Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa
motivasi terbesar anda?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab
seadanya, “Jangan pernah meratapi kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan
sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.”
Keheningan malam adalah suasana paling
menenangkan, karena di saat itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan
jangkrik di luar sana menjadi teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku
memilih untuk terjaga hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya
yang telah kukerjakan sejak lama.
Jam
dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala, jemariku dengan
lihai menari di atas keyboard, sesekali
ia terhenti, dan di situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan
beberapa tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak
sedikitpun lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di layar komputer kembali kubaca
dengan seksama, menelaah setiap kata untuk sekedar mendalami makna dari karya
yang telah kucipta.
Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang
lalu, dari sanalah bermula seluruh kisahku.
***
Semilir
angin menyibakkan kerudung panjang yang kukenakan, awan mendung menggelantung,
menampung beban yang tak lama lagi akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu
jejeran bangunan di bawah sana, sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak
berwarna kekuningan pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran
hangat mengalir di pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar
merekah yang tiba-tiba saja layu.
Kelebat
bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku terpuruk ke dalam
lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku merasa segala usaha
telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.
Air
mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersenggal menahan isak tangis
agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan mendung yang terus menerus
berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti suara guntur yang mulai
bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit, beberapa saat kemudian
hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja yang menjadi penghalang.
Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian hawa dingin mulai menusuk
hingga ke tulang.
Sore
itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta tujuan. Bersama
derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan. Namun tak lama
berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku terseret
seolah melayang.
***
Bingkai
piagam bertuliskan Siswa Teladan
terpampang di dinding ruang tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh
penghuni rumah itu. Jajaran piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah
lomba, membuat suasana ruangan kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama yang tertera di seluruh bingkai
piagam perlombaan, perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi
seorang penulis adalah cita-citaku dari dulu.
“Najma, kamu sudah yakin dengan
pilihanmu? Apa ndak sayang sama tawaran masuk ke Universitas besar?” Suara parau Ayah memecah
keheningan di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku
yang sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas
berbasis pesantren.
Televisi di ruang keluarga menyala, salah
satu kanal tengah menyiarkan sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota Aleppo, Suriah.
Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari menyebabkan ribuan
orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami
luka-luka.
“Najma
punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah satu Universitas
berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang
telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat” lanjutku dengan nada mantap.
Ayah
menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke arahku. Entah
sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku untuk masuk ke
Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah, untuk itu beberapa
hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan keluargaku. Pamanku
yang juga alumni dari Universitas itu ikut membujuk Ayah, bahkan paman sampai
bilang, jika Ayah tetap tidak mengizinkan, maka beliaulah yang akan membiayai
kuliahku di Universitas Darussalam.
“Pergilah
nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari mengelus pelan kepalaku.
Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu pula denganku.
***
Pintu
gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya nampak jelas
kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan menuju kesuksesan,
jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan sejajar dengan
bintang-bintang di angkasa luar.
“Bismillah”, ucapku sembari melangkah
memasuki pintu gerbang yang di desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi,
sinarnya terpancar menerangi seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran 1 x 2 m
bertuliskan Kawasan Wajib Berbusana
Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang, dalam benak aku bergumam penuh
keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah
Najma tidak salah jalan.”
Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi
barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas
Darussalam.
***
Tak
terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hariku terlewati dengan mudah, dan yang
terpenting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku
kewalahan, namun sebisa mungkin aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan
non-akademik. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang
seharusnya menjadi prioritas. Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
“Najma!”
seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku pun menoleh dan mencari asal suara,
nampak Ida, sahabat karibku tengah tergopoh berlari ke arahku.
“Congratulations
Najma! Your article was published in
the megazine of campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA, singkatan dari Majalah Lintas
Kampus. Aku tertawa melihat
ekspresi seseorang yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersenggal dan
wajah nampak kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar
kembali seperti sedia kala.
“Limaa tajriina? While I can know about it
later (Lagian kamu ngapain sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),”
ucapku sembari menyeringai lebar.
“That's
you. Not change, same as previous, never know how to say thanx (Gitu tuh,
kamu. Tetep aja kaya dua tahun sebelumnya, gak pernah tau caranya berterimakasih),”
ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan dua
bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
Pentingnya mempelajari dan menguasai dua
bahasa ini pernah dibahas dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one knows, about the
future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being visited Jerman
or USA for example, you can communicate with German and American people with english
language if you don’t know about the local language they have, because english
is the international language and both of them understand about it, except, u talk
english language to mute people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah
Arab, we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”
Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan
di Universitas Darussalam, konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari
keseharian mahasiswa, mulai dari makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap
mengusung istilah “ukhuwah”.
“Na’am,
syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah” dan seketika kami
berdua tertawa.
***
Announcement! To our beloved sister, she is
Najma Annisa, hope to come to BEM’s office after this announcement, exactly!
Suara bagian penerangan nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di laptop,
pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi kukerjakan.
Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran. “Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”
Kuterjang
panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan mengayuh pedal sepeda
semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan jauh dari kantor BEM.
“Najma,
besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar Jerman untuk Indonesia
di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan banggakan kampus putri kita
tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi gemilang yang telah kamu
persembahkan beberapa tahun terakhir untuk Universitas, jangan berpuas hati,
apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa
selaku ketua BEM di kampus UNIDA putri.
Aku hanya mengangguk pelan tanda
meng-iyakan. Menjadi satu-satunya delegasi merupakan kesempatan langka, untuk
itu aku harus menyiapkan segalanya dengan seksama.
***
Pamflet
besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar Jerman untuk
Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura. Hamparan sawah di sisi
kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat terkena sinar mentari yang
baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan menghilang seiring dengan
posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra dan kampus putri diperkirakan
mencapai 100 km atau membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan
dengan kendaraan darat. Mobil yang membawa delegasi dari kampus putri mulai
berjalan memasuki pintu gerbang.
Suasana
aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang sebentar lagi akan
dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya sedikit delegasi dari
kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa, sehingga tidak
membaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat kemudian, rombongan orang
berwajah kebarat-baratan memasuki ruang perkumpulan. Pembawa acara
mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.
Pukul 11 siang, acara berjalan dengan
lancar. Kesan pertama yang disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada
UNIDA adalah rasa kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas
Pesantren yang memiliki sistem pendidikan full
time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan dalam perkuliahan yang diberikan,
namun kegiatan sosial di luar perkuliahan juga diajarkan. Semua serba
terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi semboyan dalam kehidupan,
peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan antara anak menteri dan anak
petani, jika melanggar, maka sama-sama akan diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama
terhadap orang yang lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan
sekedar teori yang hanya mengendap dalam pikiran.
“At
least, I wanna make a student exchange betwen UNIDA and Freie Universität Berlin for one month. I need two student to
being the delegation for this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi
tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di aula.
Pergi
ke negara jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk menyusuri
jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan dan
pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh bangsa Barat.
Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada sangkut pautnya dengan agama,
sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan sesuatu untuk menghancurkan demi
perebutan kekuasaan. Lihat saja teror bom di Palestina dan Suriah yang terus
menerus menumpahkan darah, menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah.
Dengan
tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah satu mimpiku
dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai dengan kenyataan,
pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar akan diadakan
secepatnya, dan paspor menjadi syarat yang paling utama. Aku menghela nafas
panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
Hujan
turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar mengerikan.
Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik lenganku dengan kencang
mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk menahan kedinginan, tak ada
percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan
meratapi kegagalan?” ucapnya sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar
berusaha untuk menyadarkan.
“Masih banyak kesempatan Najma, dan
kesempatan itu takkan pernah ada jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!”
Teriak Ida diiringi suara guntur dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan
yang telah aku lakukan. Ya, tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele
adalah sifat yang harus kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang
kulakukan selama ini selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan
yang selama ini aku berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan
angin yang berembus menenangkan, “Gagal
menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena paspor???? Hmmm.. Ida
benar, masih banyak kesempatan.”
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan
renunganku. Api semangat yang hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun
tersenyum menatap Ida seraya berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu
ada di kala suka maupun duka J”.
***
Aula
kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu adalah ganjaran
atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih
empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan serta
eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan di hari itulah
seolah semua terbayar.
Para
Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan.
Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan
gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda dibuka.
Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman pemberian
beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara cuma-cuma dari
Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan wisudawati mendengarkannya
dengan seksama.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa
saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.
“Bukan karena kepandaian, namun karena
kegigihannya untuk meraih impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim
tulisan berupa artikel, opini, ke Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit
heran, kenapa harus Jerman? Ternyata setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai
cita-cita mulia yang juga menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi
ilmu pengetahuan yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah,
langsung saja kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju kedepan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan
yang saling bersahutan. Aku terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran
hangat tertahan di pelupuk mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan
menuju podium. Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata
Ida, “Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti
akan ada kemudahan.”
***
Malam
semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan sejak lama
akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di atas meja,
besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya, sekarang aku
adalah dosen tetap di Freie Universität
Berlin. Ternyata benar kata dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe,
seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach Berlin, so scheint es
Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di jalan. Cepat kembali ke
Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar,
satu pesan terpampang pada nyala layar.
Aku mengurungkan niat sejenak untuk
beranjak, rasa rindu membuncah dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang
saat ini berada di Berlin. Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed,
seorang muslim Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami
berdomisili di Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat
foto Fahma yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan
mereka berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau
memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan kisah
perjalananku “terdampar” sampai ke Jerman.
Najma : Oh, so
einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed entging ihr nicht ??? Gut,
morgen sehen, keinen lieblings rendang
gericht auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa
Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine,
lihat saja besok, tidak ada sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed
: Haha.. I really,,
really miss you my honey
Ahmed
: Love you so much
Ahmed
: Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali cinta, aku ingin makan rendang) \(^_^)/
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa
membaca pesan ketiga yang dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak
mata memilih untuk terpejam daripada mengambil air wudhu dan terbalut
kedinginan. Di atas sajadah panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air
mataku bercucuran saat mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan.
Betapa angkuhnya manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia beserta seluruh isinya.
Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-
: -