tidak dapat
ditinggalkan, sebagian besar dari mereka adalah mahasiswa dan pekerja kantoran.
Anna berjalan menyusuri jalan yang
mulai tertutup salju, sesekali tangannya membenarkan posisi ear muffs. Rambut hitam lurus tergerai
lebat dengan poni yang menyambangi dahi, overcoat
coklat membalut tubuh semampainya. Anna mempercepat langkah, hawa dingin
seakan menembus pakaian yang ia kenakan. Stasiun kereta cepat bawah tanah
menjadi tujuan utama, Anna harus mengejar kedatangan kereta jika ingin sampai
di kampus tepat waktu. Hari ini adalah hari menegangkan kedua baginya setelah
sidang skripsi, yaitu ujian Tesis Pascasarjana.
***
Wajah tampan blasteran Indonesia – Jepang
memancarkan keceriaan. Tutur kata Fujisaki Hamada benar-benar lembut dan sopan.
Pembawaan yang ramah khas penduduk Indonesia begitu kental ia praktekan dalam pengulasan
buku pertamanya yang berjudul, “Labuhan
Cinta Pangeran Surga”. Novel tersebut mengisahkan tentang pertemuan tak
terduga antara dua anak manusia yang berbeda etnis serta agama. Perpaduan kisah
cinta serta penjabaran tentang Islam di dalamnya, hampir saja menggoyahkan hati
Hamada. Ia sempat takut bila karyanya tidak dapat diterima karena unsur
keagamaan yang menonjol. Jepang memang terkenal dengan tingkat toleransi
beragama yang tinggi, namun pada akhirnya ia mampu menapik kecemasan pada
dirinya sendiri. Sebuah janji telah menjadi tameng rasa takut yang sempat
menghantui, janji yang hingga kini pun belum ia yakini telah terlunasi.
Waktu begitu cepat berlalu, tak
terasa satu setengah jam yang diberikan hampir tiba pada titik penghabisan, hanya
beberapa menit tersisa untuk sesi pertanyaan. Penataan tempat duduk di Balai pertemuan berbanjar
setengah lingkaran. Tak lama berselang, peserta yang duduk di barisan depan
mengangkat tangan.
“Apa motivasi terbesar dalam hidup
anda?” tanya lelaki itu kepada pembicara.
“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara. Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia..” Hamada menjeda, setiap wajah terlihat bingung dibuatnya.
“Baiklah terimakasih, saya akan langsung menjawab pertanyaan saudara. Motivasi terbesar saya adalah ingin hidup kekal di dunia..” Hamada menjeda, setiap wajah terlihat bingung dibuatnya.
“Ingin tahu caranya? Simple saja, yaitu dengan menjadi
seorang PENULIS” kata pemuda itu sembari menekankan kata terakhir pada
kalimatnya.
“Berkaryalah sebanyak-banyaknya, ciptakan
karya yang bermanfaat bila dibaca, sehingga nama si penulis akan tetap ada, dan
tetap hidup melalui tulisannya walaupun sejatinya ia tak lagi bernyawa. Guru
saya di Indonesia pernah berpesan, ‘Jika
kamu ingin mengenal dunia.. maka MEMBACALAH! Jika kamu ingin dikenal dunia..
maka MENULISLAH!’” perkataan Hamada diikuti gemuruh tepuk tangan yang
saling bersahutan, menggema hingga keluar aula, terbawa angin mengudara.
***
Bias hitam awan mendung membayang di langit
Jepang, menjatuhkan butiran putih nan menawan, namun dinginnya teramat menusuk
tulang. Es serut itu membuat licin jalanan. Gundah hati bukan karena ujian
Tesisnya, namun karena ada kekuatan luar biasa bergejolak kuat di hati Anna. Ia
terus menerobos butiran es yang turun dari gumpalan awan mendung. Wajahnya
pucat menahan kedinginan, hembusan nafas menguap, membentuk seperti gumpalan
asap.
“A’udzubillahi
minas syaithaanir rajim..”
Anna sontak menghentikan langkah, sayup suara
dalam bahasa yang tak dimengertinya tiba-tiba bertandang dalam sistem
pendengaran. Tak lantang, namun berhasil mencuri perhatian seserpih hati yang
tengah gusar. Anna mengedarkan pandangan, mencari sumber suara. Matanya bertumpu pada bangunan
kecil di seberang jalan, bangunan yang sekilas nampak seperti pertokoan.
“Tapi..
sebentar,” gumamnya pelan sembari memincingkan kelopak mata untuk
memperjelas pandangan. Nampak beberapa orang dengan pakaian yang menutupi
seluruh tubuh mereka mulai dari bagian kepala hingga ke bagian kaki masuk ke
dalam, Anna semakin penasaran. Ia pun memutuskan untuk segera menyeberang
jalan, melupakan ujian yang seharusnya ia kejar untuk mendapatkan gelar
Magister, impian sang Papa sekaligus hal yang menjadi pemicu ditabuhnya
genderang pertikaian dengan dirinya semalam.
***
Hamada kembali ke ruangan khusus
dengan lega. Ryuzuki, temannya membuntut di belakang, menepuk bangga pundak
sahabat karibnya. Beda agama tak menjadi masalah persahabatan yang telah
berlangsung semenjak semester awal perkuliahan di Fakultas Sastra Universitas
Hokkaido, Jepang. Dari papan pengumuman penerimaan mahasiswa baru, terjalinlah
sebuah persahabatan. Ryu yang saat itu terlampau senang, tak sengaja merangkul
Hamada yang masih belum menemukan namanya dalam bahasa Jepang. Awkward, sejenak mereka berdua terdiam
sebelum akhirnya Ryu membungkukan badan, meminta maaf karena sembarangan
merangkul orang. Sungguh jalinan persahabatan yang teramat kebetulan.
“Selamat Hamada san, akhirnya mimpimu jadi kenyataan,” kata Ryuzuki bangga.
“Tidak Ryu kun, masih belum seberapa,” timpalnya sembari menyuguhkan senyuman
khas yang selama ini telah banyak memikat hati perempuan.
“Ah kau ini, selalu saja merendah.
Membuatku iri saja,” ucap Ryu sembari meninju pelan lengan Hamada.
Tiga tahun bersama, membuat Ryu tahu
segala sifat sahabatnya. Tak jarang ia menemani Hamada ke salah satu masjid di
dekat kampus mereka, dengan setia ia menunggu meskipun hanya di depan bangunan
peribadatan umat Islam itu. Terkadang, ia juga penasaran dengan Islam, Hamada
pun dengan sabar menjelaskan. Ryu sempat tertarik untuk masuk Islam, namun hidayah
hanya datang dari Tuhan Semesta Alam, Hamada juga tidak pernah memaksa karena
itulah yang diajarkan, masuk Islam bukanlah sebuah paksaan.
***
Anna telah sampai di seberang jalan,
kini tubuhnya tepat berada di pelataran bangunan yang tadi sempat mencuri fokus
pandangan. Suara itu semakin jelas terdengar, mengalun merdu, mendayu syahdu
melebihi alunan musik klasik dalam bahasa yang tak ia tahu.
Fa
biayyi aalaai rabbikumaa tukadzibaan...
Hati Anna berdebar kencang, terisak
ia mendengar lantunan syahdu dari dalam masjid yang diberi nama “Hikari Mosque”. Bangunannya bercat putih, tanpa
kubah, tulisan dalam bahasa Jepang yang disandingkan dengan ejaan bahasa
Indonesia menandakan bahwa bangunan tersebut adalah masjid, masjid yang
didirikan oleh kumpulan imigran Indonesia di Jepang. Entah kekuatan apa yang
membuat Anna ingin sekali masuk ke dalamnya. Perlahan ia melepas boots dan menaiki tiga anak tangga
menuju pintu geser dari kayu.
Halakah mingguan sedang berlangsung,
beberapa akhwat berjilbab lebar
berkumpul membentuk lingkaran. Salah satu dari mereka dengan khidmat
melantunkan tilawah, suaranya begitu indah, menenangkan hati yang sedari tadi
gundah serta gelisah. Anna termangu di depan pintu, salah seorang akhwat menghampirinya seraya tersenyum
menyambut kedatangan Anna.
“Kyō
wa. Watashi wa anata ga tasukete tasukeru koto ga dekimasu ka? (Selamat
siang. Ada yang bisa dibantu?)” ucap Fatimah, seorang imigran Indonesia
menyapa.
Anna membalas senyum tulus perempuan
berjilbab merah muda dengan overcoat coklat
tua yang membalut tubuhnya, kain bermotif bunga-bunga terjuntai hingga
menyentuh lantai.
“Sore
wa watashi ga kōkishin tsukuranode, watashi wa, chōdo ima, hijō ni utsukushī
merodiasuna koe no kabu ni kyōmi o sosora remashita. Watashi wa anata ni sanka
suru koto ga dekimasu ka? (Saya tertarik dengan alunan suara merdu barusan,
sangat indah, sehingga membuat saya penasaran. Dapatkah saya bergabung dengan
kalian?)” timpal Anna dengan mimik wajah penuh harap.
***
Jepang, negara yang kaya akan
kebudayaan. Mayoritas penduduk Jepang percaya dengan ajaran nenek moyang,
Shinto dan Budha mendominasi unsur kepercayaan. Namun disamping itu, toleransi
beragama yang kuat membuat masyarakat negeri sakura tetap tentram meskipun
bertetangga dengan etnis beda agama sekalipun. Hal ini dikarenakan salah satu
pilar utama nilai-nilai budaya Jepang adalah wa (harmoni), selain kao
(reputasi), dan omoiyari (loyalitas).
Konsep wa mengandung makna menjaga
hubungan baik, dan menghindari ego individu.
Islam berkembang di Jepang sekitar
tahun 1877 ketika perang dunia kedua melalui hubungan diplomatik antara Jepang
dan Turki. Pada masa itu, tersebarlah kisah tentang Nabi Muhammad SAW dan agama
Islam yang telah diterjemahkan dalam bahasa Jepang. Inilah yang membantu Islam
mendapatkan tempat tersendiri di kalangan penduduk negeri sakura meski hanya
sebagai sejarah kebudayaan dunia. Salah satu pemicu pesatnya perkembangan Islam
di Jepang adalah kelemahan hati masyarakatnya terhadap unsur-unsur kepercayaan.
Kebanyakan penduduk Jepang modern tidak lagi mementingkan unsur agama dan lebih
memilih untuk memikirkan kehidupan dunia. Meskipun kebanyakan penduduk Jepang
hanya hidup untuk dunia, namun sejatinya, kekosongan masih tetap ada dalam hati
mereka. Islampun hadir membawa cahaya sebagai pelita dalam ruang hati yang
semula gelap gulita.
Ponsel Hamada bergetar, satu pesan
diterima, tulisan “Ustadz Amran” tertera di layar telepon gengnggam. Ia segera
beranjak setelah memakai coat yang
tersampir pada sandaran kursi, Hamada lupa jika hari ini ia ada janji. Ryuzuki
terperanjat melihat sahabatnya meninggalkan ruangan dengan tergesa-gesa,
“Hamada san! Matte kudasai! (Tunggu!)”
***
Plakkk...
Sebuah telapak tangan besar mendarat di wajah Anna,
limbung tubuhnya menerima tamparan dari seorang laki-laki yang ia panggil
“Papa”. Anna tersungkur di depan sang Papa yang tengah murka dengan wajah merah
padam, kini tak hanya makian yang ia dapatkan namun juga dalam bentuk
kekerasan.
“Terlalu sempitkah jalan pikiranmu Anna??!!”
bentak tuan Nakagawa garang.
Pipi kanan Anna memerah, darah segar mengalir
dari ujung bibirnya. Diam, Anna hanya diam, tak menyangkal seperti malam
sebelumnya, hanya isak tangis dan bulir air mata membasahi selendang ungu yang
menutup seluruh helai rambutnya. Siang tadi, Anna mengambil keputusan terbesar
dengan bersyahadat di depan para jama’ah masjid tempat ia bertandang,
melabuhkan keyakinan pada Islam tanpa ragu dan unsur paksaan. Sebenarnya baik
Papa maupun Mamanya tak pernah mempermasalahkan perihal keyakinan, namun yang
membuat Papanya murka adalah kenyataan bahwa Anna meninggalkan ujian Tesis
Magisternya demi menjalankan sebuah ritual masuk Islam. Biaya perkuliahan di
Jepang terlampau mahal, sekali tidak mengikuti ujian, maka dapat dinyatakan
telah gagal dan harus mengulang.
Rasa kecewa terlanjur menyelimuti hati kedua
orangtua Anna, mereka merasa usaha banting tulang yang mereka lakukan sia-sia,
tak berguna. Puncak dari kemarahan tuan Nakagawa adalah pengusiran anak semata
wayangnya malam itu juga, tak peduli amukan badai salju di luar sana.
***
“Ibu selalu bilang, ‘Berjanjilah nak, kamu akan mewujudkan
cita-cita Ayahmu. Cita-cita yang kini hanya menjadi angan semata, karena sampai
kapanpun tak akan pernah menjadi nyata, kecuali jika seseorang mewujudkannya. Sebarkanlah agama Islam di
Jepang Ham, tanah kelahirannya..’.” Hamada mulai bercerita. Ayahnya adalah
seorang mu’alaf Jepang, Islam telah menerangi nurani yang semula kelam tanpa
sedikitpun cahaya iman. Tak disangka, perdebatan tentang penciptaan alam dengan
mitra kerja yang tak lain adalah Ibu Hamada menjadi perantara keislamannya.
Cita-cita terbesar tuan Fujisaki adalah mendakwahkan Islam di Jepang, namun
belum sempat mimpi itu terealisasi, sebuah kecelakaan menyisakan tangisan sang
istri yang tengah mengandung si buah hati.
Ruangan dengan lantai kayu itu
sejenak lenggang, tungku perapian di pojok ruangan berkobar, menjaga kehangatan
suhu di rumah kecil Ustadz Amran. Beberapa bingkai foto tergantung menghiasi
dinding ruang tamu. Hamada duduk beralaskan bantal khusus, tak ada kursi,
secangkir teh hangat tersaji. Perbincangan yang seharusnya siang tadi
terlaksana sempat tertunda karena Ustadz Amran diminta untuk menuntun syahadat
seorang perempuan Jepang yang ingin memeluk Islam.
“Tapi Ustadz, saya tidak tahu apakah
saya telah menepati janji itu, sedangkan pendalaman saya mengenai Islam pun
masih sangat kurang. Selama saya tinggal disini, hanya tulisan yang dapat saya
gunakan sebagai perantara dalam mendakwahkan Islam.” Sambung Hamada kemudian.
Lelaki berjanggut hitam itu menghela nafas panjang, “Nak
Ham, dakwah itu tidak hanya melalui lisan, namun juga bisa dengan tulisan.
Masalah kamu itu masih kurang dalam mendalami agamamu sendiri, bukankah
Rasululllah SAW telah bersabda : ‘Sampaikanlah
dariku (ilmu) walau hanya satu ayat’? Sampaikanlah nak, Bapak tahu kamu
mampu.” Pernyataan Ustadz Amran membuat Hamada mengangguk pelan, kegelisahan
dalam hatinya perlahan menghilang, bak menemukan setitik cahaya dalam gulita.
Ia lega, bahwa tulisan yang kini telah bibaca oleh sekian banyak orang juga
dapat menjadi perantara dakwah Islam. Tak terasa perbincangan selesai hampir larut
malam. Hamada pun segera pamit untuk pulang.
***
Angin bergemuruh riuh, butiran salju turun
dengan derasnya, langit malam menyuguhkan gulita. Suhu udara mencapai -5O
C, pakaian yang Anna kenakan tak mampu menangkal kedinginan yang hampir membekukan
seluruh persendian. Malam semakin larut, gadis bermata bulat dengan kulit yang
semula berwarna putih kekuningan berubah menjadi putih pucat bak mayat. Seketika
tubuhnya ambruk di atas hamparan salju, langit tak berbintang menjadi titik
tumpu pandangan sebelum akhirnya kelopak mata Anna terpejam, segalanya menjadi
gelap kemudian.
Sebuah sedan hitam melaju dengan
kecepatan standar menembus derasnya hujan es di kota Sapporo, musim dingin di
kota ini memang terkenal sangat extreme karena
kisaran titik bekunya dapat mencapai -5O C. Selajur kemudian mobil
itu berhenti, bunyi derit ban bergesek dengan licinnya jalanan. Dua orang
pemuda keluar tergesa setelah mendapati tubuh kaku yang hampir tertimbun
butiran salju. Salah satu dari mereka memegang tangan gadis malang itu, mencoba
memastikan pembuluh nadinya berdenyut pertanda bahwa ia masih hidup.
“Bagaimana??” tanya salah satunya
cemas.
“Dia masih hidup. Cepat kita
tolong!” ucap temannya memberi tahu.
Dengan segera mereka mengangkat tubuh beku
yang hampir kehilangan nyawa itu ke dalam mobil. Mobil pun kembali melaju,
namun kali ini dengan kecepatan hampir maksimal. Cahaya dari lampu rem
menghilang setelah mobil Ryuzuki melewati tikungan.
***
Hari masih sangat pagi, gulita pun
masih menyelimuti jiwa-jiwa yang tergolek tak sadarkan diri, mengitari setiap
sudut dunia mimpi.
“Allahu akbar!”
Sayup suara itu membuat Anna membuka kelopak
mata. Jarum infus tertancap di pergelangan tangan kanannya. Ia melihat seorang
pemuda tengah berdiri menjalankan sebuah ritus keagamaan beberapa meter dari bed tempat Anna terbaring. Gadis itu
mencoba menegakkan punggungnya, namun pening di kepala membuat ia tak dapat
menyeimbangkan posisi tubuh yang kini terbalut piama rumah sakit.
“Assalamu’alaikum
warahmatullah.. Assalamu’alaikum warahmatullah..”
Pemuda itu menengadahkan kedua telapak tangan
seraya memejamkan mata, memanjatkan do’a - do’a kepada Sang Kuasa, Allah SWT.
Hati kecil Anna kembali bergetar, air mata berderai membasahi kedua pipinya.
“Apakah itu sebuah peribadatan dalam agama
Islam?” dengan suara pelan gadis itu menanyakan. Hamada yang telah selesai
menunaikan sholat subuhnya pun menoleh ke asal suara. Matanya seketika berbinar
mendapati gadis yang ditolongnya semalam telah sadar. Hamada tersenyum
meng-iyakan.
“Saya ingin menjalankan keyakinan yang telah
saya ikuti secara keseluruhan. Dapatkah anda menuntun saya untuk melakukan
ibadah itu?”
“Dengan senang hati,” senyuman mengembang di
bibir Hamada.
Pemuda tampan itu menuntun Anna untuk
menjalankan ibadah sholat subuh dengan posisi berbaring di atas tempat tidur.
Perlahan tangan lemas itu diangkatnya dan disejajarkan dengan telinga, Hamada
terus menuntun gerakan sholat Anna tanpa sedikitpun saling bersentuhan antara
keduanya. Nurani gadis itu benar-benar menemukan sebuah ketengangan yang tiada
tara, ketenangan yang baru kali pertama ia rasakan, menguraikan seluruh
pintalan benang kesedihan.
***
Dua minggu berlalu semenjak kejadian
malam itu. Ustadz Amran dan istrinya yang tak memiliki keturunan memutuskan
untuk mengangkat Nakagawa Anna sebagai putri mereka. Meski harus letih bekerja
dan berusaha, ia memutuskan untuk mengulang kembali program Magister yang
sempat dilewatkannya. Maklum saja karena sejak kecil ia selalu dimanja oleh
Mama-Papanya.
“Tak apa,
aku pasti bisa tanpa mereka,” gumamnya sebelum melangkah meninggalkan rumah
sederhana milik orangtua angkatnya. Ia senang berada di rumah itu, rumah yang
seluruh kasih sayang tercurah, baik dari Ayah dan Ibu angkatnya dan juga..
seorang pemuda berdarah Jepang-Indonesia bernama Fujisaki Hamada selalu ada
untuk menjaganya, demikianlah kiranya petuah dari sang Ayah “Jaga Anna nak Ham”.
Kebetulan
mereka berdua berada di kampus yang sama, ya, Universitas Hokkaido. Mungkin
bedanya, Nakagawa Anna adalah mahasiswi pascasarjana, sedangkan Fujisaki Hamada
adalah mahasiswa yang belum menyelesaikan jenjang sarjana.
***
(Februari
2015)
“Bukti apa?” Anna kembali bertanya.
“Bukti bahwa selain Ustadz Amran dan
Ustadzah Rahma, masih ada seseorang yang akan menyayangimu dengan penuh cinta
serta ketulusan.” Ucap lelaki itu mantap.
“Oh ya?? Apa kau sedang membicarakan
diri sendiri??” ucap Anna meledek laki-laki yang secara usia lebih muda
dibanding dirinya, namun sifat dan perkataan Hamada jauh lebih dewasa dari
Anna.
Hamada tertawa menaggapi kelakuan
gadis berkerudung biru muda di depannya, “Kau ini, selalu saja merusak
suasana”.
“Maukah kau menjadi bidadari surgaku,
Nakagawa Anna? Membangun sebuah mahligai bersama, mahligai yang akan membawa
kita hingga ke surga-Nya..” pertanyaan lelaki itu membuat Anna seketika
tersipu.
Desir angin seakan menyampaikan
sebuah jawaban, hamparan langit malam menjadi saksi terucapnya sebuah niatan
suci, niatan yang nantinya akan diucapkan sebagai ikrar di depan wali sang
gadis pujaan.
-TAMAT-