Senin, 24 Juli 2017

NOTES FROM GONTOR

Think different, make a different thing.
Kata-kata di atas hanya sebuah slogan untuk mengobar semangat, terutama untuk si penulis. Masa muda itu katanya masa paling kritis dalam sejarah perjalanan hidup manusia, karena sudah jelas masa muda lah yang nanti akan menentukan masa depan manusia. Ini hanya logika umumnya saja, meskipun masa depan seseorang tetap sudah ada yang menentukan. Namun, takdir orang juga bisa diubah loh, dalam artian, kita yang memegang setir dalam kendaraan menuju masa depan. Yap, kita sopirnya, jadi terserah kendaraan itu mau dibawa kemana. Kalo sopirnya lalai dan malah kendaraan jadi nyusruk ke selokan, yaaa di tempat itu berarti muaranya, apalagi kalo si sopir gak mau memperbaiki mesin mobil dan melanjutkan perjalanan, sudah dipastikan akan menjadi penghuni selokan. Gak kebayang kan? Euww -_-

Hari sabtu kemarin, ada acara namanya LK (Latihan Kepemimpinan) yang memberikan banyak motivasi kehidupan. Salah satunya tentang bagaimana cara untuk meraih kesuksesan, yaitu  bahwa untuk mencapai kesuksesan tidaklah instan, butuh banyak perjuangan juga jatuh berkali-kali agar sampai pada tujuan. Yang terpenting adalah "PUNYA TARGET".
Ini cuma beberapa kutipan aja sih :

  • Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan. 
  • Kita harus selalu berhusnudzon kepada Allah. Karena tidak selalu apa yang menurut kita baik juga baik menurut Allah, bisa jadi malah hal yang menurut kita buruk, itu yang terbaik dari Allah.
  • Gak ada ceritanya dalil itu keubah sendiri, Allah sudah menyebutkan bahwasannya inna ma'al 'usri yusro setelah kesusahan pasti ada kemudahan, bukan inna ma'al 'usri 'usro setelah kesusahan pasti ada kesusahan. Itulah pentingnya berhusnudzon.
Jadi, inti dari tulisan ini, ushikum wa iyyaya nafsi bitaqwwallah.


Selasa, 18 Juli 2017

SEKADAR NOSTALGIA

Pemenang sejati bukan ia yang banyak mengukir prestasi, namun pemenang sejati adalah ia yang dapat mengendalikan nafsu dalam hati. Aku kembali menghela nafas panjang, dan menghembuskannya beberapa saat kemudian. Pena yang sedari tadi kugenggam, kugeletakkan dengan sedikit kasar. Entah hal apa tengah mengganggu mood baikku, sehingga sudah dua jam secarik kertas di hadapanku tak kunjung penuh dengan goresan tinta hitam, merangkai sebuah kalimat yang esok akan kukirimkan kepada seseorang.

Udara malam semakin menusuk hingga ke tulang, kembali pikiranku melayang, menghadirkan segenap bayang. Nurani membisik pelan, esok adalah muara dari cerita yang sekian lama kupendam sendirian. Seulas senyum pun mengembang. Kuambil pena, kemudian menuliskan kata demi kata di atas kertas yang tak bernoda.
***
"Da, minta tulisanmu dong, buat rubrik majalah." Pinta Afra seusai kuliah.
"Emangnya belum ada yang ngisi? Tapi adanya tulisan lama, aku belum bikin tulisan baru lagi." Kataku sembari memasukkan buku catatan ke dalam tas.
"Belum ada. Orang yang mau nyumbangin lagi izin pulang. Gak apa-apa deh, besok soalnya mau dikirim ke penerbit." Wajah Afra kini memelas.
"Yaudah, nanti aku kirim ke e-mail ya." Kataku sembari beranjak dari kursi.

Kupilah tulisan-tulisan yang dulu pernah mendapat juara saat aku kirimkan ke beberapa lomba. Sejenak aku termenung ketika membaca kembali tulisan-tulisan itu. Kok bisa ya dulu nulis kayak gini? Tanyaku dalam hati. Memori usang seakan kembali diputar, dan hanya berharap cita-cita itu takkan pernah pudar. 
***
"Gimana tulisan kamu? Udah jadi dikirim ke penerbit?" Ani, sahabatku kembali bertanya setelah dua hari aku mencurahkan segala keluh kesah kepadanya.
"Gak pd (percaya diri) aku. Udah gak bisa nulis lagi kayak dulu." Timpalku dengan raut wajah sedih.
"Ya elah, kirim aja dulu! Masalah hasil kan nanti belakangan." Ucap Ani menyemangati.
Lagi-lagi aku hanya menghela nafas berat.

Dua pekan aku mengirimkan karya-karya terbaik menurutku. Beberapa waktu lalu seorang penulis memotivasi dan mengoreksi naskah yang aku kirimkan kepadanya. Ada sedikit pencerahan setelah meninjau kembali masukan yang beliau berikan. Hatiku kembali berbisik pelan, jangan sampai impianmu tak lagi berkobar dan padam. Kini, hanya do'a dan kata "semoga" yang harus aku ucapkan. Ya, semoga tulisan itu dapat menjadi jariyah dan menuai berkah. Aamiin.

Ngawi, 19-07-2017
at 0.35 a.m

Kamis, 27 April 2017

MEMORI USANG KEMBALI TERBAYANG


Kata Mas Gun (Kurniawan Gunadi), menulis jangan dijadikan beban. Akupun merenung sejenak, mengingat banyak tulisanku yang tak kunjung rampung. Selajur kemudian, Mas Gun memberi kami tugas untuk menuliskan sesuatu yang ingin masing-masing dari kami capai, namun itu semua mustahil terjadi. Waktunya tidak lama, 15 menit saja. Aku berpikir keras, memoriku berkelebat, satu persatu bayangan kejadian seolah terserak, mencoba menampakkannya agar sesuai dengan tema. Akhirnya aku menemukan sebuah kejadian yang entah telah berapa kali aku tuliskan, dan aku tidak akan pernah bosan.

Kira-kira 12 tahun silam. Seperti biasa, aku dengan setia menunggu angkutan umum sepulang sekolah. Sepi, karena satu persatu temanku telah kembali ke rumah masing-masing. Buku tulis bersampul cokelat kugenggam begitu erat, aku ragu jika sesampainya di rumah harus memberikannya kepada Bapak. Tak lama berselang, angkutan umum yang sedari tadi kutunggupun datang.
 ***
Brakkkk.....
Buku bersampul cokelat terlempar dengan keras ke sudut ruang keluarga. Ya, dugaanku benar, Bapak pasti marah besar. Aku hanya tertunduk lesu mendengarkan perkataan Bapak yang teramat memekikkan pendengaran.
"Apa itu nilai 0 ?! Belajar gak kamu di sekolah?!!" bentak Bapak.
Ibu yang menyaksikan kejadian itu tak berani menyelak, hanya diam terpaku sembari menimang adikku. Kejadian malam itu bak tamparan keras mendarat di pipiku, panas. Namun siapa yang tahu, bahwa kejadian malam itu adalah sebuah kenangan yang nyatanya ingin kembali kuulang.
***
Dua minggu berselang, ruang kelas nampak tenang dikarenakan Bu Guru memberi kami soal ulangan. Tak ada canda, rona keseriusan terpancar dari setiap wajah murid kelas tiga. Beberapa saat kemudian, Ibu Guru tergopoh memasuki ruangan menuju ke arahku sembari mengisyaratkan kepadaku untuk segera mengemas seluruh barang-barangku.

Kelebat bayang memenuhi isi pikiran, pecah tangisan, balutan kain kafan, kabar kecelakaan yang membuatku seolah sedang berada di alam mimpi. 
Bapak.. secepat itukah engkau pergi?

Jumat, 17 Februari 2017

PELITA HATI YANG LARA


Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa yang membaca Al-Qur’an dan menghafalkannya, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan menganugerahinya hak untuk memberikan syafa’at kepada sepuluh orang keluarganya yang telah ditetapkan sebagai penghuni neraka,”
(HR. Ibnu Majah)
Pada catatan kali ini, saya akan mengulas beberapa poin penting dalam acara seminar “Motivasi Menghafal Al-Qur’an” yang diadakan pada tanggal 17 Februari 2017.

·    Belajarlah Al-Qur’an seperti belajarnya para shahabah, tidak lebih dari 10 ayat, namun beliau mendalami, mempelajari, dan mengamalkan ilmu yang terkandung dalam setiap ayat. Jadi tidak perlu cepat namun beberapa saat kemudian sudah lewat (lupa), namun resapi dan dalami makna yang terkandung di dalamnya jika ingin benar-benar paham isi Al-Qur’an.

·     Umat dikatakan jahiliyah, apabila tidak memiliki akidah. Jauh sebelum Islam datang, peradaban Mesir, Cina, India sudah maju dalam ranah pengetahuan. Akan tetapi, mengapa mereka masih dikatakan jahiliyah? Jawabannya 1, karena mereka tidak memiliki akidah. Contoh Mesir, siapa yang mereka sembah? Raja Fir’aun. Itulah mengapa meskipun mereka maju dalam konteks ilmu pengetahuan, akan tetapi masih dikatakan jahiliyah. Mengapa demikian? Karena kunci dalam segala hal adalah keimanan. Iman kepada Allah, Iman kepada Al-Qur’an.

.   Banyak metode yang kita temukan untuk membaca Al-Qur’an. Salah satunya adalah dengan cara menikmati ketika menghafal Al-Qur’an.  

.  Al-Qur’an sebagai perantara kita, manusia untuk berdialog dengan Tuhan Semesta Alam. Misalkan, apabila kita berbicara dengan orang yang kita sayang, bukankah waktu yang lama terasa sebentar? Lalu mengapa menghafal Al-Qur’an beberapa menit saja sudah merasa bosan? Mari kita renungkan...

.   Jika di hati seseorang tidak ada Al-Qur’an, Rasulullah mengibaratkan seperti rumah rusak yang penuh dengan tikus, kecoa, dan binatang menjijikan lainnya. Na’udzubillahi min dzalik

.    Sebenarnya, apa tujuan menghafal Al-Qur’an?
Untuk mendapatkan karunia (tsawab)
-  Untuk bermunajat, berdialog dengan Allah
-  Sebagai obat (as-syifaa’è banyak orang yang menyembuhkan penyakit mereka terutam penyakit     hati (maksiat) dengan Al-Qur’an
- Ilmu è sesungguhnya ilmu Allah tidak ada batasnya, teramat luas sekali cangkupannya, untuk itu  kita harus memahami ilmu-ilmu yang ada dalam Al-Qur’an
- Amal è untuk mengamalkan ilmu yang kita dapatkan

·     10 kaidah utama dalam menghafal Al-Qur’an :
-          Ikhlas
-          Tekad yang kuat è dalam artian tidak sekedar ikut-ikutan.
Semisal, saya ingin menghafal Al-Qur’an agar bisa menjadi keluarga Allah dan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang dikhususkan
-          Memahami kemuliaan Al-Qur’an
-          Amalkan hafalan
-          Tinggalkan dosa
-          Berdo’a
-          Memahami makna ayat
-          Tajwid yang benar
-          Tilawah yang kontinyu
-          Sholat khusyu’ è terapkan hafalan dalam bacaan shalat

·      Ketika menghafal Al-Qur’an, harus punya rencana yang jelas :
-          Kapan mau hafalan
-          Luangkan waktu setiap harinya untuk menghafal, bukan SISAKAN, tapi LUANGKAN
-          Mulai dengan juz yang mudah terlebih dahulu 30, 29, 28, 1, 2, 3
-          Mengulangi 1 ayat minimal 10 kali
-          Setorkan hafalan
-          Membawa mushaf kecil selalu
-          Tidak menambah hafalan kecuali juz sebelumnya sudah benar-benar hafal dan lancar

·      Kiat-kiat supaya hafalan tidak cepat hilang adalah dengan cara diulang-ulang berkali-kali bahkan ribuan kali karena waktu kita menghafal Al-Qur’an adalah sampai kita meninggal.
·    Ilustrasi hati è bayangkan selembar kertas dengan bercak tinta memenuhi permukaannya, apakah bisa kita menuliskan ayat-ayat Al-Qur’an di kertas itu pula? Tentu saja tidak, jika pun bisa, pasti akan sulit untuk dibaca. Lalu bagaimana jika kita ingin menulis ayat-ayat Qur’an disana supaya bisa terbaca?? Jawabannya : BERSIHKAN TINTA ITU atau MINTALAH KERTAS BARU
Kertas ibarat hati, tinta ibarat dosa.   






Rabu, 15 Februari 2017

HARAPAN BAGI PEMIMPI(N) MASA DEPAN

Sosialisasi LPDP hari ini cukup memberikan pencerahan terutama berkaitan dengan masa depan. 
Apa sih LPDP? Okay, u can search by your self here http://www.lpdp.kemenkeu.go.id/
Sebenarnya, untuk mendapatkan beasiswa itu mudah, sangat mudah. Ini tergantung maindset dari masing-masing individu. Apabila kita tananamkan di maindset kita bahwa mendapat beasiswa itu mudah, pasti akan mudah. Begitu sebaliknya, jika kita perpikir itu susah, ya bakal susah. Jadi, maindset itu penting.

Adapun nilai-nilai LPDP yang tadi dijelaskan ada 5 macam : 
- Integritas
- Profesionalisme
- Sinergi
- Pelayanan
- Kesempurnaan
Disini tidak akan dijabarkan panjang lebar, karena all about it (LPDP) tertera di website yang telah disebutkan di atas.

Nah, apa sih kiat-kiat untuk lolos dalam LPDP?
Sejatinya yang dicari oleh LPDP adalah kepemimpinan, orang yang bermental, kader-kader pemimpin Indonesia di masa depan. Indonesia tidak mencari orang-orang yang pintar, namun dangkal dalam permasalahan.
Selain itu, cara mengolah kata sangat diprioritaskan jika ingin mudah dalam interview. Mahir dalam mengolah kata saat memberikan pernyataan sangat penting untuk meyakinkan lawan bicara.

Jika berbicara mengenai saingan, karena ini adalah program pemerintah yang didukung oleh 4 Menteri Indonesia, tentunya banyak sekali. Namun tahukah kalian bahwa saingan terbesar adalah diri kita sendiri? Ya, DIRI SENDIRI. Apabila kita yakin, dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang kita inginkan, tidak ada namanya kemustahilan. Nothing impossible.

Katanya, kita tidak bisa mengubah masa lalu, namun kita bisa menentukan ke mana arah masa depan. We can! If we think we can... 








Rabu, 21 Desember 2016

AYAH ^_^


Aku, punya mimpi.
Suatu hari, kutorehkan mimpi-mimpi itu di atas secarik kertas yang kemudian kulipat menjadi empat.
Ternyata memang benar, satu persatu mimpiku menjadi kenyataan, bukan lagi sekedar bayangan, sekedar angan yang nantinya hanya akan lapuk dalam pikiran, jika tidak ada usaha untuk merealisasikan.

Dulu, sewaktu pahlawanku, ayahku masih setia mengarahkan, "jadilah seorang dokter.." katanya sembari menemaniku bermain boneka, "biar bisa nyuntik?" timpalku dengan polosnya, dan beliau hanya tertawa. Di lain waktu, saat ayah mengajariku cara menarik pelatuk, dorr!! "jadilah seorang polisi.." katanya sembari mengelus rambutku, dan mengambil tembakan dari tanganku, "aku mau nembak orang jahat", timpalku dengan seringai lebar.

Kini, tak ada lagi cerita tentang kami, karena ayah telah jauh pergi.
Kini, aku harus menentukan langkahku sendiri, berdiri, dan berniat dalam hati.
Ayah, maaf jika aku tidak menjadi seorang polisi, karena aku sudah dapat menentukan jalanku sendiri.
Terimakasih, dulu telah mengajariku banyak hal dan tidak memanjakanku, dan terimakasih, telah menjadi ayahku. ^_^
Ayah, aku rindu.

Jumat, 18 November 2016

RENUNGAN DI KALA PETANG



Jika ada mahasiswaku yang bertanya, “Apa motivasi terbesar anda?”
Aku hanya tersenyum dan menjawab seadanya, “Jangan pernah meratapi kegagalan, akan tetapi jadikan kegagalan sebagai batu loncatan menuju kesuksesan.”
Keheningan malam adalah suasana paling menenangkan, karena di saat itulah konsentrasiku tidak akan buyar. Kerikan jangkrik di luar sana menjadi teman saat kebanyakan orang terlelap kelelahan. Aku memilih untuk terjaga hingga sepertiga malam tiba, menuntaskan sebuah karya yang telah kukerjakan sejak lama.
           Jam dinding menunjukkan pukul dua, layar komputerku masih menyala, jemariku dengan lihai menari di atas keyboard, sesekali ia terhenti, dan di situlah aku kembali mencari inspirasi. Scene demi scene kenangan beberapa tahun silam masih kuat terpatri dalam ingatan, bayang-bayangnya tak sedikitpun lekang dan terus-menerus berkelebat dalam angan. Lembar demi lembar word di layar komputer kembali kubaca dengan seksama, menelaah setiap kata untuk sekedar mendalami makna dari karya yang telah kucipta.
         Saat itu, kira-kira sepuluh tahun yang lalu, dari sanalah bermula seluruh kisahku.
***
         Semilir angin menyibakkan kerudung panjang yang kukenakan, awan mendung menggelantung, menampung beban yang tak lama lagi akan tertumpahkan. Mataku menatap sayu jejeran bangunan di bawah sana, sejauh mata memandang, hamparan sawah tampak berwarna kekuningan pertanda musim panen akan segera datang. Perlahan, butiran hangat mengalir di pipiku, tatapanku berubah menjadi sendu, bagaikan mawar merekah yang tiba-tiba saja layu.  
       Kelebat bayang memenuhi isi pikiran, kejadian itu sungguh membuatku terpuruk ke dalam lubang tanpa sedikitpun cahaya sebagai sumber penerang. Aku merasa segala usaha telah sampai di penghujung masa, berakhir sia-sia.
         Air mataku mulai mengucur dengan derasnya, nafasku tersenggal menahan isak tangis agar tidak keluar. Langit semakin menghitam disebabkan awan mendung yang terus menerus berkumpul. Cahaya kilat menjilat-jilat diikuti suara guntur yang mulai bergemuruh riuh. Tetesan air mulai jatuh dari langit, beberapa saat kemudian hujan lebat disertai angin kencang menerjang apa saja yang menjadi penghalang. Aku tak peduli dengan hujan, beberapa saat kemudian hawa dingin mulai menusuk hingga ke tulang.
            Sore itu aku benar-benar merasa seakan telah kehilangan arah serta tujuan. Bersama derasnya hujan, meledaklah tangis yang semula kutahan. Namun tak lama berselang, seseorang menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku terseret seolah melayang.  
***
      Bingkai piagam bertuliskan Siswa Teladan terpampang di dinding ruang tamu, sebuah kebanggaan tersendiri bagi seluruh penghuni rumah itu. Jajaran piala dan foto-foto yang diambil tepat setelah lomba, membuat suasana ruangan kian sempurna. Najma Annisa itulah ukiran nama yang tertera di seluruh bingkai piagam perlombaan, perlombaan yang sebagian besar dalam bidang kepenulisan. Menjadi seorang penulis adalah cita-citaku dari dulu.
“Najma, kamu sudah yakin dengan pilihanmu? Apa ndak sayang sama tawaran masuk ke  Universitas besar?” Suara parau Ayah memecah keheningan di meja makan. Mata tajam Ayah menatapku heran mengingat keinginanku yang sudah bulat dan tak dapat di ganggu gugat, yaitu kuliah di Universitas berbasis pesantren.
Televisi di ruang keluarga menyala, salah satu kanal tengah menyiarkan sebuah berita duka. Pemirsa, bom nuklir kembali meneror warga sipil di kota Aleppo, Suriah. Sebuah ledakan besar yang terjadi pada pukul dua dini hari menyebabkan ribuan orang menjadi korban, ratusan orang meninggal dunia dan banyak yang mengalami luka-luka.
       “Najma punya cita-cita Yah..” kataku sembari menyodorkan brosur salah satu Universitas berbasis pesantren. “Cita-cita untuk merebut kembali ilmu pengetahuan yang telah dirampas dan disekulerkan oleh kaum Barat” lanjutku dengan nada mantap.
          Ayah menatapku sejenak, kemudian beranjak perlahan dan berjalan ke arahku. Entah sudah berapa lama Ayah menolak mentah-mentah keinginanku untuk masuk ke Universitas itu. Ibu hampir menyerah untuk membujuk Ayah, untuk itu beberapa hari lalu pamanku datang ke rumah setelah tahu persoalan keluargaku. Pamanku yang juga alumni dari Universitas itu ikut membujuk Ayah, bahkan paman sampai bilang, jika Ayah tetap tidak mengizinkan, maka beliaulah yang akan membiayai kuliahku di Universitas Darussalam.
        “Pergilah nak, Ayah setuju dengan keinginanmu,” ucap beliau sembari mengelus pelan kepalaku. Ibu tersenyum lega mendengar keputusan Ayah, begitu pula denganku.
***
           Pintu gerbang yang biasanya hanya dapat kulihat di gambar, akhirnya nampak jelas kupandang dalam kenyataan. Dari sanalah akan kutemukan jalan menuju kesuksesan, jalan untuk meraih cita-cita yang telah kugantungkan sejajar dengan bintang-bintang di angkasa luar.
       “Bismillah”, ucapku sembari melangkah memasuki pintu gerbang yang di desain megah. Matahari mulai menyongsong pagi, sinarnya terpancar menerangi seperdua bagian bumi. Neon box dengan ukuran 1 x 2 m bertuliskan Kawasan Wajib Berbusana Muslim terpampang jelas tidak jauh dari gerbang, dalam benak aku bergumam penuh keyakinan “Tenang saja Ayah, in syaAllah Najma tidak salah jalan.”
Kutarik kembali koper besar yang telah menjadi barang bawaan, menyusuri lorong di gedung utama kampus putri Universitas Darussalam.
***
          Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Hari-hariku terlewati dengan mudah, dan yang terpenting kesemangatanku semakin bertambah. Padatnya kegiatan hingga nonstop 24 jam terkadang membuatku kewalahan, namun sebisa mungkin aku menyeimbangkan antara kegiatan akademik dan non-akademik. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan kesampingkan hal yang seharusnya menjadi prioritas. Pandai-pandailah dalam mengatur waktu.”
            “Najma!” seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku pun menoleh dan mencari asal suara, nampak Ida, sahabat karibku tengah tergopoh berlari ke arahku.
Congratulations Najma! Your article was published in the megazine of campus,” ucapnya sembari menyodorkan majalah bertuliskan MALIKA, singkatan dari Majalah Lintas Kampus. Aku tertawa melihat ekspresi seseorang yang telah kukenal sejak lama. Dengan nafas tersenggal dan wajah nampak kelelahan, ia berusaha mengatur ritme detak jantungnya agar kembali seperti sedia kala.
 “Limaa tajriina? While I can know about it later (Lagian kamu ngapain sih lari-lari? Ntar juga aku bisa tahu sendiri),” ucapku sembari menyeringai lebar.
That's you. Not change, same as previous, never know how to say thanx (Gitu tuh, kamu. Tetep aja kaya dua tahun sebelumnya, gak pernah tau caranya berterimakasih),” ketusnya pura-pura kesal. Komunikasi keseharian kami memang menggunakan dua bahasa pengantar, yaitu Arab dan Inggris.
Pentingnya mempelajari dan menguasai dua bahasa ini pernah dibahas dalam sebuah seminar, “Language is very important thing in our live. No one knows, about the future. Who knows, that five, six, or ten years later, you being visited Jerman or USA for example, you can communicate  with German and American people with english language if you don’t know about the local language they have, because english is the international language and both of them understand about it, except, u talk english language to mute people (seluruh peserta pun tertawa). In same condition if we go to Jazirah Arab, we can use Arabic language to make conversation with Arabian.”
Kehidupan ala pesantren tetap diterapkan di Universitas Darussalam, konsep kesederhanaan tak pernah lekang dari keseharian mahasiswa, mulai dari makanan, pakaian, serta kamar tidur yang tetap mengusung istilah “ukhuwah”.
Na’am, syukron jaziilan ukhti Ida al-mahbuubah, wal-jamiilah” dan seketika kami berdua tertawa.
***
           Announcement! To our beloved sister, she is Najma Annisa, hope to come to BEM’s office after this announcement, exactly! Suara bagian penerangan nyaring terdengar dari sound sistem paralel di depan kamar. Aku melirik jam di laptop, pukul dua siang, segera kutinggalkan proyek tulisan yang sejak tadi kukerjakan. Beberapa pertanyaan tiba-tiba saja muncul memenuhi isi pikiran. “Ada apa? Kenapa hanya aku yang dipanggil?”
        Kuterjang panasnya siang yang mendidihkan ubun-ubun kepala dengan mengayuh pedal sepeda semakin kencang. Komplek asramaku terletak lumayan jauh dari kantor BEM.
      “Najma, besok kamu diundang untuk menyambut kehadiran Duta Besar Jerman untuk Indonesia di kampus pusat. Usahakan untuk aktif bertanya dan banggakan kampus putri kita tercinta. Kami memilih kamu karena prestasi gemilang yang telah kamu persembahkan beberapa tahun terakhir untuk Universitas, jangan berpuas hati, apalagi berbangga diri, akan tetapi niatkan segalanya demi ilahi” ucap ukhty Wafa selaku ketua BEM di kampus UNIDA putri.
Aku hanya mengangguk pelan tanda meng-iyakan. Menjadi satu-satunya delegasi merupakan kesempatan langka, untuk itu aku harus menyiapkan segalanya dengan seksama.
***
        Pamflet besar yang menggamblangkan informasi kedatangan Duta Besar Jerman untuk Indonesia ke kampus UNIDA terpampang di samping gapura. Hamparan sawah di sisi kiri dan kanan nampak berwarna kuning keemasan saat terkena sinar mentari yang baru saja menyongsong pagi. Kabut tebal perlahan menghilang seiring dengan posisi meningginya matahari. Jarak kampus putra dan kampus putri diperkirakan mencapai 100 km atau membutuhkan waktu sekitar dua setengah jam perjalanan dengan kendaraan darat. Mobil yang membawa delegasi dari kampus putri mulai berjalan memasuki pintu gerbang.
            Suasana aula mulai ramai dipenuhi para peserta, menunggu acara yang sebentar lagi akan dibuka. Kebanyakan dari peserta adalah mahasiswa, hanya sedikit delegasi dari kampus putri. Tempat duduk di aula ditata sedemikian rupa, sehingga tidak membaur antara mahasiswi dan mahasiswa. Beberapa saat kemudian, rombongan orang berwajah kebarat-baratan memasuki ruang perkumpulan. Pembawa acara mengisyaratkan para peserta untuk berdiri.
Pukul 11 siang, acara berjalan dengan lancar. Kesan pertama yang disampaikan Duta Besar Jerman untuk Indonesia kepada UNIDA adalah rasa kagum dengan sistemnya yang begitu tertata. Hanya Universitas Pesantren yang memiliki sistem pendidikan full time 24 jam, karena bukan sekedar pendidikan dalam perkuliahan yang diberikan, namun kegiatan sosial di luar perkuliahan juga diajarkan. Semua serba terjadwal, konsep kesederhanaan tetap menjadi semboyan dalam kehidupan, peraturan disamaratakan, tidak ada perbedaan antara anak menteri dan anak petani, jika melanggar, maka sama-sama akan diberikan sanksi. Mu’amalah sesama teman dan tata krama terhadap orang yang lebih tua juga harus dipraktekan dalam keseharian, bukan sekedar teori yang hanya mengendap dalam pikiran.
At least, I wanna make a student exchange betwen UNIDA and Freie Universität Berlin for one month. I need two student to being the delegation for this agenda.” Kata beliau dengan bangga, diiringi tepuk tangan meriah dari seluruh hadirin yang ada di aula.
            Pergi ke negara jantung kota Eropa adalah salah satu impianku, impian untuk menyusuri jejak kejayaan Islam. Miris hati ini jika teringat kembali perampasan dan pengakuan karya-karya para ilmuwan muslim yang disekulerkan oleh bangsa Barat. Mereka beranggapan bahwa ilmu pengetahuan tidak ada sangkut pautnya dengan agama, sehingga dengan tamaknya mereka menciptakan sesuatu untuk menghancurkan demi perebutan kekuasaan. Lihat saja teror bom di Palestina dan Suriah yang terus menerus menumpahkan darah, menghilangkan banyak nyawa yang tidak bersalah.
            Dengan tekad bulat dan niat kuat aku mengikuti seleksi, berharap salah satu mimpiku dapat terealisasi. Namun ada kalanya keinginan tidak sesuai dengan kenyataan, pada tes wawancara aku gagal, karena pertukaran pelajar akan diadakan secepatnya, dan paspor menjadi syarat yang paling utama. Aku menghela nafas panjang, berusaha tegar menyembunyikan kekecewaan.
***
        Hujan turun semakin deras, sesekali suara petir menggelegar, terdengar mengerikan. Hari semakin petang, sedangkan Ida terdiam setelah menarik lenganku dengan kencang mencari tempat perteduhan. Akupun hanya duduk menahan kedinginan, tak ada percakapan.
“Mau sampai kapan kamu terus-terusan meratapi kegagalan?” ucapnya sembari mengguncangkan tubuhku sedikit kasar berusaha untuk menyadarkan.
“Masih banyak kesempatan Najma, dan kesempatan itu takkan pernah ada jika kamu tidak berusaha mewujudkannya!!” Teriak Ida diiringi suara guntur dan petir yang begitu memekikkan telinga.
Aku hanya terdiam, merenungi kesalahan yang telah aku lakukan. Ya, tenggelam dalam kesedihan hanya karena hal sepele adalah sifat yang harus kuhilangkan. Mungkin memang benar, segala hal yang kulakukan selama ini selalu sempurna. Kontribusi prestasi dalam bentuk tulisan yang selama ini aku berikan, hampir seluruhnya menjadi kebanggaan.
Hati kecilku berbisik pelan, bak tiupan angin yang berembus menenangkan, “Gagal menjadi delegasi student exchange ke Jerman hanya karena paspor???? Hmmm.. Ida benar, masih banyak kesempatan.”
Sore itu telah menjadi saksi bisu akan renunganku. Api semangat yang hampir saja padam kembali berkobar. Aku pun tersenyum menatap Ida seraya berkata, “Terimakasih banyak teman, karena selalu ada di kala suka maupun duka J”.
***
         Aula kampus pusat UNIDA dipenuhi para mahasiswa bertoga, hari itu adalah ganjaran atas kerja keras mereka menuntaskan jenjang sarjana, ya, wisuda. Kurang lebih empat tahun lamanya mereka berkutat dengan tugas-tugas perkuliahan serta eksperimental yang begitu menguras tenaga serta pikiran, dan di hari itulah seolah semua terbayar.
       Para Rektorat dan petinggi Universitas duduk berbanjar di barisan terdepan. Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah, hampir semuanya melupakan perasaan gundah serta gelisah. Beberapa saat kemudian rentetan acara wisuda dibuka. Rektor Universitas menyampaikan sambutan sekaligus pengumuman pemberian beasiswa pascasarjana untuk salah satu mahasiswa UNIDA secara cuma-cuma dari Kedubes Jerman untuk Indonesia, para wisudawan dan wisudawati mendengarkannya dengan seksama.
“Saya bangga dengan salah satu mahasiswa saya”, ucap beliau disela-sela sambutan.
“Bukan karena kepandaian, namun karena kegigihannya untuk meraih impian. Saya dengar, setiap minggu dia mengirim tulisan berupa artikel, opini, ke Kedubes Jerman di Jakarta. Saya sedikit heran, kenapa harus Jerman? Ternyata setelah membaca riwayatnya, anak ini mempunyai cita-cita mulia yang juga menjadi landasan utamanya masuk UNIDA, yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan yang ingin dia mulai dari jantung kota Eropa, Jerman. Baiklah, langsung saja kita panggil saudari Najma Annisa untuk maju kedepan.”
Aula riuh dengan gemuruh tepuk tangan yang saling bersahutan. Aku terkejut mendengar namaku disebutkan, butiran hangat tertahan di pelupuk mataku, dengan langkah sedikit gemetar aku berjalan menuju podium. Sungguh tak kusangka, perjuanganku tidak sia-sia. Benar apa kata Ida, “Dimana ada kemauan, disitu pasti ada jalan, dan dibalik kesusahan, pasti akan ada kemudahan.”
***
         Malam semakin larut, tak terasa proyek cerita yang telah kukerjakan sejak lama akhirnya selesai juga. Tiket pesawat garuda Indonesia tergeletak di atas meja, besok sore adalah waktu penerbanganku untuk pulang ke Jerman. Ya, sekarang aku adalah dosen tetap di Freie Universität Berlin. Ternyata benar kata dosenku dulu “No one knows about the future.”
Ahmed : Liebe, seien sie vorsichtig auf dem weg. Schnell zurück nach Berlin, so scheint es Fahma seine Mutter vermisst (Cinta, hati-hati di jalan. Cepat kembali ke Berlin, tampaknya Fahma sangat merindukan Ibunya).
Ponsel yang tergeletak di atas meja kerja bergetar, satu pesan terpampang pada nyala layar.
Aku mengurungkan niat sejenak untuk beranjak, rasa rindu membuncah dalam kalbu. Rindu kepada suami dan anakku yang saat ini berada di Berlin. Tiga tahun lalu aku menikah dengan teman kuliahku, Ahmed, seorang muslim Berlin. Kami menikah di Indonesia, dan sampai saat ini kami berdomisili di Ibukota Jerman. Kerinduanku semakin tak tertahankan saat melihat foto Fahma yang sengaja dikirimkannya. Satu minggu sudah aku meninggalkan mereka berdua ke Indonesia untuk memenuhi panggilan dari Rektor UNIDA. Beliau memintaku menjadi pembicara pada even seminar kepenulisan dan membukukan kisah perjalananku “terdampar” sampai ke Jerman.
Najma : Oh, so einfach Fahma die vermisst seine Mutter. Was Ahmed entging ihr nicht ??? Gut, morgen sehen, keinen lieblings rendang gericht auf dem tisch (Oh, jadi hanya Fahma yang merindukan Ibunya. Apa Ahmed tidak merindukan istrinya??? Fine, lihat saja besok, tidak ada sajian rendang kesukaanmu di meja makan)
Ahmed : Haha..  I really,, really miss you my honey
Ahmed : Love you so much
Ahmed : Schnell zurück liebe, ich will rendang zu essen (Cepat kembali cinta, aku ingin makan rendang) \(^_^)/
Pesan balasan datang beruntutan, aku hanya tertawa membaca pesan ketiga yang dikirimkannya.
Sepertiga malam, waktu dimana banyak mata memilih untuk terpejam daripada mengambil air wudhu dan terbalut kedinginan. Di atas sajadah panjang, kubenamkan wajah dalam sujud panjang. Air mataku bercucuran saat mengingat betapa besar kenikmatan yang telah Allah berikan. Betapa angkuhnya manusia jika sampai melupakan Rabb-nya, Dzat yang telah menciptakan dunia beserta seluruh isinya. Berpasrah hanya jika tertimpa musibah. Na’udzubillah.
-TAMAT-






             





 

           : -